Wednesday, July 31, 2019

Pintar Pelajaran Cara Gres Untuk Mendeteksi Kanker Prostat : Lebih Murah Dan Mudah

Cara Baru Untuk Mendeteksi Kanker Prostat : Lebih Murah Dan Mudah - Mahasiswa S1 berbagi teknik untuk mendeteksi metabolit tertentu di dalam sampel urin dengan cara sederhana dan lebih akurat untuk menguji kanker prostat. Teknik ini dikembangkan oleh Casey Burton dari Missouri University of Science and Technology. Teknik ini juga sanggup menyediakan deteksi  antigen prostat yang spesifik (PSA) untuk kanker prostat secara lebih murah dibandingkan metode konvensional.Hal ini sebab teknik Burton ini tidak memerlukan penggunaan instrumentasi teknologi tinggi menyerupai yang sering dilakukan untuk mendeteksi metabolit. Sebaliknya, teknik tersebut mengandalkan reaksi kimia sederhana dan peralatan diagnostik yang banyak tersedia di klinik kesehatan.

Burton juga percaya bahwa pendekatan tersebut akan lebih akurat daripada tes PSA. “PSA tidak sanggup secara akurat membedakan antara fase kanker prostat jinak dan aktif”. Tulis Burton di makalah yang dipublikasikan pada Jurnal Metode Analytical.

“Kurangnya teknik diagnostik yang memadai untuk kanker prostat menciptakan kami berusaha untuk menemukan metode skrinning yang lebih efektif. Teknik enzimatis terbaru yang dikembangkan burton akan sanggup memilih Sarcosine di dalam sampel urin.” Tulis Burton di makalahnya. Makalah ini diterbitkan pada bulan Januari 2012.
Cara Baru Untuk Mendeteksi Kanker Prostat  Pintar Pelajaran Cara Baru Untuk Mendeteksi Kanker Prostat : Lebih Murah Dan Mudah
Dengan cara memperlakukan sampel memakai enzin khusus, mahasiswa S1 S&T, Casey Burton, berhasil menemukan fakta bahwa semakin besar konsentrasi metabolit Sarcosine, maka semikin sedikit sampel yang bersinar di bawah sinar ultraviolet. (Credit: Image courtesy of Missouri University of Science and Technology)
Pada Makalahnya tersebut, Burton menjelaskan bagaimana memperlakukan sampel urin memakai enzim tertentu yang sanggup memilih konsentrasi metabolit Sarcosine. Enzim tersebut akan berinteraksi dengan sampel atau molekul sehingga mengakibatkan adanya reaksi kimia yang sanggup diukur melalui banyak sekali teknik analisis.

Sampai ketika ini, keberadaan Sarcosine di dalam urin telah dianggap mempunyai kaitan dengan kanker prostat. “Namun, relasi ini telah dibantah.” Kata Burton. Meskipun demikian, metode untuk mendeteksi keberadaan Sarcosine sanggup dipakai untuk menguji keberadaan metabolit lain yang mungkin terkait dengan banyak sekali macam penyakit. Enzim yang dipakai Burton merupakan salah satu dari kelas enzim, dimana enzim ini juga mempunyai cara kerja yang sama terhadap molekul menyerupai asam amino dan asam nukleat.

Enzim sarcosine oksidase pada sampel sanggup menghasilkan senyawa kimia formaldehid. Selanjutnya, melalui proses oksidasi, formaldehid akan bermetamorfosis asam format.

Dari serangkaian reaksi kimia, Burton bisa memilih berapa banyak Sarcosine yang terdapat di masing-masing sampel dengan cara menyelidiki tingkat fluoresensi sesudah perlakuan enzim. Semakin terang sampel maka semakin rendah tingkat Sarcosine. Sebaliknya penurunan fluoresensi dari sampel menunjukkan tingkat Sarcosine yang lebih tinggi. Burton memvalidasi metodenya dengan memakai Sembilan sampel urin.

Metode Burton ini juga sanggup diaplikasikan untuk metabolit lain yang mungkin terkait dengan kanker prostat. Namun, keunggulan metode ini sebenarnya terletak pada fasilitas aplikasinya.

“Alih-alih memakai mesin yang mahal, saya sanggup memakai enzim untuk menciptakan senyawa kimia menjadi berpendar. Jadi, kami sanggup menganalisis sampel urin secara efektif serta memilih apakah sampel tersebut mengandung metabolit.” Kata Burton.

Keunggulan lain sistem ini ialah biayanya yang rendah jikalau dibandingkan dengan tes PSA konvensional. Burton juga menyampaikan bahwa biayanya hanya sepersepuluh sen dolar per sampel. Bandingkan dengan biaya tes PSA yang mencapai $ 70 di klinik kesehatan atau dokter.

Burton bekerja dengan Dr Yinfa Ma, Pengajaran profesor Kurator ‘kimia di Missouri S & T dan pembuat instrumen, disebut P-scan, yang sanggup dipakai untuk menyaring urin oncopterine dan enam biomarker pteridine lainnya. Oncopterine hanya ada dalam urin pasien kanker.

Pada penelitian ini, Burton bekerja sama dengan Dr. Yinfa Ma, Profesor Kimia di Missouri S&T. Dr. Yinfa Ma juga merupakan pencipta instrument P-Scan, yang sanggup dipakai untuk menscreening oncopterin dan enam biomarker pteridin lainnya di dalam urin. Oncopterin hanya ada di dalam urin pasien yang terkena kanker.

Selain Burton, peneliti lainnya yang turut serta menjadi penulis di makalah yang diterbitkan di Analytical Methods ialah Ma dan Sanjeewa Gamagedara. Gamadara gres saja lulus dari Missouri S&T pada tahun 2012 dengan gelar p.hD di bidang kimia.

Penelitian yang dilakukan Burton ini didukung oleh S&T chemistry department and the university’s Opportunities for Undergraduate Research Experience kegiatan dan Environmental Research Center. Awal tahun ini, Burton menjadi salah satu dari 74 mahasiswa S1 yang dipilih oleh Council on Undergraduate Research untuk membahasa penelitiannya dengan anggota DPR dan pembuat kebijakan di Washington, D.C., Selama kegiatannya tersebut, Burton bertemu dengan anggota kongres dari partai Republik, Jo Ann Emerson, yang menjadi anggota kongres mewakili 8 distrik, dimana Rolla dan Missouri S&T juga kawasan pemilihannya.

“Dia (Jo Ann Emerson) sangat menyukai dan mendukung kegiatan universitas kami. Saya sangat bahagia ketika mengetahui bahwa ia peduli terhadap penelitian yang kami lakukan di Missouri S & T.” kata Burton.

Referensi Jurnal :

Casey Burton, Sanjeewa Gamagedara, Yinfa Ma. A novel enzymatic technique for determination of sarcosine in urine samples. Analytical Methods, 2012; 4 (1): 141 DOI: 10.1039/C1AY05541K

Artikel ini merupakan terjemahan dari bahan yang disediakan oleh Missouri University of Science and Technology via Science Daily (3 Agustus 2012). Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Pintar Pelajaran Peluang Dan Tantangan Dalam Melawan Benalu Malaria

Peluang Dan Tantangan Dalam Melawan Parasit Malaria - Baru-baru ini, variabilitas genetik di dalam genom malaria telah terungkap melalui sekuensing yang dilakukan oleh dua tim peneliti multi-nasional. Selain memperlihatkan adanya tantangan gres dalam upaya untuk memberantas benalu malaria, temuan ini juga menawarkan citra yang lebih terperinci dan lebih rinci mengenai komposisi genetiknya. Hal ini sanggup menyediakan peta awal bagi pengembangan obat-obatan dan vaksin untuk memerangi malaria.

Penelitian ini terdapat pada dua studi yang diterbitkan di edisi terbaru jurnal Nature Genetics. Para peneliti memfokuskan risetnya pada Plasmodium vivax (P. vivax), yaitu spesies malaria yang sering menyerang insan dan juga merupakan  parasit malaria paling umum terdapat di luar Afrika, serta Plasmodium cynomolgi (P. cynomolgi), kerabat akrab P. vivax yang menginfeksi Asian Old World monkey (monyet-monyet dunia tertua di Asia).

“Kabar buruknya ialah adanya lebih banyak variasi genetik secara signifikan pada P. vivax dari asumsi kita sebelumnya. Hal ini sanggup membuat mereka menjadi resisten (kebal) terhadap membuatkan macam obat dan vaksin. Namun, ketika ini kita mempunyai pemahaman yang lebih baik mengenai tantangan yang akan kita hadapi. Kita sanggup terus bergerak maju untuk mencari cara mengatasinya dengan memakai analisis yang lebih mendalam.” Kata Profesor Jane Carlton, peneliti senior pada kedua studi tersebut dan anggota tim New York University’s Center for Genomics and Systems Biology.
Peluang Dan Tantangan Dalam Melawan Parasit Malaria Pintar Pelajaran Peluang Dan Tantangan Dalam Melawan Parasit Malaria
Nyamuk penular benalu malaria. Baru-baru ini, variabilitas genetik di dalam genom malaria telah terungkap melalui sekuensing yang dilakukan oleh dua tim peneliti multi-nasional. Selain memperlihatkan adanya tantangan gres dalam upaya untuk memberantas benalu malaria, temuan ini juga menawarkan citra yang lebih terperinci dan lebih rinci mengenai komposisi genetiknya. Hal ini sanggup menyediakan peta awal bagi pengembangan obat-obatan dan vaksin untuk memerangi malaria. (Credit: © Kletr / Fotolia)
Pada studi pertamanya, para peneliti meneliti strain P. vivax yang diambil dari lokasi geografis yang berbeda di Afrika Barat, Amerika Selatan dan Asia. Metode ini bisa menawarkan perseptif awal mengenai sebaran genom pada variabilitas global dari setiap spesies. Analisis yang mereka lakukan memperlihatkan bahwa P. vivax mempunyai dua kali lebih banyak keragaman genetik dibandingkan strain Plasmodium falciparum (P. falciparum) di seluruh dunia. Hal ini mengungkapkan adanya kemampuan P. vivax untuk sanggup berkembang biak secara tak terduga sehingga akan menjadi tantangan gres dalam mencari cara pengobatannya.

