Artikel dan Makalah wacana Pengaruh Tradisi Lokal, Hindu Budha, Dengan Islam Terhadap Perkembangan Kebudayaan Di Indonesia - Interaksi antara tradisi lokal, Hindu Budha, dengan Islam balasannya menghasilkan sesuatu yang budaya yang khas. Melalui proses akulturasi yang evolusioner (berjalan lambat-laun), masyarakat Indonesia semakin kaya akan keberagaman budaya, dari mulai bidang seni arsitekturnya, sastra, seni rupa, seni tarian dan musik, konsep kekuasaan, dan bidang-bidang yang lainnya. (Baca juga : Proses dan Hasil Akulturasi Budaya antara Tradisi Lokal, Hindu Budha, dan Islam di Indonesia)
1. Dalam Seni Arsitektur dan Bangunan
Corak arsitektur bangunan bercorak Islam yang ada di Indonesia banyak dipengaruhi warna Gujarat, India. Masyarakat Gujarat ini pada awalnya beragama Hindu, namun semenjak Islam masuk ke India sebagian dari mereka memeluk Islam. Gaya arsitektur bangunan di Gujarat merupakan akulturasi antara Hindu dan Islam, sehingga bentuknya berbeda dengan bangunan yang berada di Arab. Dengan demikian, masuknya Islam melalui Gujarat tidak mempengaruhi bentuk bangunan Indonesia yang masih menempel dengan budaya Hindu-Budhanya.
Seperti candi dan biara, arsitektur bangunan mesjid dibentuk secara khusus biar terlihat beda dengan bangunan-bangunan lainnya. Sebagai tempat beribadah tetntunya bangunan bersangkutan harus terlihat lebih Istimewa dibandingkan bangunan-bangunan lainnya dan tahan lama. Biasanya atap masjid dibentuk berundak-undak (bertingkat), sedangkan masjidnya berdenah persegi panjang, mempunyai serambi depan atau samping, dikelilingi benteng, dan gerbang masjid tersebut berbentuk gapura yang berornamen Hindu Budha. Contoh masjid-masjid yang berarsitektur mirip ini sanggup dijumpai pada Mesjid Marunda di Jakarta, Mesjid Agung Demak, Mesjid Agung Banten, dan Mesjid Agung Cirebon. Adapula beberapa masjid arsitekturnya sangat kental akan nuansa Cina; masjid ini biasanya didirikan oleh komunitas Tionghoa muslim yang ada di Indonesia, dan tak jarang masjid tersebut berubah fungsi menjadi kelenteng sebab ditinggalkan penduduk aslinya.
Biasanya, di sekitar masjid pada zaman dahulu selalu terdapat makam orang-orang penting di zamannya. Makam yang terdapat di belakang atau di samping masjid tersebut, biasanya merupakan tempat peristirahatan terakhir para raja beserta keluarga dan kerabatnya atau para wali. Makam-makam tersebut dibentuk lebih tinggi dari tanah sebagai penanda bahwa kedudukan almarhum/almarhumah berbeda dengan rakyat biasa. Makam raja dan keturunannya dikumpulkan dalam satu wilayah mirip halnya keluarga (ayah, ibu, dan anak). Batu nisan pada makam dibentuk dari kerikil dan ditulisi nama orang, tempat dan tanggal lahir dan meninggal orang bersangkutan dengan aksara Arab dan bertarikh hijriah.
a. Keraton
Perpaduan budaya dalam bentuk bangunan sanggup dilihat dari bentuk arsitektur pada keraton sebagai tempat raja. Keraton yang berada di Jawa dan Sumatera kebanyakan merupakan perpaduan antara budaya Islam dengan Hindu dan Buddha. Keraton-keraton yang terdapat di Jawa, lazimnya dihiasi dengan ornamen-ornamen hiasan khas Islam yang dipadukan dengan ornamen Jawa yang Hindu Budha. Pada gerbang tempat masuk kerajaan dihiasi oleh gapura dan makara model Majapahit atau Singasari. Ruangan-ruangan di dalam keraton tersebut dihiasi ukiran-ukiran yang memadukan unsur Islam dengan Hindu Budha.
b. Masjid
Bagi umat Islam, masjid merupakan sentra kekuasaan politik yang handal, selain sebagai lambang persatuan umat. Pada masa Raden Patah menjadi raja, Masjid Demak merupakan tempat para wali dan pihak kerajaan membahas masalah-masalah politik. Sebagai pemimpin umat, seorang raja dituntut untuk membangun masjid dengan semegah mungkin. Besar dan kecilnya bangunan masjid merupakan cerminan dari kekuasaan yang dimiliki oleh seorang raja.
