Wednesday, July 31, 2019

Pintar Pelajaran Sistem Gres Peringatan Dini Angin Ribut Matahari

Sistem Baru Peringatan Dini Badai Matahari - Peneliti kemungkinan telah menemukan metode gres untuk memprediksi jilatan api matahari beberapa hari sebelum hal itu terjadi. Teknologi tersebut akan memperlihatkan peringatan dini untuk membantu melindungi satelit, jaringan listrik dan astronot dari radiasi berbahaya.

Sistem ini bekerja dengan mengukur perbedaan radiasi gamma yang dipancarkan ketika atom pada elemen radioaktif “rusak” atau kehilangan energi. Tingkat kerusakan/peluruhan tersebut secara luas diyakini bersifat konstan, tetapi temuan gres ini bertolak belakang dengan aturan usang yang selama ini telah  diterima.

Teknik deteksi gres ini didasarkan pada hipotesis bahwa tingkat peluruhan radioaktif dipengaruhi oleh kegiatan matahari, kegiatan matahari tersebut kemungkinan berupa aliran partikel subatomik yang disebut neutrino matahari. Menurut hipotesis, imbas tersebut sanggup berkurang sebab perubahan musiman jarak bumi dari matahari dan juga selama jilatan api matahari. Hipotesis tersebut didukung dengan data yang diterbitkan dalam lusinan makalah penelitian semenjak tahun 2006, kata Efraim Fischbach, seorang profesor fisika di Universitas Purdue.
Sistem Baru Peringatan Dini Badai Matahari Pintar Pelajaran Sistem Baru Peringatan Dini Badai Matahari
Jilatan api matahari yang terjadi pada bulan September 2005, gambar ini diambil dengan memakai X-ray waveband oleh satelit TRACE NASA. (Credit: NASA / LMSAL)
Fischbach dan Jere Jenkins, merupakan seorang insinyur nuklir dan eksekutif laboratorium radiasi di Sekolah Teknik Nuklir, yang memimpin penelitian ini untuk mempelajari fenomena tersebut dan kemungkinan sanggup membuatkan sistem peringatan baru. Jenkins memantau detektor di labnya pada tahun 2006, ia menemukan bahwa tingkat peluruhan sampel radioaktif mulai mengalami sedikit perubahan 39 jam sebelum terjadi “solar flare” atau jilatan api matahari yang besar.

Sejak ketika itu, para peneliti telah meneliti variasi yang sama dalam tingkat peluruhan sebelum terjadi jilatan api matahari. Temuan gres ini muncul secara online ahad kemudian di jurnal Astroparticle Physics.

“Untuk pertama kalinya, isotop yang sama telah dipakai dalam dua percobaan yang berbeda di dua laboratorium yang berbeda dan intinya memperlihatkan fenomena yang sama,” kata Fischbach. Makalah penelitian ini ditulis oleh Jenkins dan Fischbach; Kevin R. Herminghuysen, Thomas E. Biru, Andrew C. Kauffman dan Joseph W. Talnagi dari Ohio State University; Daniel Javorsek peneliti dari Angkatan Udara AS; Daniel W. Mundy peneliti dari Mayo Clinic dan Peter A. Sturrock peneliti dari Universitas Stanford.

Data direkam selama kalibrasi rutin mingguan dari alat yang dipakai untuk keselamatan radiologi di sebuah reaktor penelitian di negara serpihan Ohio. Hasil temuan memperlihatkan variasi tahunan yang terang dalam tingkat peluruhan isotop radioaktif yang disebut klorin-36, dengan tingkat tertinggi pada Januari dan Februari dan tingkat terendah pada bulan Juli dan Agustus, selama periode Juli 2005 hingga Juni 2011.