Studi keduanya dilakukan bahu-membahu dengan Profesor Kazuyuki Tanabe di Osaka University, Jepang. Mereka melaksanakan sekuensing terhadap tiga genom P. cynomolgi. Selanjutnya, para peneliti membandingkan susunan genetik dari P. vivax dan Plasmodium knowlesi (P. knowlesi). P. knowlesi merupakan benalu malaria yang lebih dulu disekuensing genomnya dan juga merupakan benalu yang sering menyerang insan dan monyet di sebagian wilayah Asia Tenggara.

Sekuensing terhadap genom P. cynomolgi untuk pertama kalinya ini telah memungkinkan para peneliti untuk sanggup mengidentifikasi keragaman genetik benalu ini. Adanya beberapa kesamaan genetiknya pada kedua benalu tersebut akan menawarkan laba di masa depan terkait dengan upaya untuk memahami dan memerangi segala bentuk malaria yang menyerang manusia.

“Kami telah berhasil menghasilkan peta genetik dari P. cynomolgi, kerabat dari P. vivax. Hal ini sanggup mendorong upaya kita untuk membuat sistem model yang baku untuk mempelajari P. vivax. Hal ini sangat penting bagi kita sebab selama ini kita tidak sanggup mengembang-biakkan P. vivax di labroratorium, padahal para peneliti sangat membutuhkan sistem model tersebut.” Kata Tanabe.

Penelitian ini banyak mendapat proteksi dari hibah tujuh tahun dari National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID), belahan dari National Institutes of Health. Dana tersebut telah berhasil dipakai untuk membentuk 10 International Centers of Excellence for Malaria Research (ICEMR). Carlton merupakan pimpinan ICEMR yang berbasis di India. Di India, benalu malaria, khususnya P. vivax, merupakan beban kesehatan yang tinggi bagi masyarakat. Tujuan khusus dari Center of Excellence ialah untuk mendukung dan membantu para peneliti di India agar mereka sanggup bekerja lebih maksimal untuk memerangi penyakit menular, menyerupai malaria, dimana penyakit ini paling banyak kasusnya. Sekuensing terhadap P. vivax dibiayai oleh NIAID melalui agenda Sequencing Center for Infectious Diseases at the Broad Institute menurut kontak No. HHSN272200900018C. Dana untuk percontohan sekuensing P. cynomolgi  disediakan Burroughs Wellcome Fund.

Para peneliti di forum berikut ini juga menjadi belahan dari sekuensing P. vivax, diantaranya: The Broad Institute, the National Institute of Malaria Research in India, Arizona State University, dan the Centers for Disease Control and Prevention.

Para peneliti yang menjadi belahan dari penelitianyang terkait dengan P. cynomolgi, berasal dari Osaka University, Dokkyo Medical University, Japan’s Corporation for Production and Research of Laboratory Primates, Nagasaki University, Juntendo University’s School of Medicine, the University of Tokyo, the National Institute of Biomedical Innovation, the Centers for Disease Control and Prevention, dan Arizona State University.

Referensi Jurnal :

Daniel E Neafsey, Kevin Galinsky, Rays H Y Jiang, Lauren Young, Sean M Sykes, Sakina Saif, Sharvari Gujja, Jonathan M Goldberg, Sarah Young, Qiandong Zeng, Sinéad B Chapman, Aditya P Dash, Anupkumar R Anvikar, Patrick L Sutton, Bruce W Birren, Ananias A Escalante, John W Barnwell, Jane M Carlton. The malaria parasite Plasmodium vivax exhibits greater genetic diversity than Plasmodium falciparum. Nature Genetics, 2012; DOI: 10.1038/ng.2373

Artikel ini merupakan terjemahan dari goresan pena ulang menurut bahan yang disediakan oleh New York University via Science Daily (5 Agustus 2012). Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Pintar Pelajaran Perangkat Optik Laser Gres Bisa Melihat Objek Tersembunyi

Perangkat Optik Laser Baru Mampu Melihat Objek Tersembunyi - Terinspirasi oleh sikap tak menentu foton yang akan memantul jika menabrak benda atau dinding dalam sebuah ruangan, peneliti dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT), Harvard University, University of  Wisconsin dan Universitas Rice mengkombinasikan pantulan foton tersebut dengan perangkat optik canggih untuk memungkinkan mereka “melihat” benda yang tersembunyi. (Baca juga : Alat Optik)

Teknik yang dijelaskan dalam sebuah makalah yang diterbitkan tanggal 6 di jurnal Optics Express , mungkin suatu hari sanggup menjadi sangat berharga dan berkhasiat dalam situasi pemulihan bencana, serta dalam aplikasi pencitraan biomedis yang bersifat non-infansif.

“Bayangkan foton sebagai partikel yang sanggup memantul eksklusif dari dinding, koridor dan di sekitar sudut ruangan, foton yang mengenai objek akan dipantulkan kembali. Ketika ini terjadi, kita sanggup memakai data mengenai waktu yang diharapkan foton untuk bergerak dan memantul kembali. Dari data tersebut kita sanggup mendapat info perihal geometri suatu benda, “jelas Otkrist Gupta, seorang mahasiswa lulusan MIT dan penulis utama dari penelitian ini.
Perangkat Optik Laser Baru Mampu Melihat Objek Tersembunyi Pintar Pelajaran Perangkat Optik Laser Baru Mampu Melihat Objek Tersembunyi
Versi 3D dari sebuah objek (kiri) diubah menjadi objek 2D (gambar tengah) dari energi inframerah termal yang dipancarkan oleh objek. Perbedaan warna pada objek di tengah merupakan kawasan dengan suhu tinggi dan rendah yang diukur oleh sensor. Gambar di sebelah kanan yakni objek optik yang telah direkonstruksi. (Credit: Optik Express)
Dengan memakai peralatan optik canggih dalam bentuk laser super cepat dan kamera 2-D, yang keduanya beroperasi triliunan siklus per detik, tim peneliti sanggup menangkap milyaran gambar per detik untuk memperlihatkan kemampuan teknologi ini “melihat” objek dengan menganalisis pergerakan cahaya di sekitar sudut ruangan atau melalui botol air.

Kamera 2-D yang dipakai berbeda dari kamera lain dimana terbentuknya gambar atau foto ditentukan oleh profil waktu dari foton yang masuk. “Jenis pencitraan ini memperlihatkan kita ide yang sangat baik perihal berapa usang waktu yang diharapkan dari masing-masing  foton untuk memantul dan kembali. Jika ada sesuatu di sudut ruangan, foton akan kembali lebih awal dan datang lebih cepat” kata Gupta. “Kami benar-benar menangkap dan menghitung foton-foton tersebut. Setiap pengambilan gambar yang kita lakukan memancarkan tiga atau lebih sedikit foton di dalamnya. Kemudian kami mengambil banyak gambar dengan cepat untuk menciptakan gambar ‘beruntun’, yang membantu kita memilih jarak yang ditempuh oleh foton dalam sentimeter. Setelah kami mengumpulkan data itu, kita sanggup menyimpulkan bentuk geometri dasar dari objek tersembunyi tersebut kemudian gambar 3-D muncul. ”

Ada banyak potensi aplikasi untuk teknologi ini. Beberapa diantaranya yakni aplikasi dalam situasi  pemulihan sesudah bencana. “Katakanlah anda mempunyai rumah yang runtuh dan perlu tahu siapa yang ada di dalam, teknologi kami akan berguna.Teknologi ini ideal untuk dipakai di hampir semua situasi bencana, khususnya kebakaran, di mana anda perlu mencari tahu apa yang terjadi di dalam dan di sekitar sudut. Anda tentu tidak ingin mengambil risiko dengan mengirimkan seseorang ke dalam situasi kebakaran sebab kondisi yang sangat berbahaya. Anda bisa memakai teknologi ini untuk mengurangi risiko keselamatan para pemadam kebakaran,” kata Gupta.

Ada kemungkinan bahwa teknologi ini sanggup dipakai sebagai bentuk pencitraan biomedis non-invasif untuk “melihat” apa yang terjadi di bawah kulit pasien. Hal inilah yang sedang direncanakan oleh para peneliti untuk sanggup dikembangkan.

Gupta berharap, setidaknya dibutuhkan waktu lima hingga 10 tahun sebelum teknologi  ini sanggup tersedia secara komersial. Hal tersebut menurut jangka waktu yang dibutuhkan dalam penelitian ibarat ini  serta pengembangan demonstrasi diharapkan semoga alat ini sanggup diluncurkan sebagai sebuah produk.

Referensi Jurnal :

Otkrist Gupta, Thomas Willwacher, Andreas Velten, Ashok Veeraraghavan, Ramesh Raskar. Reconstruction of hidden 3D shapes using diffuse reflections. Optics Express, 2012; 20 (17): 19096 DOI: 10.1364/OE.20.019096

Artikel ini merupakan terjemahan dari goresan pena ulang menurut bahan yang disediakan oleh Optical Society of America via EurekAlert! dan Science daily (6 Agustus 2012). Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Pintar Pelajaran Target Terapi Penyakit Otot Telah Ditemukan

Sasaran Terapi Penyakit Otot Telah Ditemukan - Studi wacana protein pada sistem otot “myostatin”, telah menjadi hal yang menarik bagi peneliti untuk dipakai sebagai sasaran terapi yang potensial pada orang dengan gangguan otot. Meskipun telah banyak diketahui mengenai bagaimana myostatin menghipnotis pertumbuhan otot, masih ada perbedaan pendapat wacana jenis sel otot yang dipengaruhi oleh myostatin. Penelitian terbaru dari Chen-Ming Fan dan Christoph Lepper mempersempit hal tersebut menjadi satu jenis sel pada otot. Penelitian mereka dipublikasikan pada tanggal 6 Agustus di Proceedings of the National Academy of Sciences.

