Artikel Contoh Bioteknologi Sederhana / Konvesional dan Modern - Pada dasarnya, bioteknologi yaitu suatu proses yang melibatkan banyak sekali biro biologi yang berupa mikrobia. Mikrobia ini dibiakkan pada suatu substrat yang berisi banyak sekali makronutrien maupun mikronutrien yang diharapkan oleh mikrobia dan disebut sebagai media tumbuh. Mikrobia yang dibiakkan akan menyintesis suatu bahan. Bahan tersebut berupa produk maupun jasa yang dapat dimanfaatkan manusia. Produk maupun jasa yang dihasilkan sangat tergantung pada mikrobia yang digunakan. Mikrobia mempunyai sifat pertumbuhan yang spesifik. Suatu biakan mikrobia sanggup tumbuh dan berkembang dengan baik apabila substrat dan kondisi lingkungannya sesuai. Perubahan pada substrat maupun kondisi lingkungan menentukan produk maupun jasa yang dihasilkan.
Secara prinsip, bioteknologi modern berbeda dengan bioteknologi konvensional. Perbedaan prinsip itu terutama pada cara memanipulasi sifat-sifat organisme.
Pada bioteknologi konvensional, manipulasi dilakukan pada kondisi lingkungan dan media tumbuh (substrat). Zat-zat tertentu ditambahkan dalam media tumbuh supaya mikrobia yang ditumbuhkan mampu menyintesis suatu senyawa, contohnya dalam memproduksi monosodium glutamat (MSG/vetsin). Produksi ini dibantu oleh kuman Corynobacterium glutamicum. Dalam medium tumbuh, ditambahkan vitamin biotin dalam jumlah yang sangat kecil.
Penambahan ini akan menjadikan membran plasma bakteri menjadi lemah (bocor) sehingga asam glutamat yang merupakan bahan utama MSG sanggup keluar dari sel bakteri. Hal serupa juga dilakukan dalam industri antibiotik. Pada bioteknologi modern, manipulasi tidak hanya dilakukan pada kondisi lingkungan serta media kultur, tetapi pada susunan gen dalam kromosom. Hal ini seiring dengan kemajuan pengetahuan insan yang telah hingga pada tingkat molekular.
Seperti yang telah diuraikan di depan, manipulasi yang dilakukan dalam bioteknologi modern ditujukan pada susunan gen dalam kromosom organisme. Oleh sebab itu, bioteknologi modern juga dikenal dengan rekayasa genetika. Rekayasa genetika adalah semua proses yang ditujukan untuk menghasilkan organisme transgenik. Organisme transgenik yaitu organisme yang urutan informasi genetik dalam kromosomnya telah diubah sehingga mempunyai sifat menguntungkan yang dikehendaki.
Ada beberapa prinsip dasar dalam rekayasa genetika. Pada bab ini kita hanya akan mempelajari 3 prinsip dasar, yaitu DNA rekombinan, fusi protoplasma, dan kultur jaringan.
1. DNA Rekombinan
DNA (Deoxyribonucleic acid) bertanggung jawab menentukan sifat makhluk hidup. DNA mempunyai susunan yang khas untuk tiap organisme. Untaian DNA ini sanggup diubah susunannya, sehingga diperoleh untaian gres yang mengekspresikan sifat-sifat yang diinginkan. Perubahan susunan DNA ini diperoleh melalui teknik DNA rekombinan.
Teknologi DNA rekombinan banyak melibatkan kuman atau virus sebagai vektor (perantara). Proses DNA rekombinan melalui 3 tahapan. Tahap pertama yaitu mengisolasi DNA, tahap kedua memotong dan menyambung DNA (transplantasi gen/DNA), serta tahap ketiga memasukkan DNA ke dalam sel hidup. Isolasi DNA dilakukan untuk menentukan dan memisahkan DNA maupun gen yang dikehendaki. Isolasi ini dilakukan dengan mengekstrak kromosom dari organisme donor. DNA dalam kromosom yang dipilih harus dipotong terlebih dahulu. Pemotongan gen dalam satu untaian DNA memakai enzim endonuklease restriksi yang berperan sebagai gunting biologi.
DNA dari suatu organisme sanggup diisolasi dengan memotongnya menjadi segmen-segmen kecil memakai enzim tersebut. Segmen DNA yang diperoleh, kemudian dimasukkan dalam suatu vektor. Vektor ini harus sanggup berikatan dengan gen, memperbanyak, dan mengekspresikan gen tersebut. Vektor (pembawa) pada proses ini berupa plasmid atau virus. Plasmid adalah rantai DNA melingkar di luar kromosom bakteri. Perhatikan Gambar 1.