Pengamatan gres ini mendukung pekerjaan yang dilakukan oleh Jenkins dan Fischbach sebelumnya untuk membuatkan metode untuk memprediksi jilatan api matahari. Peringatan dini sanggup memungkinkan operator satelit dan jaringan listrik untuk mengambil langkah-langkah meminimalkan dampak dari angin kencang matahari. Para astronot juga sanggup melindungi diri dari radiasi yang berpotensi mematikan yang dipancarkan selama angin kencang matahari.

Temuan tersebut selaras dengan data yang dikumpulkan sebelumnya di Laboratorium Nasional Brookhaven mengenai tingkat peluruhan klorin 36; perubahan dalam tingkat peluruhan telah ditemukan sesuai dengan perubahan jarak Bumi-Matahari dan paparan bumi ke aneka macam serpihan matahari, kata Fischbach.

Jilatan api matahari yang besar sanggup menghasilkan “coronal mass ejection” partikel yang sangat tinggi, dimana partikel tersebut sanggup berinteraksi dengan magnetosfer Bumi. Hal tersebut sanggup memicu angin kencang geomagnetik yang terkadang sanggup melumpuhkan daya. Aktivitas matahari diperkirakan akan mencapai puncaknya selama tahun depan, kegiatan puncak matahari tersebut sebagai serpihan dari siklus 11 tahun yang sanggup menjadikan angin kencang matahari yang kuat.

Badai matahari sanggup sangat merusak bila jilatan api matahari yang terjadi kebetulan mengarah ke bumi. Badai matahari tersebut akan menghantam planet ini secara pribadi dengan partikel bermuatan yang sangat kuat. Sebuah angin kencang matahari besar yang disebut “Carrington event”, menghantam bumi pada tahun 1859, pada ketika itu infrastruktur listrik satu-satunya hanya berupa jaringan telegraf.

“Ada begitu banyak energi yang dipancarkan angin kencang matahari sehingga menciptakan kabel telegraf terlihat bersinar dan Aurora Borealis yang biasa terjadi pada serpihan bumi lintang utara muncul di Kuba (lintang selatan),” kata Fischbach. “Karena kita kini mempunyai infrastruktur satelit, jaringan listrik dan semua jenis sistem elektronik yang canggih, apabila terjadi angin kencang sebesar itu maka hal tersebut akan menjadi bencana. Dengan mempunyai sistem peringatan dini mengenai angin kencang matahari sanggup sangat membantu dalam mencegah kerusakan terburuk.”

Satelit dan jaringan listrik sanggup dimatikan sementara sebelum dan selama terjadi angin kencang matahari tersebut.

Para peneliti telah mengumpulkan data selama terjadinya 10 jilatan api matahari semenjak tahun 2006 dan mereka melihat pola yang sama.

“Kami telah berulang kali melihat sinyal prekursor sebelum terjadinya jilatan api matahari,” kata Fischbach. “Kami berpikir bahwa hal tersebut mempunyai nilai prediktif.”

Rancangan eksperimental Purdue terdiri dari sumber radioaktif  mangan-54 dan detektor radiasi gamma. Pada ketika mangan-54 meluruh maka akan berkembang menjadi kromium 54 yang akan memancarkan sinar gamma kemudian akan dicatat oleh detektor untuk mengukur tingkat kerusakan.

Universitas Purdue telah mengajukan permohonan hak paten di Amerika untuk konsep tersebut.

Hasil penelitian memperlihatkan bukti bahwa fenomena ini dipengaruhi oleh jarak bumi dari matahari. Sebagai contoh; terjadi tingkat peluruhan yang berbeda pada bulan Januari dan Juli, dimana pada kedua bulan tersebut merupakan jarak yang terdekat dan terjauh anatara bumi dan matahari (Januari : jarak terdekat, Juli : jarak terjauh).

“Ketika bumi berada lebih jauh, neutrino matahari lebih sedikit dan tingkat peluruhan sedikit lebih lambat,” kata Jenkins. “Ketika bumi lebih dekat, neutrino meningkat dan peluruhan terjadi sedikit lebih cepat.”

Para peneliti juga telah mencatat kenaikan dan penurunan tingkat peluruhan selama angin kencang matahari.