Myostatin yang telah diketahui sanggup menghambat pertumbuhan otot dan fungsinya terjadi secara umum pada mamalia, termasuk sapi, domba, anjing, manusia, dan tikus. Tikus mutan yang kekurangan myostatin mempunyai massa otot yang hampir dua kali lipat dari tikus normal. Hal ini merupakan sesuatu yang menciptakan myostatin menjadi sasaran obat yang menarik dan potensial. Dengan menghambat myostatin, sebuah obat  secara teori sanggup meningkatkan pertumbuhan otot, bahkan pada orang dengan penyakit otot.
Sasaran Terapi Penyakit Otot Telah Ditemukan Pintar Pelajaran Sasaran Terapi Penyakit Otot Telah Ditemukan
Studi wacana protein pada sistem otot “myostatin”, telah menjadi hal yang menarik bagi peneliti untuk dipakai sebagai sasaran terapi yang potensial pada orang dengan gangguan otot. Meskipun telah banyak diketahui mengenai bagaimana myostatin menghipnotis pertumbuhan otot, masih ada perbedaan pendapat wacana jenis sel otot yang dipengaruhi oleh myostatin. (Credit: C Pennington, D Garrels)
Telah terjadi perdebatan mengenai jenis sel otot yang dipengaruhi oleh myostatin. Apakah yang dipengaruhi yakni sel otot berserat  yang disebut myofibers, atau otot sel punca (stem cell) yang disebut sel satelit. Sel-sel satelit diaktifkan oleh cedera otot, dikala terjadi cedera otot ini mulai membelah dan bergabung menjadi myofibers. Beberapa penelitian sepertinya menawarkan myostatin mentarget sel satelit, sedangkan penelitian yang lain menawarkan myofibers.

Tim peneliti yang dipimpin oleh Fan dan Se-Jin Lee dari Johns Hopkins University Medical School, memakai banyak sekali teknik baik genetik maupun farmakologis, memilih bahwa pertumbuhan otot yang disebabkan oleh penghambatan myostatin tidak secara signifikan melibatkan penggabungan sel-sel satelit menjadi myofibers.

Temuan ini mempunyai implikasi besar bagi kemungkinan penggunaan myostatin sebagai sasaran klinis. Ada pertanyaan yang berkembang wacana bagaimana sebuah obat yang telah dirancang untuk mentarget myostatin akan bekerja dalam kondisi klinis di mana sel-sel satelit pasien telah habis. Misalnya, dalam penyakit ibarat distrofi otot, sel-sel satelit diyakini mengkompensasi sel otot yang merosot pada tahap awal penyakit ini, sehingga menjadikan sel-sel satelit ini menyusut dari waktu ke waktu. Penelitian ini meningkatkan kemungkinan bahwa pasien yang menderita penyakit tersebut mungkin masih sanggup mendapat laba dari inhibitor myostatin.

“Penelitian lebih lanjut diharapkan untuk memilih apakah temuan ini sanggup diterapkan pada banyak sekali kondisi klinis, ibarat pada olahraga, cedera, dan sarcopenia (hilangnya massa otot secara degeneratif yang bekerjasama dengan penuaan),” kata Fan. “Namun, temuan kami pada awalnya menawarkan bahwa banyak sekali penyakit yang menghipnotis sistem otot sanggup berpotensi menjadi responsif terhadap obat yang menghambat myostatin dan dengan demikian sanggup meningkatkan pertumbuhan otot, tanpa memperhitungkan kondisi dari sel-sel satelit yang ada.”

Peneliti lain yang juga terlibat dalam penelitian ini yakni Than Huynh, Yun-Sil Lee, dan Suzanne Sebald dari Johns Hopkins University School of Medicine; Sarah Wilcox-Adelman dari Boston Biomedical Research Institute; Naoki Iwamori dan Martin Matzuk dari Baylor College of Medicine.

Referensi Jurnal :

Se-Jin Lee, Thanh V. Huynh, Yun-Sil Lee, Suzanne M. Sebald, Sarah A. Wilcox-Adelman, Naoki Iwamori, Christoph Lepper, Martin M. Matzuk, and Chen-Ming Fan.Role of satellite cells versus myofibers in muscle hypertrophy induced by inhibition of the myostatin/activin signaling pathway. PNAS, August 6, 2012 DOI: 10.1073/pnas.1206410109.

Artikel ini merupakan terjemahan dari goresan pena ulang menurut bahan yang disediakan oleh Carnegie Institution via Science Daily (6 Agustus 2012). Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Pintar Pelajaran Penyebab Bayi Lebih Sering Sakit

Penyebab Bayi Lebih Sering Sakit - Para peneliti dari University of Michigan Health System telah mengetahui penyebab mengapa bayi sering mengalami sakit. Hal ini tentunya sanggup mengurangi rasa cemas para orang tua. Kita sudah usang mengetahui bahwa kemampuan belum dewasa untuk melawan bisul virus menyerupai dengan kemampuan berbicara dan berjalan, yaitu akan terus berkembang seiring bertambahnya usia. Namun, studi terbaru yang dilakukan oleh U-M menyampaikan bahwa kemampuan alami untuk melawan infeksi, ternyata sudah ada semenjak bayi. Para ilmuwan telah mempelajari sinyal sel kunci yang berfungsi menghambat perkembangan sel-sel kekebalan utama di masa awal kehidupan. Proses penghambatan yang dilakukan sinyal tersebut sanggup meningkatkan respon bayi terhadap infeksi. Temuan ini diterbitkan di edisi online jurnal Imunitas Alam.

“Di usia dini, sel-sel pembunuh alami, menyerupai kebanyakan sel kekebalan lainnya, dimana mereka tidak akan sanggup melaksanakan pematangan fungsionalnya sebelum insan berusia dewasa.  Selama ini kita tidak melupakan fakta bahwa sistem kekebalan badan yang belum matang tidak akan sanggup melindungi kita terhadap infeksi, padahal hal inilah yang menjadikan mengapa bayi yang gres lahir lebih rentan terhadap infeksi.” Kata Yasmina Laouar, Ph.D, tangan kanan professor di U-M Department of Microbiology and Immunology.
 Para peneliti dari University of Michigan Health System telah mengetahui penyebab mengapa Pintar Pelajaran Penyebab Bayi Lebih Sering Sakit
Para peneliti dari University of Michigan Health System telah mengetahui penyebab mengapa bayi sering mengalami sakit. Hal ini tentunya sanggup mengurangi rasa cemas para orang tua. (Credit: © Yuri Arcurs / Fotolia)

Ada kesenjangan besar dalam memahami sistem imunitas bayi, khususnya mengapa respon sel pembunuh alami selalu rendah. Penelitian yang dilakukan oleh jago imunologi di UM ini menyampaikan adanya tugas dari sel yang disebut transforming growth factor beta yang sanggup menjelaskan mengapa respon sel pembunuh alami selalu rendah.

Hasil penelitian menyampaikan bahwa produksi sel pembunuh alami dikendalikan oleh TGF-β, yang diproduksi di sumsum tulang. Pada bayi tikus, pematangan sel-sel pembunuh alami lebih cepat berkembang kalau tidak ada sinyal TGF-β. Sedangkan tikus cerdik balig cukup akal mempunyai sel pembunuh alami yang 10 kali lebih matang ketika sinyal TGF-β tersebut diblokir.

“Tujuan utama kami yakni untuk memilih faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam proses produksi dan pematangan sel-sel pembunuh alami semenjak awal kehidupan. Hal yang mengejutkan yakni kami telah menemukan bahwa sel-sel pembunuh alami sanggup menuntaskan pematangannya dalam jangka waktu 10 hari kalau sinyal TGF-β diblokir.

Para peneliti menyampaikan bahwa mereka sangat tertarik untuk melaksanakan inaktivasi fungsional terhadap sinyal TGF-β sebagai seni administrasi untuk mengurangi defisit sel pembunuh alami di masa awal kehidupan. Oleh alasannya itu perlu dilakukan pengujian pelengkap untuk melengkapi data yang sudah ada.

Referensi Jurnal :

Jeffrey P Marcoe, James R Lim, Keri L Schaubert, Nassima Fodil-Cornu, Marsel Matka, Alexandra L McCubbrey, Alexander R Farr, Silvia M Vidal, Yasmina Laouar. TGF-β is responsible for NK cell immaturity during ontogeny and increased susceptibility to infection during mouse infancy. Nature Immunology, 2012; DOI: 10.1038/ni.2388.

Artikel ini merupakan terjemahan dari bahan yang disediakan oleh University of Michigan Health System via Science Daily (7 Agustus 2012). Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Pintar Pelajaran Dapatkah Taman Nasional Menyimpan Keanekaragaman Hayati ?

Dapatkah Taman Nasional Menyimpan Keanekaragaman Hayati ? - Studi satwa liar selama 14 tahun yang dilakukan di taman nasional Madagaskar Ranomafana oleh Sarah Karpanty, professor konservasi satwa liar dari Virginia Tech’s College of Natural Resources and Environment, dan murid-muridnya, telah menjadi bab dari makalah wacana keanekaragaman hayati yang diterbitkan secara online di Nature (25 Juli 2012). Aktivitas yang dilakukan oleh insan telah meningkatkan tekanan terhadap keberlangsungan sistem alam dan satwa liar. Hal inilah yang mendasari 200 ilmuwan dari seluruh dunia untuk menciptakan puzzle yang menyajikan citra yang lebih terang mengenai realita dan cara untuk mengurangi kekuatan yang bersifat merusak.

Makalah tersebut berjudul “Mencegah Hilangnya Keanekaragaman Hayati di Kawasan Hutan Tropis yang Dilindungi”. Penulisan makalah tersebut dikoordinatori oleh William F. Laurance dari Smithsonian Tropical Research Institute, James Cook University’s Centre for Tropical Environmental, dan Sustainability Science and School of Marine and Tropical Biology. 

Penelitian yang mereka lakukan telah meneliti lebih dari 30 kategori spesies yang berbeda, dari mulai kupu-kupu hingga predator berukuran besar yang terdapat di daerah lindung di daerah tropis Amerika, Afrika, dan Asia. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ternyata banyak daerah lindung tropis dunia yang harus berjuang untuk mempertahankan keanekaragaman hayatinya.
Dapatkah Taman Nasional Menyimpan Keanekaragaman Hayati  Pintar Pelajaran Dapatkah Taman Nasional Menyimpan Keanekaragaman Hayati ?
Sarah Karpanty, professor konservasi satwa liar dari Virginia Tech’s College of Natural Resources and Environment telah melaksanakan penelitian keanekaragaman hayati di Madagaskar semenjak tahun 1998. (Credit: Virginia Tech)
“Meskipun mereka (kawasan lindung) merupakan keinginan terbaik kami untuk mempertahankan hutan tropis dan keanekaragaman hayatinya yang luar biasa untuk jangka waktu selama-lamanya, namun kenyataannya, mereka menyerupai perahu yang sedang terancam ancaman tenggelam” kata Laurence.

