Archaebacteria (Archaea) : Pengertian, Ciri-ciri, Struktur dan Fungsi Sel - Archaebacteria terdiri dari bakteri-bakteri yang hidup di tempat-tempat kritis atau ekstrim, contohnya basil yang hidup di air panas, bakteri yang hidup di tempat berkadar garam tinggi, dan basil yang hidup di tempat yang panas atau asam, di kawah gunung berapi, dan di lahan gambut. Menurut para ahli, Archaebacteria dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama, yaitu metanogen, halofil ekstrim, dan termofil ekstrim (termoasidofil). Secara struktural, kelompok prokariotik ini mempunyai beberapa karakteristik, yaitu dinding selnya tidak mengandung peptidoglikan, ribosomnya mengandung beberapa jenis RNA-polimerase sehingga lebih menyerupai eukariotik, dan plasmanya mengandung lipid dengan ikatan ester.
Metanogen merupakan kelompok prokariotik yang mereduksi karbondioksida (CO2) menjadi metana (CH4) memakai hidrogen (H2). Metanogen merupakan mikroorganisme anaerob, tidak membutuhkan oksigen lantaran baginya oksigen merupakan racun. Metanogen memiliki tempat hidup di lumpur dan rawa, tempat mikroorganisme lain menghabiskan semua oksigen. Contohnya ialah Methanococcus janascii (Gambar ).
Gambar 1. Methanococcus jannaschii © UC Berkeley Electron Microscope Lab |
Akibatnya rawa akan mengeluarkan gas metana atau gas rawa. Beberapa spesies lain yang termasuk kelompok metanogen hidup di lingkungan anaerob di dalam perut binatang seperti sapi, rayap, dan herbivora lain yang mengandalkan makanan berselulosa. Metanogen berperan penting dalam nutrisi. Contohnya adalah Succinomonas amylolytica yang hidup di dalam pencernaan sapi dan merupakan pemecah amilum. Peran lain metanogen ialah sebagai pengurai, sehingga bisa dimanfaatkan dalam pengolahan kotoran hewan untuk memproduksi gas metana, yang merupakan materi bakar alternatif.
Halofil ekstrim merupakan kelompok prokariotik yang hidup di tempat yang asin, menyerupai di Great Salt Lake (danau garam di Amerika) dan Laut Mati. Kata halofil berasal dari bahasa Yunani, halo yang berarti ‘garam’, dan phylos yang berarti ‘pencinta’. Beberapa spesies sekadar memiliki toleransi terhadap kadar garam, tetapi ada pula spesies lain yang memerlukan lingkungan yang sepuluh kali lebih asin dari air laut untuk sanggup tumbuh. Beberapa koloni halofil ekstrim membentuk suatu buih bewarna ungu. Warna tersebut ialah bakteriorhodopsin. Bakteriorhodopsin merupakan suatu pigmen yang menangkap energi cahaya.
Sedangkan Termofil ekstrim ialah kelompok organisme prokariotik yang hidup di lingkungan yang panas, optimum pada suhu 60 - 80 oC. Contohnya ialah Sulfolobus sp. yang hidup di mata air panas bersulfur di Yellowstone National Park (Amerika Serikat).
Gambar 2. Sulfolobus metallicus (Etzel et al., 2007) |
Sulfolobus sp. hidup dengan mengoksidasi belerang untuk memperoleh energi. Karena suka dengan panas dan asam, kelompok ini disebut juga termoasidofil. Jenis lain yang memetabolisme sulfur adalah organisme prokariotik yang hidup pada air bersuhu 105 oC di dekat lubang hidrotermal di bahari dalam (kawah gunung api bawah laut). Termofil ekstrim merupakan kelompok prokariotik yang paling dekat dengan organisme eukariotik.