Gambar 1. Sel bakteri |
Plasmid maupun DNA virus harus dipotong terlebih dahulu agar sanggup dipakai sebagai vektor. Pemotongan ini juga menggunakan enzim endonuklease restriksi. Gen atau DNA yang telah diisolasi kemudian dicangkokkan ke dalam plasmid. Proses ini dikenal dengan transplantasi gen. Transplantasi dilakukan dengan cara mencangkokkan (menyambung) gen yang telah diisolasi ke dalam DNA plasmid vektor. Penyambungan gen tersebut memakai enzim ligase yang bisa menyambung ujung-ujung nukleotida dan berperan sebagai lem biologi.
Setelah penyambungan ini maka vektor mengandung DNA asli dan DNA sisipan (asing). Dengan demikian, diperoleh organisme dengan rantai DNA adonan atau kombinasi gres sehingga rantai DNA ini disebut DNA rekombinan. Rangkaian proses DNA rekombinan memakai vektor plasmid maupun virus dapat Anda simak dalam Gambar 2 berikut.
Gambar 2. Proses DNA rekombinan |
DNA gres yang telah membawa segmen DNA cangkokan selanjutnya memasuki tahap akhir, yaitu dimasukkan ke dalam vektor sel kuman maupun virus. Pemasukan ini melalui pemanasan dalam larutan NaCl atau melalui elektroporasi. Selanjutnya, kuman ini (misal: Escherichia coli) melakukan replikasi dengan cara membelah diri. Melalui proses ini, diperoleh plasmid-plasmid hasil transplantasi gen (DNA rekombinan) dalam jumlah banyak
DNA rekombinan merupakan teknik yang paling banyak digunakan untuk menghasilkan organisme transgenik (melalui transplantasi gen). Selain melalui teknologi DNA rekombinan kita juga sanggup memakai prinsip lain untuk mendapat produk transgenik. Prinsip tersebut yaitu fusi protoplasma.
2. Fusi Protoplasma
Fusi protoplasma yaitu penggabungan dua sel dari jaringan yang sama atau dua sel dari organisme yang berbeda dalam suatu medan listrik. Hal ini akan menjadikan kedua sel akan tertarik satu sama lain dan jadinya mengalami fusi (melebur). Prinsip ini sanggup dilakukan pada sel tumbuhan maupun sel hewan.
Fusi protoplasma pada flora dilakukan melalui serangkaian tahap. Tahap-tahap tersebut diawali dengan menyiapkan protoplasma. Protoplasma biasanya diambil dari sel-sel yang masih muda sebab mempunyai dinding sel tipis serta protoplasma yang banyak dan utuh.
Tahap selanjutnya yaitu mengisolasi protoplasma sel yang telah dipersiapkan. Protoplasma diisolasi dengan cara menghilangkan dinding selnya. Dinding sel ini dihancurkan terlebih dahulu dengan memakai enzim kemudian dilakukan penyaringan dan sentrifugasi berkali-kali. Protoplasma yang didapat kemudian diuji viabilitasnya (aktivitas hidupnya) dengan cara melihat kegiatan organel, contohnya melihat aktivitas fotosintesisnya. Fusi protoplasma dilakukan dalam suatu medan listrik. Setelah sel-sel tadi mengalami fusi, tahap selanjutnya adalah menyeleksi protoplasma yang dihasilkan. Setiap sel mempunyai spesifikasi tertentu. Protoplasma yang terseleksi kemudian dibiakkan.
Fusi protoplasma pada sel binatang dan insan sangat berguna terutama untuk menghasilkan hibridoma. Hibridoma merupakan hasil fusi yang terjadi antara sel pembentuk antibodi dan sel mieloma. Sel pembentuk antibodi ini yaitu sel limfosit B, sedangkan sel mieloma sendiri merupakan sel kanker. Sel hibridoma yang dihasilkan sanggup membelah secara tidak terbatas seperti sel kanker, tetapi juga menghasilkan antibodi menyerupai selsel limfosit B. Hibridoma yang dihasilkan diseleksi sebab setiap sel menghasilkan antibodi yang sifatnya khas. Satu antibodi yang dihasilkan spesifik untuk satu antigen. Setiap hibrid ini kemudian diperbanyak (dikloning). Oleh sebab antibodi ini berasal dari satu klon maka antibodi ini disebut antibodi monoklonal.
Kedua prinsip di atas membutuhkan teknik lain agar organisme transgenik yang diperoleh sanggup ditumbuhkan. Hal ini penting untuk mengambarkan keberhasilan proses yang berlangsung, terutama untuk sel-sel tumbuhan. Sel-sel tersebut harus sanggup ditumbuhkan menjadi organisme utuh. Oleh karena itu, rangkaian proses rekayasa genetika pada tumbuhan membutuhkan teknik kultur jaringan. Apakah kultur jaringan itu?
Simaklah materi berikut untuk menjawab pertanyaan di atas.