Para ilmuwan telah mengamati perubahan jumlah kelompok spesies selama dua hingga tiga dekade terakhir ini. Sementara mereka juga mengidentifikasi perubahan lingkungan yang sanggup mengancamnya, menyerupai deforestasi yang berlangsung secara cepat di Negara-negara tropis.  Tim peneliti telah menemukan cagar alam yang berfungsi sebagai “cermin”, dimana sebagian cagar alam telah mencerminkan adanya ancaman dan perubahan bentang alam di sekitarnya.

Karpanty merupakan peneliti yang berperan memperlihatkan ulasan secara mendalam mengenai penelitian tersebut, dimana fokus pengamatannya ditujukan pada kondisi satwa liar, ancaman terhadap satwa liar dan taman nasional, dan bagaimana imbas perubahan di luar taman nasional terhadap satwa liar di dalamnya.

Penelitian ini juga mendapat proteksi peneliti dari College of Natural Resources and Environment, yaitu   Brian Gerber dan Maria Kotschwar. Keduanya mendapat gelar di bidang ilmu perikanan dan satwa liar dari Virginia Tech pada tahun 2010. Mereka memperlihatkan donasi berupa data mengenai populasi raptor (sejenis burung pemangsa), karnovora, dan lemur di taman nasional Ranomafana.

“Penelitian ini memperlihatkan evaluasi yang komprehensif dan up-to-date mengenai tugas daerah lindung dalam menyelamatkan keanekaragaman hayati di daerah tropis. Proyek besar ini yakni upaya kerja sama yang dilakukan oleh para ilmuwan dari seluruh dunia untuk menyumbangkan data dan wawasan mereka. Hal ini untuk menjawab pertanyaan mengenai apakah alam dan taman margasatwa sanggup menyimpan keanekaragaman hayati dunia. Dan jawabannya? Ketika sebagian besar cagar alam membantu melindungi hutan di dalamnya, ternyata sekitar setengah cagar alam tersebut sedang berjuang untuk mempertahankan keanakeragaman hayati aslinya. Keanekaragaman hayati tersebut mencakup pohon-pohon bau tanah yang terus tumbuh, predator berukuran besar, dan hewan lainnya berukuran besar, primata, ikan dan amfibi stream-dwelling (pelawan arus). Para peneliti menyampaikan bahwa cagar alam yang paling “menderita” yakni cagar alam yang kurang terlindungi dan mengalami gangguan dari pendatang, pemburu, dan penebang ilegal” tulis Karpanty  di makalahnya.

Temuan ini memperlihatkan bahwa daerah lindung tropis sering terkait dekat secara ekologis dengan habitat di dalamnya. Kegagalan untuk membendung kehilangan dan degradasi habitat pada skala yang luas sanggup meningkatkan kemungkinan penurunan keanekaragaman hayati secara serius.

Karpanty menekankan bahwa point penting dari penelitian ini tidak harus dilihat dari sudut pandang negatif, yaitu dimana kita berpikir bahwa tidak ada keinginan bagi kelangsungan keanekaragaman hayati di daerah tropis. Namun, kita harus melihatnya dari sisi lain, yaitu kita harus berusaha keras untuk menghilangkan ancaman yang ada di luar perbatasan taman nasional. Cara yang sanggup dilakukan yakni membangun taman nasional gres dan mempertahankan yang sudah ada.

Referensi Jurnal :

William F. Laurance et al. Averting biodiversity collapse in tropical forest protected areas. Nature, 2012; DOI: 10.1038/nature11318

Artikel ini merupakan terjemahan dari materi yang disediakan oleh Virginia Tech, via Newswise dan Science Daily (7 Agustus 2012). Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Pintar Pelajaran Pohon Bau Tanah Yang Terjangkit Penyakit Sanggup Menjadi Sumber Gas Rumah Kaca

Pohon Tua Yang Terserang Penyakit Dapat Menjadi Sumber Gas Rumah Kaca - Pohon yang sedang terkena penyakit, kemungkinan sanggup menjadi sumber gres sejumlah besar gas metana yang nantinya sanggup mengakibatkan perubahan iklim. Hal ini dikatakan oleh para peneliti dari Yale School of Forestry & Environmental Studies di jurnal Geophysical Research. Sebanyak 60 sampel pohon yang diambil dari hutan Yale Myers, Connecticut Timur Laut, ternyata mempunyai konsentrasi sekitar 80.000 kali dari konsentrasi normalnya. Para peneliti Tale menemukan bahwa tingkat rata-rata konsentrasi udara di dalam pohon tersebut sekitar 15.000 ppm, padahal seharusnya konsentrasi normalnya sekitar 2 ppm.

“Konsentrasi yang tinggi mengakibatkan mudahnya terjadi proses pembakaran. Karena kondisi tersebut secara umum terjadi di seluruh hutan di dunia, maka kami menyampaikan bahwa penelitian ini telah menemukan potensi sumber gres sejumlah besar gas rumah beling secara global.” Kata Kristofer Covey, peneliti utama studi tersebut dan juga merupakan kandidat Ph.D di Yale. Perkiraan sementara untuk tingkat emisi dari sebuah area di dataran tinggi hutan Yale ialah setara dengan pembakaran 40 galon bensin per hektar hutan per tahun. Hal ini juga berarti bahwa sekitar 18 % atau hampir seperlima karbon yang diserap oleh pohon tersebut telah dilepaskan kembali ke atmosfer. Fenomena ini tentunya mengurangi peranan mereka terhadap perubahan iklim.
Pohon Tua Yang Terserang Penyakit Dapat Menjadi Sumber Gas Rumah Kaca Pintar Pelajaran Pohon Tua Yang Terserang Penyakit Dapat Menjadi Sumber Gas Rumah Kaca
Pohon yang sedang terkena penyakit, kemungkinan sanggup menjadi sumber gres sejumlah besar gas metana yang nantinya sanggup mengakibatkan perubahan iklim. Meskipun penampakkan luarnya sekilas menyampaikan bahwa pohon tersebut sehat, namun bahu-membahu pecahan dalamnya berongga (keropos) akhir abses jamur yang secara perlahan-lahan telah memakan batang pohon tersebut. Hal ini akan membuat lingkungan yang menguntungkan bagi mikroorganisme penghasil gas metana, atau biasa disebut metanogen. (Credit: © Anio / Fotolia)
“Jika kita mengasumsikan bahwa fenomena tersebut terjadi secara global di hutan seluruh dunia, maka gas metana yang dilepaskan oleh pohon-pohon ke atmosfer sanggup mencapai 10 % dari emisi global.” Kata Xuhui Lee, anggota tim peneliti, dan Sara Shallenberger, Profesor Meterologi di Yale. Pohon-pohon yang memperoduksi gas metana biasanya berumur tua, yaitu antara 80 hingga 100 tahun dan juga terjangkit penyakit. Meskipun penampakkan luarnya sekilas menyampaikan bahwa pohon tersebut sehat, namun bahu-membahu pecahan dalamnya berongga (keropos) akhir abses jamur yang secara perlahan-lahan telah memakan batang pohon tersebut. Hal ini akan membuat lingkungan yang menguntungkan bagi mikroorganisme penghasil gas metana, atau biasa disebut metanogen.

“Sampai ketika ini, belum ada peneliti yang mengubungkan gagasan bahwa jamur pembusuk pohon, kemungkinan juga menjadikan duduk perkara bagi mitigasi gas rumah beling dan perubahan iklim. Selama ini kuman tersebut telah menjadikan duduk perkara dalam produksi pohon di hutan komersial.” Kata Mark Bradford, Asisten Profesor EKologi Ekosistem Terestrial di F&ES.

Maple merah (Acer rubrum), yaitu spesies yang jumlahnya melimpah di Amerika Utara, mempunyai konsentrasi metana tertinggi. Spesies umum lainnya yang juga menjadi produsen gas metana ialah phon oak, birch (sejenis pohon berkulit putih halus dan tipis), dan pinus. Pada animo panas, tingkat emisi gas metana ialah 3,1 kali lebih tinggi dibandingkan animo dingin. Hal ini menyampaikan bahwa suhu yang lebih tinggi sanggup mengakibatkan peningkatan kadar metana di hutan, yang pada gilirannya akan mengakibatkan suhu udara semakin panas.

“Temuan ini menyampaikan bahwa rusaknya pohon di hutan akhir pembusukan, merupakan hal penting yang harus menerima perhatian serius dari ilmuwan biogeokimia dan atmosfer kalau mereka ingin memahami neraca gas rumah beling dalam kaitannya dengan perubahan iklim gobal.” Kata Covey. 

Referensi Jurnal :

Kristofer R Covey, Stephen A Wood, Robert J Warren, Xuhui Lee, Mark Bradford. Elevated methane concentrations in trees of an upland forest. Geophysical Research Letters, 2012; DOI: 10.1029/2012GL052361

Artikel ini merupakan terjemahan dari materi yang disediakan oleh via Yale University, via EurekAlert! dan Science Daily (7 Agustus 2012). Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Pintar Pelajaran Mencari Garam Untuk Mengungkap Adanya Kehidupan Di Planet Mars

Mencari Garam Untuk Mengungkap Adanya Kehidupan Di Planet Mars - Baru-baru ini, Mark Schneegurt, Profesor dari Wichita State University mempublikasikan makalahnya di jurnal Astrobiology. Makalah tersebut membahas basil yang hidup di lingkungan yang asin, namun tidak mengandung natrium klorida yaitu jenis garam yang biasa kita gunakan. Garam yang dimaksud merupakan jenis magnesium sulfat atau biasa dikenal sebagai garam Epsom.

Selain telah telah menemukan bukti mengenai keberadaan air berbentuk cairan di Mars, para peneliti juga menemukan sejumlah besar magnesium sulfat.