The Black Smookers
The black smokers adalah sebutan untuk kawah gunung api di dasar laut. Di sana terdapat banyak sekali bentuk kehidupan yang unik dan kondisi lingkungannya juga sangat ekstrim. Contohnya adalah sejenis termofil ekstrim yang hidup bersimbiosis dengan cacing tabung (Acetabularia) (www.deepseanews. blogspot.com)
The Black Smookers
The black smokers adalah sebutan untuk kawah gunung api di dasar laut. Di sana terdapat banyak sekali bentuk kehidupan yang unik dan kondisi lingkungannya juga sangat ekstrim. Contohnya adalah sejenis termofil ekstrim yang hidup bersimbiosis dengan cacing tabung (Acetabularia) (www.deepseanews. blogspot.com)
Referensi :
Etzela, K., A. Klinglb, H. Huberb, R. Rachelb, G. Schmalzc, M. Thommb, W. Depmeiera. 2008. Etching of {111} and {210} synthetic pyrite surfaces by two archaeal strains, Metallosphaera sedula and Sulfolobus metallicus. Hydrometallurgy, 94 (1–4): pp. 116–120. DOI : 10.1016/j.hydromet.2008.05.026.
Widayati, S., S. N. Rochmah dan Zubedi. 2009. Biologi : Sekolah Menengan Atas dan MA Kelas X. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 290.
Berikut ini ialah makalah mengenai Struktur dan Organisasi Sel Archaea
Pada awalnya Archaea merupakan salah anggota dari dunia prokariota yang mempunyai ciri belum mempunyai pembagian ruang (kompartemensasi) yang terperinci diantara komponen-komponen selnya. Sehingga semua komponen selnya, termasuk materi genetiknya terletak di dalam membran sitoplasma (Yuwono 2005). Sebagian besar Archaea tidak berbeda konkret ketika diamati memakai mikroskop cahaya, bahkan dengan resolusi paling tinggi sekalipun. Padahal secara biokimia dan genetik mereka berbeda dari basil yang sebenarnya.
1.1. Latar Belakang
Perkembangan penelitian selanjutnya diketahui bahwa organisme ini mempunyai sifat molekular yang lebih menyerupai dengan Eukariot. Pada tahun 1990 peneliti dari Universitas Illinois, Dr. Carl Woese dan koleganya dapat menunjukan bahwa Archaea mempunyai perbedaan yang fundamental dengan basil dan eukaria. Sehingga ia memisahkan Archaea ke dalam domain tersendiri yaitu Archaea. Pemisahan ini menurut pendekatan sekuen gen penyandi 16S rRNA yang bersifat universal bagi seluruh organisme. Atas dasar penelitiannya tersebut, woese mengajukan bahwa kehidupan dibagi menjadi 3 domain, yaitu Bacteria, Eukarya, dan Archaea (Woese et al., 1990). Beberapa anggota Archaea diketahui merupakan organisme penghuni lingkungan paling ekstrim di bumi. Diantaranya hidup di akrab kantung-kantung gas di dasar laut, sementara lainnya berada pada sumber mata air panas atau bahkan pada air dengan kadar garam/asam yang sangat tinggi. Beberapa Archaea juga ditemukan pada kanal pencernaan sapi, rayap. Mereka juga sanggup hidup pada lumpur di dasar bahari tanpa ada oksigen sekalipun. Namun dikala ini telah ditemukan beberapa Archaeayang juga hidup pada kondisi normal menyerupai basil kebanyakan.
1.2. Tujuan
2.1. Bentuk dan Ukuran Sel
Secara umum struktur sel Archaea mempunyai bentuk yang hampir sama menyerupai bakteri, dan bentuknya cukup beragam. Beberapa Archaea berbentuk batang/basil, bulat/kokus, atau spiral. Bahkan terdapat beberapa Archaea yang mempunyai bentuk “tidak biasa” , yaitu segitiga dan persegi panjang. Meskipun morfologi sel relatif gampang untuk diamati, tetapi terkadang sulit untuk membedakan basil dan Archaea, lantaran keduanya mempunyai ragam bentuk yang hampir sama.
2.2 Membran sitoplasma pada Archaea
Struktur dasar dari membran sel Archaea tersusun atas fosfolipid. Struktur ini tersusun dari molekul gliserol yang berikatan dengan fosfat pada ujung pertama (kepala) dan berikatan dengan rantai samping yang berupa isoprenoid pada ujung lainnya (ekor).