Di Indonesia, sebelum seni arsitektur Islam dikenal betul, bangunan mesjid mengikuti seni arsitektur yang berkembang sebelumnya, mirip Mesjid Agung Cirebon, Agung Banten, Demak, Kudus, Jepara dan mesjid-mesjid lainnya. Mesjid-mesjid tersebut mempunyai ciri atap yang bertumpuk-tumpuk yang banyak efek dari budaya lokal dan Hindu Budha.
c. Makam
Sejarah senantiasa menunjukkan kepada generasi mendatang wacana begitu banyak raja yang sangat cintai sebab ketenaran dan kekayannya. Dan walaupun, raja tersebut sesungguhaya tak disukai rakyatnya, tetap saja makamnya dibangun begitu megah. Ketika raja tersebut meninggal dunia, sebuah makam atau kuburan pun dibuatkan dengan megah dan besar serta bercitra rasa arsitektural yang tinggi. Di India, misalnya, kita melihatnya pada Taj Mahal, makam permaisuri Sultan Syah Jehan dari Dinasti Mughal yang berjulukan Arjuman Banu Begum yang dikenal juga dengan Muntaz Mahal yang meninggal pada 1631.
Di Indonesia, sejumlah peninggalan makam raja-raja yang pernah berkuasa cukup terpelihara dengan baik. Tidak mirip mayat raja-raja Hindu-Buddha yang diabukan dan disimpan dalam candi, mayat raja-raja Islam biasanya dikubur dalam tanah. Setelah dikubur jenazahnya maka makam raja bersangkutan akan dipelihara dan disanjung-sanjung. Para raja dan kerabat raja Mataram-Islam mempunyai komplek pemakaman khusus yang berada di Bukit Imogiri, Yogyakarta. Komplek Imogiri ini dibangun atas perintah Sultan Agung Mataram sebagai tempat kuburannya dan sanak-saudaranya kelak kalau meninggal dunia.
Pembangunan komplek pemakaman di bukit tersebut mempunyai motivasi yang bersifat kosmis yang berafiliasi dengan iman animisme dan konsep dewa-dewi Hindu. Menurut iman tradisional, bukit atau dataran tinggi merupakan tempat yang layak bagi ”tempat peristirahatan terakhir” seorang raja atau penguasa yang berperan sebagai wakil Tuhan di dunia.
Bandingkanlah komplek Imogiri ini dengan komplek Candi Dieng peninggalan Mataram Kuno yang juga berada di dataran tinggi. Selain makam raja, makam-makam kerabat istana dan para pemuka agama yang terpandang juga senantiasa dirawat dan pada momen-momen tertentu sering diziarahi orang untuk banyak sekali macam kepentingan. Makam para Wali Sanga, misalnya, sampai kini masih sering dikunjungi, terutama pada hari-hari raya besar Islam. Selain mendoakan arwah yang diziarahinya, para pendatang juga selalu berdoa meminta kepada makam atau arwah bersangkutan biar keinginannya terpenuhi. Tak jarang harapan para peziarah tersebut berbau mistis atau duniawi, mirip minta awet-muda, jabatan, kekayaan, perjodohan, dan hal-hal keduniawian lainnya.
2. Pengaruh dalam Kesusastraan
Karya sastra merupakan cerminan budaya di mana sastra tersebut lahir dan berkembang. Sejak masa prasejarah, sastra telah berkembang dari generasi ke generasi secara tuturan (folklore). Dengan masuknya tradisi Hindu Budha, seni sastra di Indonesia (terutama di Jawa dan Sumatera) mengalami perkembangan yang progresif, sastra verbal pun beralih menjadi sastra tulis yang mengambarkan zaman sejarah dimulai. Para pujangga atau sekretarsi (juru tulis) istana menulis kitab-kitab dengan tema-tema beragam, tidak lagi terbatas kepada legenda dan mitologi semata, melainkan tema yang lebih rasional, yang bernilai sejarah. Karya-karya sastra India sangat kental pengaruhnya terhadap penulisan sastra yang berkembang pada masa kerajaan Hindu Budha di Indonesia.
Pada mulanya para pujangga istana menerjemahkan kitabkitab India mirip Mahabharata dan Ramayana ke dalam bahasa ibu/daerah masing-masing, contohnya bahasa Melayu atau Jawa Kuno. Setelah kehidupan politik, sosial, ekonomi stabil, mereka kemudian menggubah atau memparafrasakan (menulis kembali menurut kalimat-kalimat ciptaan sendiri; bukan sekadar mengalihbahaskan semata) sastra-sastra India tersebut. Yang mempelopori penggubahan dari sastra India ke sastra Jawa Kuno (Kawi) ialah Dharmawangsa Teguh, yakni epik Mahabharata. Penggubahan ini makin pesat pada masa berikutnya. Lahirlah karya sastra dalam bentuk kakawin seperti: Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa, Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, Gatotkaca Sraya karya Mpu Panuluh, Kresnayana karya Mpu Triguna. Di daratan Sumatera dan Melayu lahir pula karya-karya saduran dari India mirip Hikayat Sri Rama (saduran dari Ramayana); Hikayat Pandawa, Hikayat Pandawa Panca Kelima, Hikayat Pandawa Jawa (semuanya saduran dari epos Mahabharata), serta Hikayat Sang Boma—meski ada kemungkinan gres ditulis sesudah efek Islam datang.