Salah satu pertanyaan yang masih terbersit di benak Schneegurt ialah apakah mikroba yang hidup di bumi sanggup tumbuh dan berkembang pada konsentrasi tinggi magnesium sulfat.
Mencari Garam Untuk Mengungkap Adanya Kehidupan Di Planet Mars Pintar Pelajaran Mencari Garam Untuk Mengungkap Adanya Kehidupan Di Planet Mars
Profesor Mark Schneegurt telah mempublikasikan makalahnya yang diterbitkan di jurnal Astrobiology wacana kehidupan mikrobia di Mars. (Credit: Image courtesy of Wichita State University)
“Jawaban pertanyaan ini nantinya akan berdampak terhadap pemahaman kita mengenai kehidupan di planet Mars, baik itu kehidupan purba ataupun menyerupai ketika ini.” Kata Schneegurt.

Menemukan Kehidupan di Mars?

Pertanyaan lain yang ditulis di makalah tersebut meliputi:
  1. Apakah ada mikroba di Bumi yang mungkin sanggup bertahan hidup di Mars?
  2. Bagaimana cara kita mencegah masuknya mikrobia yang berasal dari pesawat luar angkasa ketika pesawat tersebut mendarat di Mars?
  3. Apakah mikrobia epsotoleran telah ditemukan di sistem kehidupan yang menyerupai dengan Mars?
Schneegurt menyampaikan bahwa pertanyaan tersebut telah menjadi pukulan terhadap hipotesis yang menyatakan bahwa ada kehidupan pada level magnesium sulfat yang tinggi. Padahal hipotesis tersebut merupakan bab dari teori kehidupan di Planet Mars.

Penelitian ini juga berfokus pada pencarian kehidupan di danau yang mempunyai kadar magnesium sulfat yang tinggi dan juga mencari kehidupan serupa di ruang steril pada kemudahan perakitan pesawat ruang angkasa.

Schneegurt dan tim risetnya telah melaksanakan acara penelitiannya di Danau bersuhu panas, yaitu di Danau Washington dan Basque Danau, British Columbia. Mereka mempunyai ratusan mikrobia terisolasi yang ditumbuhkan pada konsentrasi magnesium sulfat yang tinggi. Tujuannya ialah untuk mengkarakterisasi mikroba tersebut dan melihat apakah mereka juga sanggup ditemukan di kemudahan perakitan pesawat ruang angkasa.

“Jika kita membawa kehidupan dari Bumi kemudian mereka bisa tumbuh di Mars, maka hal ini tentunya akan menyulitkan upaya untuk memastikan bahwa setiap kehidupan yang ditemukan di Mars, sebetulnya berasal dari Mars juga. Dengan kata lain, sangat mungkin bahwa ada kehidupan di Mars yang sebetulnya berasal dari bumi melalui pesawat ruang angkasa. Hal ini akan berimplikasi terhadap adanya upaya untuk memproteksi planet tersebut di masa mendatang akhir adanya pencemaran tanah Mars oleh kehidupan dari Bumi”. Kata Schneegurt.

Namun, NASA dan komunitas Astrobiologi justru berpikir sebaliknya. Mereka menanyakan seberapa penting penelitian ini terhadap teori mengenai kehidupan di Planet Mars.

Setelah mendapatkan hibah Kansas NASA EPSCoR (Experimental Program to Stimulate Competitive Research) pada tahun 2009, Schneegurt mendapatkan lagi hibah dari NASA melalui jadwal ROSES dan Planetary Protection group dari JPL (Jet Propulsion Laboratory).

Schneegurt menyampaikan bahwa penelitian yang dilakukannya tersebut tidak hanya mengajarkan kepada kita mengenai kehidupan di Planet Mars, namun penelitian ini juga menunjukkan wawasan mengenai planet kita sendiri yaitu Bumi.

“Penelitian yang kami lakukan ini mempunyai relevansi dengan asal-usul kehidupan di Bumi, alasannya ialah ada kemungkinan bahwa kehidupan bermula dari kolam air asin yang mengalami pasang surut.” Katanya menambahkan.

Referensi Jurnal :

J.D. Crisler, T.M. Newville, F. Chen, B.C. Clark, M.A. Schneegurt. Bacterial Growth at the High Concentrations of Magnesium Sulfate Found in Martian Soils. Astrobiology, 2012; 12 (2): 98 DOI: 10.1089/ast.2011.0720

Artikel ini merupakan terjemahan dari bahan yang disediakan oleh Wichita State University via Science Daily (9 Agustus 2012). Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Pintar Pelajaran Teknologi Gres Sarung Tangan Bedah Nano

Teknologi Baru Sarung Tangan Bedah Nano - Sifat-sifat rumit dari ujung jari telah ditiru dan dibentuk dengan memakai perangkat semikonduktor, peneliti berharap perangkat tersebut akan mengarah pada pengembangan sarung tangan bedah yang canggih.

Perangkat ini terbukti bisa menanggapi ketegangan dan tekanan yang berkaitan dengan sentuhan dan gerakan jari dengan presisi tinggi. Perangkat ini merupakan langkah menuju terciptanya sarung tangan bedah yang sanggup dipakai dalam mekanisme medis menyerupai ablasi lokal dan pencitraan USG.

Peneliti dari University of Illinois di Urbana-Champaign, Northwestern University dan Dalian University of Technology telah mempublikasikan studi mereka ini pada tanggal 10 Agustus di jurnal Nanoteknologi IOP Publishing.

Studi ini memperlihatkan pedoman pada pembuatan perangkat stimulasi electrotactile untuk dipakai pada ujung jari para dokter bedah. Pada jurnalnya, mereka menggambarkan bahan, taktik fabrikasi dan desain perangkat dengan memakai silikon berbasis elektronik yang super tipis serta elastis dan sensor lunak yang sanggup dipasang pada kulit buatan yang kemudian dipasang ke ujung jari.
sifat rumit dari ujung jari telah ditiru dan dibentuk dengan memakai perangkat semikondu Pintar Pelajaran Teknologi Baru Sarung Tangan Bedah Nano
Sifat-sifat rumit dari ujung jari telah ditiru dan dibentuk dengan memakai perangkat semikonduktor , peneliti berharap perangkat tersebut akan mengarah pada pengembangan sarung tangan bedah yang canggih. (Foto: iop.org)
“Bayangkan kemampuan untuk sanggup mencicipi adanya listrik pada suatu jaringan dan kemudian secara lokal mengangkat jaringan itu secara presisi dengan ablasi lokal, semua melalui ujung jari dengan memakai sarung tangan bedah tersebut. Di samping itu sanggup juga dipakai pada pencitraan USG,” kata rekan penulis studi ini, Profesor John Rogers.

Para peneliti memperlihatkan bahwa teknologi gres ini sanggup membuka kemungkinan dibuatnya robot bedah yang sanggup berinteraksi dengan lingkungan sekitar mereka melalui sentuhan.

Rangkaian elektronik pada kulit buatan terbuat dari teladan garis konduktif emas dan lembaran silikon ultra tipis, terintegrasi ke polimer fleksibel yang disebut Polimida. Lembaran ini kemudian diukir dengan bentuk geometri jaring terbuka dan dipindahkan ke lembaran karet silikon tipis kemudian dicetak menjadi bentuk yang sesuai dengan jari.

Kulit buatan elektronik ini, dirancang untuk mengukur tegangan dan regangan pada ujung jari dengan mengukur perubahan kapasitansi (kemampuan untuk menyimpan muatan listrik) pada sepasang mikroelektroda yang ada di sirkuit.

Perangkat ujung jari ini juga bisa dilengkapi dengan sensor untuk pengukuran gerakan dan suhu, dengan pemanas skala kecil sebagai aktuator untuk ablasi dan operasi terkait lainnya.

Para peneliti percaya bahwa sebab perangkat ini memanfaatkan materi dan teknik fabrikasi yang diadopsi dari industri semikonduktor yang telah mapan, prosesnya sanggup ditingkatkan untuk dipakai secara aktual dengan biaya yang murah.

“Mungkin, hasil yang paling penting yaitu bahwa kita bisa untuk menggabungkan, teknologi multifungsi perangkat semikonduktor silikon ke dalam bentuk lunak, tiga dimensi, sesuai / pas dengan kulit, serta cocok untuk integrasi tidak hanya dengan ujung jari tetapi juga cuilan lain dari tubuh,” lanjut Profesor Rogers.

Memang, para peneliti kini berniat untuk menciptakan ‘kulit’ yang sanggup berintegrasi pada cuilan lain dari tubuh, menyerupai jantung. Dalam hal ini, perangkat akan menyelimuti seluruh permukaan 3D jantung untuk menyediakan banyak sekali penginderaan dan fungsi pelaksanaan pada jantung, sehingga sanggup menyediakan perangkat bedah dan diagnostik canggih yang relevan dengan aritmia jantung.

Referensi Jurnal :

Ming Ying, Andrew P Bonifas, Nanshu Lu, Yewang Su, Rui Li, Huanyu Cheng, Abid Ameen, Yonggang Huang, John A Rogers. Silicon nanomembranes for fingertip electronics. Nanotechnology, 2012; 23 (34): 344004 DOI: 10.1088/0957-4484/23/34/344004

Artikel ini merupakan terjemahan dari materi yang disediakan oleh Institute of Physics via Science Daily (9 Agustus 2012). Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Pintar Pelajaran Cara Kumbang Daun Berjalan Di Dalam Air

Cara Kumbang Daun Berjalan Di Dalam Air - Serangga sangat jago melaksanakan adesi (gaya tarik-menarik antar molekul yang tidak sejenis) pada permukaan kering. Namun, di alam, flora sanggup dilapisi oleh air untuk jangka waktu yang cukup panjang, terutama sesudah hujan. Ahli bionik, Profesor Stanislav Gorb dari Kiel University, Jerman, dan ilmuwan material Profesor Naoe Hosoda dari National Institute for Material Science di Jepang, menemukan kemampuan luar biasa dari kumbang daun yang hidup di darat untuk berjalan di bawah air. Dengan mengambil prosedur daya pencetus kumbang, mereka merancang materi buatan, yang sanggup melekat pada permukaan benda di dalam air.