Karena sifatnya yang hidrofilik maka ketika membran sel berada pada lingkungan cair, ujung molekul yang mengandung gugus fosfat akan berada pada permukaan luar membran yang bekerjasama pribadi dengan lingkungan luar sel, dan sisi lainnya yang bersifat hidrofobik akan berada dibagian dalam. Pelapisan menyerupai ini membuat penghalang kimia yang sangat efektif disekitar sel dan membantu dalam membuat keseimbangan kimiawi. Secara komposisi, membran sel Archaea mempunyai perbedaan dengan membran sel basil dan eukaria. Perbedaan tersebut antara lain ialah perbedaan kiralitas gliserol yang menjadi penyusun membran sel, ikatan antara gliserol dan rantai samping isoprenoid berupa ikatan eter, rantai samping berupa isoprenoid bukan asam lemak menyerupai pada basil dan eukaria, dan mempunyai rantai samping yang bercabang.
2.2.1. Kiralitas dari gliserol
Gliserol yang dipakai Archaea untuk membentuk fosfolipid merupakan stereoisomer dari gliserol yang dipakai untuk membentuk membran sel pada basil dan eukaria. Dua molekul yang stereoisomer ialah cerminan satu sama lain. Pada membran sel basil dan eukaria, gliserol yang menyusun membran selnya berupa D-Gliserol, sedangkan pada arkaea berupa L-gliserol.
2.2.2. Ikatan eter
Pada kebanyakan organisme, gliserol yang terdapat pada membran selnya akan berikatan dengan rantai samping memakai ikatan ester. Namun tidak demikian halnya pada membran sel Archaea. Ikatan yang terbentuk antara gliserol dan rantai samping pada membran sel Archaea ialah ikatan eter. Hal ini memperlihatkan fosfolipid yang dihasilkan mempunyai sifat mekanik kimia yang berbeda dari lipid membran organisme lain.
2.2.3. Rantai Isoprenoid
Archaea mempunyai rantai samping penyusun fosfolipid yang berbeda dengan basil dan eukaria. Rantai samping penyusun fosfolipid pada basil dan eukaria ialah asam lemak, sedangkan pada Archaea rantai samping yang dimilikinya ialah isoprenoid. Isoprenoid merupakan hidrokarbon yang mempunyai 20 atom C dan merupakan anggota paling sederhana dari kelas materi kimia yang disebut terpene. Menurut definisi, terpene ialah molekul yang menghubungkan molekul isoprenoid bersama-sama.
Lipid yang terdapat pada Archaea termoasidodfil dan metanogen ialah tetralipid, dimana ujung rantai samping phytanil pada struktur tetralipid berikatan secara kovalen dengan molekul gliserol yang lain. Sehingga akan membentuk struktur monolayer. Struktur menyerupai ini tidak mempunyai area tengah yang kosong menyerupai pada struktur lipid bilayer. Sehingga struktur menyerupai ini mempunyai resistensi yang lebih terhadap temperatur tinggi dibandingkan struktur lipid bilayer. Pada umumnya Archaea yang hidup optimal pada suhu tinggi, membran selnya terdiri dari lipid monolayer ataupun kombinasi antara lipid bilayer dan monolayer.
2.2.4. Rantai samping yang Bercabang
Tidak hanya rantai samping Archaea yang dibuat dari komponen yang berbeda. Akan tetapi rantai sampingnya mempunyai struktur fisik yang juga berbeda. Rantai samping pada membran sel Archaea mempunyai cabang, lantaran penggunaan isoprenoid untuk membentuk rantai sampingnya. Asam lemak pada basil dan eukariot tidak mempunyai rantai cabang, sehingga sifat ini mengakibatkan membran Archaea yang mempunyai aksara unik. Hal ini membuat beberapa properti yang menarik di membran Archaea. Rantai samping isoprenoid bisa bergabung bahu-membahu antara dua rantai samping fosfolipid tunggal atau bergabung ke rantai fosfolipid sisi lain di sisi lain membran (membentuk fosfolipid transmembran). Rantai samping tersebut juga sanggup mempunyai kemampuan untuk membentuk cincin karbon. Hal ini terjadi ketika salah satu cabang mengelilingi dan mengikat atom bawah rantai untuk membuat cincin lima atom karbon. Cincin tersebut diperkirakan memperlihatkan stabilitas struktural membran.