Selain menggubah dan menyadur, para pujangga makin menunjukkan kematangannya sebagai budayawan. Mereka mulai mengarang kisah-kisah sendiri meski temanya tidak jauh dengan karya-karya pada zaman sebelumnya. Masa ini di Jawa disebut masa Jawa-Hindu-Budha bukan lagi masa Hindu-Buddha- Jawa, yang artinya bahwa para sastrawan telah menemukan “jati diri” mereka sebagai orang Jawa dalam bekarya; begitu pula di Ranah Melayu dan daerah-daerah lain di Indonesia. Berikut ini ialah sejumlah karya “asli” para pujangga Jawa: Negarakretagama karya Mpu Prapanca, Sutasoma karya Mpu Tantular, kitab Pararaton, Kidung Sunda, Ranggalawe, Sorandaka, Usana Jawa, Sutasoma karya Mpu Tantular, Smaradhana karya Mpu Dharmaja, Lubdaka dan Wrtasancaya karya Mpu Tanakung.
Setelah masyarakat Indonesia mengenal agama dan kebudayaan Islam, perkembangan dunia sastra makin pesat. Banyak karya sastra yang bersifat historiografi tradisional yang di dalamnya memuat elemen-elemen kesejarahan namun tetap mengandung unsur-unsur pra-Islam. Kitab-kitab mirip Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Aceh, Hikayat Hasanuddin sanggup dijadikan sumber dalam melacak sejarah kedatangan Islam ke Indonesia. Di Jawa muncullah kitab-kitab dalam bentuk suluk, hikayat, serat, dan perimbon. Perimbon ini berisi ramalan dan penentuan hari yang baik untuk berdagang, mencari ilmu, menikah, program syukuran, dan sebagainya.
Pada masa Mataram-Islam, efek seni musik, sastra, dan bahasa Jawa menyebar ke wilayah lainnya di Nusantara. Sebagai pihak yang paling berkuasa secara politik, otomatis Mataram pun menghendaki bahwa seni-budaya khas Mataram dikenal dan dipelajari oleh kerajaan-kerajaan lain sebagai bawahannya. Oleh sebab itu, misalnya, di tempat Priangan (Jawa Barat) dikenal sejumlah kosa kata dan tembang yang berasal dari budaya Jawa
Karya-karya sastra di Jawa hasil akulturasi Islam-tasawuf dengan konsep Jawa-Hindu-Buddha antara lain:
(a) Suluk Minang Sumirang, menggambarkan jiwa insan menyatu dengan Tuhan.
(b) Suluk Sukarsa, menceritakan Ki Sukarsa mencari ilmu untuk mendapat kesempurnaan. Cerita ini mirip dongeng Dewa Ruci dalam dongeng pewayangan Jawa yang mengisahkan pencarian Bima (Pandawa nomor dua) akan hakikat dan makna kehidupan.
(c) Suluk Wijil, berisi wejangan-wejangan Sunan Bonang kepada Wijil, seorang mantan abdi istana di Majapahit yang bertubuh cebol.
Karya-karya sastra Melayu (dan kemudian Jawa) banyak tergoda oleh kebudayaan Arab dan Persia. Cerita-cerita populer dari Timur Tengah ikut menyemarakkan sastra yang beredar di Indonesia. Cerita mirip Kisah 1001 Malam gubahan sastrawan yang hidup pada masa Dinasti Umayyah, yakni Abu Nawas dari Irak, atau dongeng Aladin yang banyak mempengaruhi sastra Melayu di serpihan barat Indonesia. Sastra karya Hamzah Fansuri merupakan pola hasil akulturasi kebudayaan Islam- Timur-Tengah dengan pedoman Buddha.
Catatan Sejarah :
Hamzah Fansuri ialah pola begitu terpengaruhnya para sastrawan Sumatera oleh karya sastra Timur Tengah. Dua karya sastra Hamzah Fansuri yang populer ialah Syair Perahu dan Syair Si Burung Pingai. Syair Perahu menggambarkan insan yang didibaratkan bahtera yang mengarungi lautan dengan menghadapi segala rintangan. Segala rintangan tersebut dalam pandangan goresan pena tersebut harus dihadapi oleh tauhid dan makrifat kepada Tuhan (Allah SWT). Sedangkan Syair si Burung Pingai menggambarkan insan sebagai seekor burung yang dianggap sebagai dzat Tuhan.