Hasil penelitian ilmiah mereka dipublikasikan pada tanggal 8 Agustus di jurnal online Proceedings of the Royal Society B.
menarik antar molekul yang tidak sejenis Pintar Pelajaran Cara Kumbang Daun Berjalan Di Dalam Air
Kumbang daun yang berjalan di bawah permukaan air (tanda panah putih mengindikasikan gelembung udara yang terperangkap). Tengah: kaki kumbang yang melekat ke permukaan. Pada bab kiri dikelilingi oleh udara. Pada bab kanan berada di bawah air. Bawah: Sebuah buldoser mainan plastik melekat pada substrat memakai polimer terstruktur yang mempunyai gelembung udara yang terjebak di bawah air. (Credit: Hak Cipta: CAU, Sumber: Stanislav Gorb dan Naoe Hosoda)
“Kolaborasi yang kami lakukan dengan Naoe Hosoda ini, menghasilkan temuan yang luar biasa,” kata Gorb. “Pada umumnya telah diketahui bahwa adesi antara dua padatan di udara sanggup dihasilkan dengan tunjangan air. Sama menyerupai kertas yang melekat pada meja dikala menjadi basah.” Tegangan permukaan cairan antara udara, cairan dan padatan disebut gaya kapiler. Untuk melekat pada permukaan kering, serangga memakai gaya kapiler tersebut dengan tunjangan minyak yang tertutup oleh setae (bulu halus) perekat mereka.

“Prinsip yang sama yang terjadi di bawah air tetap merupakan perspektif yang menarik, alasannya yaitu tanpa udara tidak ada gaya kapiler. Kumbang itu menawarkan kepada kita bagaimana melakukannya. Dibutuhkan gelembung udara di bawah air,” terang Gorb. Kumbang memakai gelembung udara yang terjebak antara setae perekat mereka untuk menghasilkan batas yang diharapkan antara udara, cairan dan padatan, dengan demikian sanggup menghasilkan adesi kapiler di bawah air. Sebuah kondisi yang diharapkan untuk proses ini yaitu beberapa properti hidrofobik dari padatan.

Lihat video di bawah ini (Jika video tidak muncul, refresh halaman ini).



Gorb: “Terinspirasi oleh ide ini, kami telah merancang struktur silikon polimer buatan dengan sifat adesif yang bisa melekat di bawah air.” Tantangannya yaitu untuk menemukan kemungkinan semoga bisa menjaga udara dalam materi. Solusinya yaitu dengan memakai struktur mikro yang menghasilkan materi yang lengket di bawah air tanpa memakai lem. Hal ini kemungkinan sanggup diaplikasikan pada perangkat optik bawah bahari atau teknologi bawah air lainnya.”

Referensi Jurnal :

N. Hosoda, S. N. Gorb. Underwater locomotion in a terrestrial beetle: combination of surface de-wetting and capillary forces. Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences, 2012; DOI: 10.1098/rspb.2012.1297

Artikel ini merupakan terjemahan dari goresan pena ulang menurut materi yang disediakan oleh Christian-Albrechts-Universitaet zu Kiel via Science Daily (8 Agustus 2012). Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Pintar Pelajaran Dna Mitokondria “Egois” Pada Hewan

DNA Mitokondria “Egois” Pada Hewan - Para peneliti di Oregon State University untuk pertama kalinya telah menemukan bahwa dalam setiap spesies hewan, terdapat  jenis DNA mitokondria “egois”  yang menyakiti suatu organisme dan mengurangi kesempatan untuk bertahan hidup. DNA ini mempunyai kaitan yang berpengaruh dengan beberapa kerusakan yang terjadi pada sel insan dengan bertambahnya usia seseorang.

Temuan yang gres saja diterbitkan di jurnal PLoS One, meupakan keganjilan biologis yang belum pernah diketahui sebelumnya pada hewan. Tapi keganjilan ini juga sanggup memperlihatkan wawasan gres yang penting untuk mempelajari penuaan pada manusia, kata para ilmuwan.

DNA mitokondria yang “egois ini” sebelumnya  ditemukan dalam tanaman, tetapi tidak ditemukan pada hewan. Dalam hal ini, inovasi itu terjadi hampir secara tidak sengaja selama beberapa riset genetik yang dilakukan pada nematoda, Caenorhabditis briggsae (sejenis cacing gelang kecil).

“Kami bahkan tidak mencari ini saat kita menemukannya, pada awalnya kami pikir bahwa itu yakni kesalahan laboratorium,” kata Dee Denver, associate professor OSU di bidang zoologi. “DNA egois tidak seharusnya ditemukan pada hewan, tetapi sanggup menjelma cukup penting sebagai model genetik gres untuk mempelajari jenis kerusakan mitokondria yang berafiliasi dengan penuaan manusia.”
 Para peneliti di Oregon State University untuk pertama kalinya telah menemukan bahwa dala Pintar Pelajaran DNA Mitokondria “Egois” Pada Hewan
Cacing gelang dengan DNA “egois”. Cacing gelang ini telah diketahui mempunyai DNA mitokondria “egois”. Sebuah keganjilan biologis yang belum pernah ditemukan pada hewan. (Credit: Photo courtesy of Oregon State University)
DNA yakni bahan yang menyimpan isyarat genetik dasar untuk organisme hidup, dan melalui proses biologis kompleks DNA memandu fungsi seluler yang menguntungkan. Beberapa dari DNA juga ditemukan dalam mitokondria, yang merupakan daerah untuk memproduksi energi di dalam sel. DNA mitokondria ini pada satu titik dalam evolusi telah terpisah dari DNA lainnya.

Mitokondria umumnya bertindak untuk kepentingan sel, meskipun agak terpisah. Tetapi DNA “egois”  yang ditemukan pada beberapa mitokondria tumbuhan (yang kini juga ditemukan pada hewan) mempunyai perbedaan yang besar. DNA tersebut cenderung untuk meniru diri lebih cepat dari DNA lain, mempunyai fungsi yang tidak mempunyai kegunaan bagi sel dan dalam beberapa kasus benar-benar merugikan sel. Pada tumbuhan, misalnya, sanggup mempengaruhi pembungaan dan kadang menyebabkan kemndulan.

“Kami telah melihat DNA ini sebelum melihatnya pada nematoda dan tahu bahwa itu berbahaya, tapi kami tidak tidak menyadari bahwa DNA tersebut termasuk dalam DNA “egois”,” kata Katie Clark, seorang rekan postdoctoral OSU. “Cacing dengan DNA tersebut mempunyai keturunan yang lebih sedikit dibandingkan cacing yang tidak memilikinya. Cacing tersebut juga mempunyai acara otot yang kurang. Hal tersebut kemungkinan memperlihatkan bahwa seleksi alam tidak bekerja dengan baik pada spesies ini.”

Hal itu merupakan cuilan dari kasus umum pada DNA “egois”, kata para ilmuwan. Jika tidak membantu organisme bertahan hidup dan bereproduksi, mengapa DNA tersebut tidak menghilang sebagai jawaban dari tekanan evolusi? Kegigihan DNA tersebut, kata mereka, yakni teladan bagaimana seleksi alam tidak selalu bekerja baik pada tingkat organisme atau sel. Perkembangan biologis memang tidak seluruhnya sempurna.

Dalam hal ini, ukuran populasi nematoda mungkin terlalu kecil untuk menghilangkan DNA “egois” tersebut, kata para peneliti.

Hal yang juga menarik, kata mereka, yakni bahwa cacat yang disebabkan oleh DNA “egois” pada cacing gelang ini secara mengejutkan seolah-olah dengan DNA mitokondria anyir yang terakumulasi, yang merupakan salah satu aspek penuaan manusia. DNA “egois” juga lebih banyak ditemukan pada cacing,  seiring dengan penuaan cacing tersebut.

Penelitian lebih lanjut dari perbedaan biologis sanggup membantu membuka tabir gres mengenai apa yang sanggup menyebabkan disfungsi mitokondria, kata Denver. Hal ini juga akan memperlihatkan para peneliti sebuah alat gres yang sanggup dipakai untuk mempelajari proses penuaan.

Referensi Jurnal :

Katie A. Clark, Dana K. Howe, Kristin Gafner, Danika Kusuma, Sita Ping, Suzanne Estes, Dee R. Denver.Selfish Little Circles: Transmission Bias and Evolution of Large Deletion-Bearing Mitochondrial DNA in Caenorhabditis briggsae Nematodes. PLoS ONE, 2012; 7 (7): e41433 DOI: 10.1371/journal.pone.0041433

Artikel ini merupakan terjemahan dari goresan pena ulang menurut bahan yang disediakan oleh Oregon State University via Science Daily (9 Agustus 2012). Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Pintar Pelajaran Stres Dan Depresi Sanggup Mengurangi Volume Otak

Stres Dan Depresi Dapat Mengurangi Volume Otak - Depresi berat atau stres kronis sanggup menyebabkan berkurangnya volume otak, yaitu suatu kondisi yang memperlihatkan donasi terhadap gangguan emosional dan kognitif. Saat ini, tim peneliti yang dipimpin oleh para ilmuwan Yale telah menemukan satu alasan mengapa hal ini terjadi. Hal tersebut terjadi alasannya yakni adanya “saklar” genetik tunggal yang memicu hilangnya koneksi otak pada insan dan depresi pada binatang model.

Temuan yang dilaporkan dalam edisi 12 Agustus di jurnal Nature Medicine ini memperlihatkan bahwa saklar genetik yang dikenal sebagai faktor transkripsi telah merepresi ekspresi dari beberapa gen yang diharapkan untuk pembentukan kekerabatan sinaptik antar sel otak. Pada gilirannya, hal ini sanggup menyebabkan hilangnya massa otak di korteks prefrontal.

“Kami ingin menguji gagasan bahwa stres daat menyebabkan hilangnya sinapsis otak pada manusia. Kami memperlihatkan bahwa sirkuit di otak yang biasanya terlibat dalam emosi serta kognisi, terganggu saat faktor transkripsi tunggal diaktifkan.” kata penulis senior Ronald Duman, seorang professor di bidang psikiatri, neurobiologi dan farmakologi di Elizabeth Mears dan House Jameson.
Stres Dan Depresi Dapat Mengurangi Volume Otak Pintar Pelajaran Stres Dan Depresi Dapat Mengurangi Volume Otak
Ekspresi dari gen tunggal secara dramatis mengurangi kekerabatan sinaptik antar sel otak. Ilmuwan Yale percaya bahwa kemungkinan ini menjelaskan mengapa orang yang menderita stres kronis dan depresi menderita kehilangan volume otak. (Credit: Courtesy Yale University)
Tim peneliti menganalisis jaringan dari pasien yang mengalami depresi dan yang tidak mengalami depresi. Jaringan tersebut merupakan santunan dari sebuah bank otak yang juga sedang  mencari teladan yang berbeda dari aktivasi gen. Otak pasien yang mengalami depresi memperlihatkan tingkat ekspresi gen lebih rendah yang diharapkan untuk menjalankan fungsi dan struktur sinapsis otak. Penulis dan peneliti postdoctoral HJ Kang menemukan bahwa sedikitnya lima gen ini sanggup diatur oleh faktor transkripsi tunggal yang disebut GATA1. Ketika faktor transkripsi diaktifkan, tikus memperlihatkan tanda-tanda menyerupai depresi, hal ini memperlihatkan GATA1 memainkan tugas tidak hanya dalam hilangnya kekerabatan antara neuron tetapi juga dalam tanda-tanda depresi

Duman berteori bahwa variasi genetik dalam GATA1 mungkin suatu hari sanggup membantu mengidentifikasi orang yang berisiko tinggi untuk mengalami depresi berat atau orang yang sensitive terhadap stres.

