Perpustakaan Cyber (18/3/2015) - Blangkon yaitu sebuah potongan yang tak terpisahkan dari pakaian moral Jawa. Penutup kepala yang dikhususkan untuk laki-laki ini juga sering disebut sebagai bentuk sederhana dari iket yang pada jaman dahulu memang lebih banyak digunakan. Dewasa ini penggunaan Blangkon memang terbatas pada kalangan tertentu, atau hanya pada program tertentu saja (misal upacara moral dan pernikahan). Blangkon dengan motif batiknya memang telah dikenal bahkan secara internasional dimana setiap orang yang menggunakan Blangkon menyerupai mencicipi imbas menjadi lebih bersahabat dengan kekayaan budaya Jawa.
Pemakaian Blangkon
Meskipun lekat dan banyak diidentikkan dengan budaya Jawa, gotong royong penggunaan Blangkon ini tidak hanya di tempat sekitar Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Penggunaan epilog kepala yang mempunyai bentuk hampir serupa dapat ditemui di banyak daerah. Meskipun mempunyai nama dan sejarah yang berbeda, tapi intinya banyak sekali macam epilog kepala ini merupakan sebuah kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia. Seperti dapat ditemukan juga pada suku Sunda dan juga Bali, mereka mempunyai epilog kepala yang menjadi ciri khas tempat masing-masing.
Memahami Bentuk Blangkon
Bentuk Blangkon yang mempunyai tonjolan (pada masyarakat Jawa sering dikenal dengan sebutan mondholan) ternyata erat hubungannya dengan kebiasaan masyarakat Jawa pada jaman dahulu. Mondholan ini mengacu pada potongan rambut panjang yang dahulu banyak dimiliki masyarakat. Rambut panjang ini lalu diikat secara berpengaruh semoga terlihat lebih rapi terutama saat akan bepergian atau menghadiri program adat. Rambut yang diikat tadi tentunya akan menyerupai tersembul di potongan belakang kepala, dan inilah yang lalu ditandakan dengan adanya mondholan pada Blangkon tersebut. Seiring berkembangnya budaya pada suku Jawa, rambut panjang tentunya sudah mulai ditinggalkan, oleh sebab itu pada masa ini mondholan yang ada di Blangkon merupakan hasil jahitan dan bukan dari ikatan rambut yang menyembul.
Meskipun sebetulnya ada banyak macam Blangkon, tapi ada 2 macam yang lebih lebih banyak didominasi dan banyak dikenal di masyarakat yaitu Blangkon yang berasal dari Surakarta dan dari Yogyakarta. Memang intinya corak dan bentuk kedua macam Blangkon ini terlihat serupa, hanya saja perbedaan paling terlihat ada pada potongan mondholan. Jika pada Blangkon Yogyakarta mondholan terlihat lebih bulat, pada Blangkon Surakarta mondholan yang ada terlihat lebih tipis dan pipih.
Bentuk Blangkon dilihat dari Kebiasaan Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa sering dikenal dengan budayanya yang suka basa-basi. Hal ini memang telah menjadi kebiasaan yang terjadi secara turun temurun. Masyarakat ini sering menolak secara halus penawaran yang diberikan orang lain, padahal dalam hati ada kemungkinan gotong royong mau. Penolakan dilakukan sebab kalau pribadi mengiyakan proposal orang lain (misal untuk makan) akan terlihat rakus dan tidak sopan. Ternyata bentuk Blangkon ikut mencerminkan hal ini. Mondholan atau juga tonjolan yang ada di belakang kepala sering diasosiasikan dengan apa yang gotong royong ada di pikiran. Makara kalau dilihat dari bentuk Blangkon ini, sifat seseorang ini akan terlihat rapi dan elok dari depan, tapi ternyata di belakang ada tonjolan (maksud lain). Tentu maksud lain yang dibahas ini tidak dapat serta merta dianggap sebagai sesuatu yang negatif, sebab maksud lain tersebut dapat juga bertujuan sesuatu yang baik.
Asal Mula Blangkon
Untuk asal mula Blangkon sendiri, gotong royong tidak ada isu yang niscaya mengenai hal ini. Yang niscaya diketahui yaitu Blangkon sudah ada saat masa awal jaman kerajaan Hindu dan Islam di Indonesia. Satu teori perihal asal mula Blangkon memang dikaitkan dengan hal ini. Pada jaman itu banyak pedagang Gujarat yang masuk ke negeri ini dan kebanyakan dari mereka menggunakan epilog kepala yang hampir serupa dengan Blangkon. Dan hal inilah yang nantinya mempengaruhi penggunaan Blangkon sebagai epilog kepala khas masyarakat Jawa.
No comments:
Post a Comment