3. Kultur Jaringan
Pernahkah Anda melihat dan mengamati flora cocor bebek (Kalanchoe pinata) tumbuh dari sehelai daunnya yang diletakkan di atas tanah? Tumbuhan tersebut sanggup tumbuh menjadi tumbuhan yang lengkap dari sehelai daunnya. Begitu pula dengan batang ketela pohon berbuku (Manihot utilisima) yang diletakkan di atas tanah. Batang itu sanggup tumbuh menjadi pohon ketela pohon yang lengkap dengan daun, batang, dan akar. Cocor bebek maupun ketela pohon sanggup berkembang biak secara vegetatif memakai serpihan tubuhnya (daun atau batang yang mempunyai nodus). Kultur jaringan juga memakai prinsip yang sama yaitu perkembangbiakan vegetatif pada tumbuhan.
Namun, terdapat perbedaan yang terang antara keduanya. Perbedaannya terletak pada serpihan yang ditumbuhkan. Pada kultur jaringan, flora yang lengkap sanggup diperoleh dari sel maupun jaringan tumbuhan. Perbedaan lainnya yaitu tidak semua flora sanggup diperbanyak memakai daun maupun batang (hanya flora tertentu saja). Melalui kultur jaringan, semua flora sanggup ditumbuhkan dari jaringan maupun sel pada suatu media buatan.
Teori yang melandasi teknik kultur jaringan ini yaitu teori Totipotensi. Setiap sel flora mempunyai kemampuan untuk tumbuh menjadi individu gres kalau ditempatkan pada lingkungan yang sesuai. Individu-individu yang dihasilkan akan mempunyai sifat yang sama persis dengan induknya.
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh spesialis Fisiologi Jerman, yaitu G. Haberlandt pada tahun 1898. Teori itu diuji ulang oleh F.C. Steward pada tahun 1969 dengan menggunakan satu sel empulur wortel. Dalam percobaannya, Steward dapat menumbuhkan satu sel empulur itu menjadi satu individu wortel. Tumbuhnya satu sel menjadi tumbuhan yang utuh sebab sel maupun jaringan tersebut ditanam pada suatu media yang dilengkapi dengan banyak sekali macam makronutrien maupun mikronutrien yang diharapkan oleh tanaman. Medium tersebut juga diperkaya dengan hormon pertumbuhan, contohnya auksin dan sitokinin. Penambahan hormon ini tergantung pada kebutuhan tumbuhan dan tujuan pelaksanaannya. Misalnya apabila ingin menumbuhkan akar dari suatu jaringan, maka ditambahkan hormon auksin dalam medium. Namun, apabila ingin menumbuhkan tunas dari suatu sel maupun jaringan maka medium tersebut ditambah dengan sitokinin. Selain itu, hormon auksin mempunyai kemampuan untuk menutup luka dengan memacu pembelahan sel sehingga membentuk gumpalan kalus. Kalus ini berupa massa sel yang belum terdiferensiasi. Kalus juga sanggup ditumbuhkan dalam medium yang ditambah dengan sitokinin berlebih.
Tahap-tahap kultur jaringan dalam membentuk embrio dari sel somatik serupa pada tahap perkembangan zigot menjadi embrio. Perkembangan tersebut dimulai dari sel → globular → bentuk jantung → bentuk torpedo → bentuk kotiledon → bentuk plantlet (tumbuhan muda). Perhatikan Gambar 3 di atas.
Gambar 3. Perkembangan teknik kultur jaringan. Seluruh serpihan badan flora sanggup diperbanyak menjadi tumbuhan gres melalui teknik kultur jaringan. |
Kultur jaringan bergotong-royong merupakan perbanyakan vegetatif seperti halnya pada pencangkokan maupun stek, hanya saja dalam menanam (mengkultur) cukup berupa jaringan atau sel saja. Selain itu, medium yang dipakai tidak berupa tanah, tetapi memakai medium buatan (biasanya berupa agar-agar yang diperkaya dengan hormon, vitamin, dan unsur hara). Kultur jaringan merupakan salah satu alternatif untuk mendapatkan tumbuhan gres yang mempunyai sifat sama dengan induknya. Teknik ini hanya membutuhkan jaringan maupun sel dari flora dan akan didapatkan tumbuhan sejenis dalam jumlah besar. Kultur jaringan sering disebut sebagai perbanyakan secara in vitro sebab jaringan ditanam (dikultur) pada suatu media buatan (bukan alami).
Kita sanggup memperbanyak hibrida dengan gampang dan cepat melalui kultur jaringan, demikian juga dengan usaha pelestarian tumbuhan langka atau tumbuhan lain yang mempunyai nilai hemat tinggi. Kultur jaringan merupakan salah satu rangkaian teknik rekayasa genetika sebab sanggup menumbuhkan sel-sel transgenik. Oleh sebab itu, sanggup pula dikatakan bahwa kultur jaringan sebagai alat (tool) dalam pelaksanaan rekayasa genetika.
Anda kini sudah mengetahui Contoh Bioteknologi. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
Referensi :
Sembiring, L dan Sudjino. 2009. Biologi : Kelas XII untuk Sekolah Menengan Atas dan MA. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 282.
No comments:
Post a Comment