“Kami berharap bahwa dengan meningkatkan kekerabatan sinaptik, baik dengan obat-obat gres atau terapi perilaku, kita sanggup menyebarkan terapi antidepresan yang lebih efektif,” kata Duman.

Studi ini dibiayai oleh National Institutes of Health and the Connecticut Department of Mental Health and Addiction Services.

Penulis dari Universitas Yale yang juga terlibat dalam penelitian ini yakni Bhavya Voleti, Pawel Licznerski, Ashley Lepack, dan Mounira Banasr.

Referensi Jurnal :

Hyo Jung Kang, Bhavya Voleti, Tibor Hajszan, Grazyna Rajkowska, Craig A Stockmeier, Pawel Licznerski, Ashley Lepack, Mahesh S Majik, Lak Shin Jeong, Mounira Banasr, Hyeon Son, Ronald S Duman. Decreased expression of synapse-related genes and loss of synapses in major depressive disorder. Nature Medicine, 2012; DOI: 10.1038/nm.2886

Artikel ini merupakan terjemahan dari goresan pena ulang menurut bahan yang disediakan oleh Yale University via science Daily. (12 Agustus 2012). Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Pintar Pelajaran Temuan Polimer Gres Yang Resisten Kuman Bisa Meningkatkan Kinerja Perangkat Medis

Temuan Polimer Baru Yang Resisten Bakteri Mampu Meningkatkan Kinerja Perangkat Medis - Para ilmuwan dari  University of Nottingham telah menemukan jenis gres polimer yang mempunyai kemampuan resistensi terhadap bakteri. Material gres ini sanggup mengurangi benjol yang terjadi di rumah sakit dan mengurangi tingkat kegagalan dari kinerja perangkat medis. Temuan ini dihasilkan melalui penerapan teknologi terbaru dan tercanggih pada dikala ini. Infeksi yang terkait dengan perangkat medis sanggup menyebabkan benjol sistemik atau disebut kegagalan perangkat medis, telah memakan biaya sebanyak NHS £1 miliar setiap tahunnya. Bakteri biasanya membentuk komunitas yang dikenal sebagai biofilm dan menghipnotis perangkat medis umum menyerupai kateter (pipa yang digunakan untuk dimasukkan ke dalam lubang tubuh), kandung kemih dan vena.

Temuan ini merupakan kemajuan dari sejumlah pendekatan yang telah dilakukan untuk melindungi perangkat medis tersebut terhadap reaksi perlawanan yang dilakukan oleh sistem pertahanan badan alami dan antibiotik. Para peneliti di Schools of Pharmacy and Molecular Medical Sciences, telah memperlihatkan bahwa materi gres yang diterapkan pada permukaan perangkat medis sanggup mengusir dan mencegah basil untuk sanggup membentuk biofilm.
Temuan Polimer Baru Yang Resisten Bakteri Mampu Meningkatkan Kinerja Perangkat Medis Pintar Pelajaran Temuan Polimer Baru Yang Resisten Bakteri Mampu Meningkatkan Kinerja Perangkat Medis
Analisis sampel memakai metode Time of Flight Mass Spectrometry. (Credit: Courtesy of The University of Nottingham)
Penelitian ini dipimpin oleh Profesor Morgan Alexander dan Profesor Martyn Davies dari School of Pharmacy serta Profesor Paul Williams dari School of Molecular Medical Sciences.

Bahan-bahan gres harus ditemukan memakai teknik terbaru.

Para peneliti percaya bahwa ada materi gres yang mempunyai kemampuan lebih baik dalam melawan atau mencegah bakteri. Oleh lantaran itu mereka berusaha keras untuk menemukannya. Langkah yang harus dilakukan yaitu melaksanakan skrinning terhadap ribuan materi kimia dan menguji reaksinya terhadap bakteri. Hal ini tentunya menjadi sebuah tantangan yang mempunyai tingkat kesulitan lebih tinggi dibandingkan pengembangan material secara konvensional atau segala pemahaman yang kita ketahui dikala ini perihal interaksi mikroorganisme dengan permukaan, tentunya dalam hal ini kaitannya dengan permukaan perangkat medis.

Penelitian ini menerima pemberian dari para ilmuwan Institut Teknologi Massachusetts (MIT), yang awalnya mereka memulai membuatkan suatu proses yang sanggup menyaring ribuan polimer unik secara bersamaan.

“Temuan ini merupakan terobosan ilmiah yang sangat penting. Kami telah menemukan kelompok gres suatu materi yang terkait secara struktural sanggup mengurangi perlekatan basil patogen (Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus dan Escherichia coli) secara signifikan. Sebelumnya, kami tidak sanggup menemukan materi tersebut dikala memakai pemahaman konvensional terkait interaksi basil dengan permukaan. Namun, dengan adanya pemberian teknologi yang dikembangkan MIT, kami sanggup melaksanakan screening terhadap ratusan materi secara bersamaan untuk mengetahui kekerabatan gres dari struktur kimianya. Dari ribuan materi yang kami uji melalui pendekatan terbaru tersebut, maka kami sanggup dengan gampang mengidentifikasi materi gres yang resisten terhadap bakteri. “ kata Professor Alexander.

Bahan gres yang kita temukan mempunyai kemampuan untuk mencegah benjol dengan cara menghentikan pembentukan biofilm pada tahap awal, yaitu ketika basil mencoba untuk melekat pada perangkat untuk pertama kalinya. Uji coba yang dilakukan di laboratorium memperlihatkan bahwa para ilmuwan sanggup mengurangi jumlah basil yang melekat sampai 96,7 persen kalau dibandingkan dengan perangkat lain, yaitu kateter yang dilapisi perak. Pada uji coba memakai model benjol implan pada tikus, Silver-coated Catheter ternyata tidak efektif untuk mengurangi jumlah bakteri.

Jika materi gres tersebut sanggup mencegah penempelan bakteri, maka sistem imun akan mempunyai waktu untuk membunuh basil tersebut sebelum mereka membentuk biofilm.

Ted Bianco, Direktur Alih Teknologi di Wellcome Trust menyampaikan bahwa benjol yang disebabkan oleh penempelan mikrobia biofilm ke permukaan implan, sering tidak sanggup diobati dengan antibiotik konvensional. Hal ini merupakan tantangan serius terhadap langkah perawatan pasien, terutama bagi mereka yang memakai perangkat medis menyerupai kateter, katub jantung, dan sendi prostetik. Penemuan polimer gres tersebut merupakan upaya yang sangat baik untuk memperlihatkan kemajuan di bidang ilmu material. Hal ini sangat mendukung upaya kita untuk meningkatkan kinerja komponen medis yang penting.  Jika ilmu material sanggup memperlihatkan kita panci/wajan/penggorengan anti lengket, maka kami berharap nantinya juga akan ada perangkat medis anti lengket terhadap bakteri.

Adanya penempelan basil yang diikuti pembentukan biofilm merupakan tantangan utama untuk menguji kinerja perangkat medis. Meskipun penelitian ini gres tahap awal, namun jadinya sangat menjanjikan. Tahap selanjutnya dari penelitian ini yaitu membuatkan metode pembuatan lapisan memakai materi gres tersebut di perangkat medis dan mengujinya secara klinis. Para penemu telah melaksanakan diskusi tahap awal dengan sejumlah perusahaan perangkat medis untuk melaksanakan rencana tersebut.

Penelitian ini didukung dana sebanyak £ 1,3 juta dari Wellcome Trust melalui Translation Award untuk proyek penelitian selama 4 tahun. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal akademik Nature Biotechnology (12/08/2012).

Referensi Jurnal :

Andrew L Hook, Chien-Yi Chang, Jing Yang, Jeni Luckett, Alan Cockayne, Steve Atkinson, Ying Mei, Roger Bayston, Derek J Irvine, Robert Langer, Daniel G Anderson, Paul Williams, Martyn C Davies, Morgan R Alexander. Combinatorial discovery of polymers resistant to bacterial attachment. Nature Biotechnology, 2012; DOI: 10.1038/nbt.2316

Artikel ini merupakan terjemahan dari materi yang disediakan oleh University of Nottingham via Science Daily (13 Agustus 2012). Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Pintar Pelajaran Sistem Gres Peringatan Dini Angin Ribut Matahari

Sistem Baru Peringatan Dini Badai Matahari - Peneliti kemungkinan telah menemukan metode gres untuk memprediksi jilatan api matahari beberapa hari sebelum hal itu terjadi. Teknologi tersebut akan memperlihatkan peringatan dini untuk membantu melindungi satelit, jaringan listrik dan astronot dari radiasi berbahaya.

Sistem ini bekerja dengan mengukur perbedaan radiasi gamma yang dipancarkan ketika atom pada elemen radioaktif “rusak” atau kehilangan energi. Tingkat kerusakan/peluruhan tersebut secara luas diyakini bersifat konstan, tetapi temuan gres ini bertolak belakang dengan aturan usang yang selama ini telah  diterima.