Selain karya-karya di atas, akulturasi sastra Islam dengan budaya lokal bisa dilihat dari karya-karya sastra lainnya, mirip Syair Panji Sumirang, Cerita Wayang Kinundang, Hikayat Panji Kuda Sumirang, Hikayat Cekel Weneng Pati, Hikayat Panni Wilakusuma, Syair Ken Tumbunan, Lelakon Mesda Kuminir. Karya-karya yang kaya dengan budaya Islam dan lokal ini banyak dihasilkan pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam, terutama yang ada di Sumatera dan Semenanjung Melayu.
Budaya dan sastra Jawa, berbeda dengan budaya Sumatera, efek kebudayaan Hindu-Buddhanya sangat kental dan sarat akan unsur-unsur ”kebatinan”. Pada ketika kebudayan ini berrtemu dengan tasawwuf dalam Islam, balasannya menjadi sangat pas untuk dikembangkan. Karya-karya sastra Jawa, mirip suluk yang berisi wacana ramalan, problem mistik dan arti dari simbol-simbol tertentu. Suluk merupakan serpihan dari pedoman tasawuf yang isinya tantang proses menuju makrifat.
3. Konsep Kekuasaan
Bentuk akulturasi, tidak terjadi hanya dalam wilayah kesenian dan sosial kemasyarakatan, melainkan juga merambah ke dalam dunia politik dan kekuasaan. Dalam tradisi Jawa Hindu Budha, seorang raja selalu ditempatkan menjadi seorang yang mempunyai tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan insan lain. Begitu pula dalam pedoman Islam, raja atau sultan dipandang sebagi wali atau wakil Tuhan di muka bumi biar kehidupan bermasyarakat terjamin.
Seorang sultan akan dipandang rendah kalau ia tak bisa mengembang amanah rakyat yang dipercayakan ke pundaknya. Dan konsepsi akan kekuasan Hindu-Buddha dan Islam tersebut pertama-tama akan berhadapan dengan konsep kekuasaan tradisional, yang senantiasa dihubung-hubungkan dengan alam gaib. Karena anggapan dan persepsi tadi, konsep kekuasaan, baik pada masa Hindu Budha maupun Islam, selalu disangkutpautkan dengan hal-hal mistis, contohnya:
(a) Seorang raja di Jawa, baik ia Hindu, Buddha, atau Islam, selalu akan memperkuat legitimasi kekuasannya dengan mengaku sebagai ”suami” dari Nyi Roro Kidul, tokoh perempuan manis yang legendaris yang konon penguasa Pantai Selatan (Segara Kidul) di Pulau Jawa (Samudera Indonesia).
(b) Seorang raja selalu mengangkat dirinya sebagai penjelmaan ilahi di dunia (dewaraja) atau seorang khilafah (utusan) Tuhan di muka bumi. Hal ini dilakukan untuk memperkuat anggapan bahwa seorang raja mempunyai hubungan tertentu dengan ilahi atau Tuhan.
(c) raja-raja di Jawa selalu memakai gelar-gelar yang mengatakan bahwa kekuasaan mereka sangat berpengaruh dan agung, contohnya gelar Mas Jolang raja Mataram: ”Sultan Agung Hanyokrokusumo Senopati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidina Panatagama” yang seakan-akan ia merupakan raja sekaligus senapati tak tertandingi dalam peperangan dan juga sekaligus pemimpin agama. Atau lihat pula gelar yang digunakan Mpu Sindhok pendiri Dinasti Isana yaitu “Sri Maharaja Raka i Hino Sri Isana Wikrama Dharmatunggadewa” yang menandai bahwa ia ialah penguasa bumi, wakil dewa, dan juga pendiri dinasti baru.
Raja-raja biasanya mempunyai benda-benda pusaka yang biasa digunakan untuk menyimpan kekuatan magis. Kekuatan ini dalam anggapan para raja bisa menahan marabahaya, kesulitan, musibah dan gejolak alam lainnya. Benda-benda tersebut biasanya berbentuk keris, payung, tombak, gong, bahkan gamelan musik, dan benda-benda keramat lainnya. Kebesaran seorang raja atau penguasa pun sampai kini sering terlihat dari dipahatkannya patung-patung raja bersangkutan, mirip halnya raja-raja Hindu Budha pada masa lalu.
Anda kini sudah mengetahui Pengaruh Tradisi Lokal, Hindu Budha, Dengan Islam Terhadap Perkembangan Kebudayaan Di Indonesia. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
Referensi :
Suwito, T. 2009. Sejarah : Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) Kelas XI. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 368.
No comments:
Post a Comment