“Hal yang terjadi ialah bahwa matahari menghipnotis peluruhan radioaktif,” kata Fischbach.

Neutrino mempunyai massa paling sedikit diantara partikel subatomik yang selama ini telah diketahui, namun sangat masuk nalar bahwa entah bagaimana neutrino menghipnotis tingkat peluruhan, katanya.

Fisikawan Inggris, Ernest Rutherford, yang dikenal sebagai bapak fisika nuklir, pada tahun 1930 melaksanakan percobaan yang memperlihatkan bahwa tingkat peluruhan radioaktif  terjadi secara konstan, hal tersebut berarti tingkat peluruhan tidak sanggup diubah oleh imbas eksternal.

“Karena neutrino intinya tidak mempunyai massa atau muatan, maka gagasan bahwa neutrino sanggup berinteraksi dengan partikel lainnya sangat tidak lazim berdasarkan aturan fisika,” kata Jenkins. “Jadi, kita mempunyai gagasan bahwa sesuatu yang tidak berinteraksi dengan sesuatu sanggup merubah sesuatu yang tidak sanggup diubah. Entah itu neutrino memang merupakan partikel yang menghipnotis tingkat peluruhan atau mungkin sanggup jadi ada sebuah partikel lain yang belum diketahui.”

Jenkins menemukan imbas ini secara kebetulan pada tahun 2006, ketika ia sedang menonton liputan televisi mengenai astronot yang sedang bekerja di Stasiun Luar Angkasa Internasional. Sebuah jilatan api matahari telah terjadi dan kemungkinan dianggap sanggup menjadikan ancaman bagi para astronot. Dia tetapkan untuk menilik peralatannya dan menemukan bahwa perubahan dalam tingkat peluruhan telah terjadi sebelum terjadinya jilatan api matahari.

Penelitian lebih lanjut diharapkan untuk mengkonfirmasi temuan ini dan mengembangkannya dengan memakai peralatan yang lebih sensitif, katanya.

Jenkins dan Fischbach sebelumnya telah berkolaborasi dengan Peter Sturrock; seorang profesor emeritus fisika terapan di Stanford University dan jago kegiatan matahari, untuk menilik data yang dikumpulkan di Brookhaven pada tingkat peluruhan isotop radioaktif silikon-32 dan klorin-36 . Hasil temuan tim peneliti tersebut pada tahun 2010 di Astroparticle Physics memperlihatkan bahwa tingkat peluruhan dari kedua isotop tersebut bervariasi dalam pola ulangan selama 33 hari. Dimana hal tersebut mereka anggap berkaitan dengan tingkat rotasi inti matahari.

Kelompok peneliti ini menemukan bukti fenomena tahunan dan 33 hari yang sama pada data radium-226 yang diambil di Physikalisch-Technische Bundesanstalt (PTB) di Braunschweig, Jerman, inovasi  mereka ini dipublikasikan pada tahun 2011. Mereka juga menemukan pola berulang pada 154 hari embel-embel di kedua data Brookhaven dan PTB yang diterbitkan pada tahun 2011, mereka yakin bahwa hal ini berkaitan dengan matahari dan seolah-olah dengan fenomena matahari yang disebut periodisitas Rieger.

Referensi Jurnal :

Jere H. Jenkins, Kevin R. Herminghuysen, Thomas E. Blue, Ephraim Fischbach, Daniel Javorsek II, Andrew C. Kauffman, Daniel W. Mundy, Peter A. Sturrock, Joseph W. Talnagi. Additional experimental evidence for a solar influence on nuclear decay rates. Astroparticle Physics, 2012; DOI: 10.1016/j.astropartphys.2012.07.008

Artikel ini merupakan terjemahan dari goresan pena ulang berdasarkan materi yang disediakan oleh Purdue University via Science Daily. Artikel aslinya ditulis oleh Emil Venere. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

No comments:

Post a Comment