Teknik deteksi gres ini didasarkan pada hipotesis bahwa tingkat peluruhan radioaktif dipengaruhi oleh kegiatan matahari, kegiatan matahari tersebut kemungkinan berupa aliran partikel subatomik yang disebut neutrino matahari. Menurut hipotesis, imbas tersebut sanggup berkurang sebab perubahan musiman jarak bumi dari matahari dan juga selama jilatan api matahari. Hipotesis tersebut didukung dengan data yang diterbitkan dalam lusinan makalah penelitian semenjak tahun 2006, kata Efraim Fischbach, seorang profesor fisika di Universitas Purdue.
Sistem Baru Peringatan Dini Badai Matahari Pintar Pelajaran Sistem Baru Peringatan Dini Badai Matahari
Jilatan api matahari yang terjadi pada bulan September 2005, gambar ini diambil dengan memakai X-ray waveband oleh satelit TRACE NASA. (Credit: NASA / LMSAL)
Fischbach dan Jere Jenkins, merupakan seorang insinyur nuklir dan eksekutif laboratorium radiasi di Sekolah Teknik Nuklir, yang memimpin penelitian ini untuk mempelajari fenomena tersebut dan kemungkinan sanggup membuatkan sistem peringatan baru. Jenkins memantau detektor di labnya pada tahun 2006, ia menemukan bahwa tingkat peluruhan sampel radioaktif mulai mengalami sedikit perubahan 39 jam sebelum terjadi “solar flare” atau jilatan api matahari yang besar.

Sejak ketika itu, para peneliti telah meneliti variasi yang sama dalam tingkat peluruhan sebelum terjadi jilatan api matahari. Temuan gres ini muncul secara online ahad kemudian di jurnal Astroparticle Physics.

“Untuk pertama kalinya, isotop yang sama telah dipakai dalam dua percobaan yang berbeda di dua laboratorium yang berbeda dan intinya memperlihatkan fenomena yang sama,” kata Fischbach. Makalah penelitian ini ditulis oleh Jenkins dan Fischbach; Kevin R. Herminghuysen, Thomas E. Biru, Andrew C. Kauffman dan Joseph W. Talnagi dari Ohio State University; Daniel Javorsek peneliti dari Angkatan Udara AS; Daniel W. Mundy peneliti dari Mayo Clinic dan Peter A. Sturrock peneliti dari Universitas Stanford.

Data direkam selama kalibrasi rutin mingguan dari alat yang dipakai untuk keselamatan radiologi di sebuah reaktor penelitian di negara serpihan Ohio. Hasil temuan memperlihatkan variasi tahunan yang terang dalam tingkat peluruhan isotop radioaktif yang disebut klorin-36, dengan tingkat tertinggi pada Januari dan Februari dan tingkat terendah pada bulan Juli dan Agustus, selama periode Juli 2005 hingga Juni 2011.

Pengamatan gres ini mendukung pekerjaan yang dilakukan oleh Jenkins dan Fischbach sebelumnya untuk membuatkan metode untuk memprediksi jilatan api matahari. Peringatan dini sanggup memungkinkan operator satelit dan jaringan listrik untuk mengambil langkah-langkah meminimalkan dampak dari angin kencang matahari. Para astronot juga sanggup melindungi diri dari radiasi yang berpotensi mematikan yang dipancarkan selama angin kencang matahari.

Temuan tersebut selaras dengan data yang dikumpulkan sebelumnya di Laboratorium Nasional Brookhaven mengenai tingkat peluruhan klorin 36; perubahan dalam tingkat peluruhan telah ditemukan sesuai dengan perubahan jarak Bumi-Matahari dan paparan bumi ke aneka macam serpihan matahari, kata Fischbach.

Jilatan api matahari yang besar sanggup menghasilkan “coronal mass ejection” partikel yang sangat tinggi, dimana partikel tersebut sanggup berinteraksi dengan magnetosfer Bumi. Hal tersebut sanggup memicu angin kencang geomagnetik yang terkadang sanggup melumpuhkan daya. Aktivitas matahari diperkirakan akan mencapai puncaknya selama tahun depan, kegiatan puncak matahari tersebut sebagai serpihan dari siklus 11 tahun yang sanggup menjadikan angin kencang matahari yang kuat.

Badai matahari sanggup sangat merusak bila jilatan api matahari yang terjadi kebetulan mengarah ke bumi. Badai matahari tersebut akan menghantam planet ini secara pribadi dengan partikel bermuatan yang sangat kuat. Sebuah angin kencang matahari besar yang disebut “Carrington event”, menghantam bumi pada tahun 1859, pada ketika itu infrastruktur listrik satu-satunya hanya berupa jaringan telegraf.

“Ada begitu banyak energi yang dipancarkan angin kencang matahari sehingga menciptakan kabel telegraf terlihat bersinar dan Aurora Borealis yang biasa terjadi pada serpihan bumi lintang utara muncul di Kuba (lintang selatan),” kata Fischbach. “Karena kita kini mempunyai infrastruktur satelit, jaringan listrik dan semua jenis sistem elektronik yang canggih, apabila terjadi angin kencang sebesar itu maka hal tersebut akan menjadi bencana. Dengan mempunyai sistem peringatan dini mengenai angin kencang matahari sanggup sangat membantu dalam mencegah kerusakan terburuk.”

Satelit dan jaringan listrik sanggup dimatikan sementara sebelum dan selama terjadi angin kencang matahari tersebut.

Para peneliti telah mengumpulkan data selama terjadinya 10 jilatan api matahari semenjak tahun 2006 dan mereka melihat pola yang sama.

“Kami telah berulang kali melihat sinyal prekursor sebelum terjadinya jilatan api matahari,” kata Fischbach. “Kami berpikir bahwa hal tersebut mempunyai nilai prediktif.”

Rancangan eksperimental Purdue terdiri dari sumber radioaktif  mangan-54 dan detektor radiasi gamma. Pada ketika mangan-54 meluruh maka akan berkembang menjadi kromium 54 yang akan memancarkan sinar gamma kemudian akan dicatat oleh detektor untuk mengukur tingkat kerusakan.

Universitas Purdue telah mengajukan permohonan hak paten di Amerika untuk konsep tersebut.

Hasil penelitian memperlihatkan bukti bahwa fenomena ini dipengaruhi oleh jarak bumi dari matahari. Sebagai contoh; terjadi tingkat peluruhan yang berbeda pada bulan Januari dan Juli, dimana pada kedua bulan tersebut merupakan jarak yang terdekat dan terjauh anatara bumi dan matahari (Januari : jarak terdekat, Juli : jarak terjauh).

“Ketika bumi berada lebih jauh, neutrino matahari lebih sedikit dan tingkat peluruhan sedikit lebih lambat,” kata Jenkins. “Ketika bumi lebih dekat, neutrino meningkat dan peluruhan terjadi sedikit lebih cepat.”

Para peneliti juga telah mencatat kenaikan dan penurunan tingkat peluruhan selama angin kencang matahari.

“Hal yang terjadi ialah bahwa matahari menghipnotis peluruhan radioaktif,” kata Fischbach.

Neutrino mempunyai massa paling sedikit diantara partikel subatomik yang selama ini telah diketahui, namun sangat masuk nalar bahwa entah bagaimana neutrino menghipnotis tingkat peluruhan, katanya.

Fisikawan Inggris, Ernest Rutherford, yang dikenal sebagai bapak fisika nuklir, pada tahun 1930 melaksanakan percobaan yang memperlihatkan bahwa tingkat peluruhan radioaktif  terjadi secara konstan, hal tersebut berarti tingkat peluruhan tidak sanggup diubah oleh imbas eksternal.

“Karena neutrino intinya tidak mempunyai massa atau muatan, maka gagasan bahwa neutrino sanggup berinteraksi dengan partikel lainnya sangat tidak lazim berdasarkan aturan fisika,” kata Jenkins. “Jadi, kita mempunyai gagasan bahwa sesuatu yang tidak berinteraksi dengan sesuatu sanggup merubah sesuatu yang tidak sanggup diubah. Entah itu neutrino memang merupakan partikel yang menghipnotis tingkat peluruhan atau mungkin sanggup jadi ada sebuah partikel lain yang belum diketahui.”

Jenkins menemukan imbas ini secara kebetulan pada tahun 2006, ketika ia sedang menonton liputan televisi mengenai astronot yang sedang bekerja di Stasiun Luar Angkasa Internasional. Sebuah jilatan api matahari telah terjadi dan kemungkinan dianggap sanggup menjadikan ancaman bagi para astronot. Dia tetapkan untuk menilik peralatannya dan menemukan bahwa perubahan dalam tingkat peluruhan telah terjadi sebelum terjadinya jilatan api matahari.

Penelitian lebih lanjut diharapkan untuk mengkonfirmasi temuan ini dan mengembangkannya dengan memakai peralatan yang lebih sensitif, katanya.

Jenkins dan Fischbach sebelumnya telah berkolaborasi dengan Peter Sturrock; seorang profesor emeritus fisika terapan di Stanford University dan jago kegiatan matahari, untuk menilik data yang dikumpulkan di Brookhaven pada tingkat peluruhan isotop radioaktif silikon-32 dan klorin-36 . Hasil temuan tim peneliti tersebut pada tahun 2010 di Astroparticle Physics memperlihatkan bahwa tingkat peluruhan dari kedua isotop tersebut bervariasi dalam pola ulangan selama 33 hari. Dimana hal tersebut mereka anggap berkaitan dengan tingkat rotasi inti matahari.

Kelompok peneliti ini menemukan bukti fenomena tahunan dan 33 hari yang sama pada data radium-226 yang diambil di Physikalisch-Technische Bundesanstalt (PTB) di Braunschweig, Jerman, inovasi  mereka ini dipublikasikan pada tahun 2011. Mereka juga menemukan pola berulang pada 154 hari embel-embel di kedua data Brookhaven dan PTB yang diterbitkan pada tahun 2011, mereka yakin bahwa hal ini berkaitan dengan matahari dan seolah-olah dengan fenomena matahari yang disebut periodisitas Rieger.

Referensi Jurnal :

Jere H. Jenkins, Kevin R. Herminghuysen, Thomas E. Blue, Ephraim Fischbach, Daniel Javorsek II, Andrew C. Kauffman, Daniel W. Mundy, Peter A. Sturrock, Joseph W. Talnagi. Additional experimental evidence for a solar influence on nuclear decay rates. Astroparticle Physics, 2012; DOI: 10.1016/j.astropartphys.2012.07.008

Artikel ini merupakan terjemahan dari goresan pena ulang berdasarkan materi yang disediakan oleh Purdue University via Science Daily. Artikel aslinya ditulis oleh Emil Venere. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.