2.3 Dinding Sel Archaea
Archaea mempunyai keragaman dalam hal lapisan yang menyelubungi selnya. Beberapa Archaea mempunyai lapisan protein permukaan atau S-layer. Lapisan ini terdiri dari protein monomolekular yang identik atau lebih dikenal dengan sebutan glikoprotein (Kandler dan Konig, 1993). Lapisan ini secara pribadi bekerjasama dengan cuilan luar membran plasma dan berfungsi untuk melindungi dari lisis osmotik. Lapisan ini juga sanggup berfungsi sebagai penyeleksi molekul yang sanggup masuk kedalam sel.
Selain S-Layer, diketahui beberapa Archaea juga mempunyai struktur yang menyerupai dengan dinding sel pada bakteri, namun berbeda dalam hal komposisi kimia penyusunnya. Dinding sel Archaea tidak mempunyai peptidoglikan namun mempunyai molekul yang menyerupai dengan peptidoglikan yang disebut pseudomurein. Pseudomurein dibangun dari N-Asetil glukosamin dengan Asam N-Asetil talosamin uronat yang berikatan dengan ikatan glikosidik pada β-1,3 hal ini berbeda dengan peptidoglikan pada basil yang dibangun memakai N-Asetil glukosamin dan N-Asetil muramat yang berikatan pada β-1,4.
Perbedaan lainnya ialah asam amino yang terdapat pada pseudomurein semuanya berupa L-Steroisomer. Struktur menyerupai ini memperlihatkan dampak yang menguntungkan pada Archaea, yaitu dinding sel mereka resisten terhadap antibiotik dan juga tidak terpengaruh terhadap kegiatan lisosim dan protease yang umum (Konig, 2001). Beberapa Archaea tidak mempunyai pseudomurein namun mempunyai polisakarida lainnya, yaitu glutaminylglycan, heterosakarida, methanochondroitin.
2.4. Struktur Permukaan Sel Archaea, Inklusi Sel, dan Vesikula Udara
Penelitian mengenai struktur pemanis pada permukaan sel Archaea telah banyak dilakukan dengan memanfaatkan observasi elektron mikroskopis pada beberapa jenis Archaea. Penelitian ini memperlihatkan beberapa tipe struktur pemanis pada permukaan sel Archaea, menyerupai pili dan flagella yang tampak menyerupai struktur yang ada pada bakteri, tetapi ternyata mempunyai perbedaan. Selain itu struktur lain menyerupai cannulae (kanula), Hami, Iho670 Fibers, dan bindosome muncul sebagai struktur unik lain yang dimiliki oleh Archaea.
2.4.1. Struktur Permukaan Sel Archaea
a. Pili
Fimbriae dan pili merupakan struktur filamen yang tersusun atas protein yang memanjang dari permukaan sel dan mempunyai banyak fungsi. Fimbriae memungkinkan sel untuk menempel pada suatu permukaan. Secara umum pili menyerupai dengan fimbriae, tetapi pili lebih panjang dan hanya satu atau sebagian kecil pili yang bisa menempel pada permukaan sel. Fungsi pili itu sendiri ialah untuk memfasilitasi pertukaran gen di antara sel pada suatu proses yang disebut sebagai konjugasi. Walaupun sesungguhnya proses konjugasi tidak selalu diperantarai oleh pili.
b. Cannula, Hami, Iho670 Fibers, dan Bindosome
Struktur permukaan sel Archaea terdiri dari banyak bagian, yaitu kanula, hami, Cannula, Hami, Iho670 Fibers, dan Bindosome. Struktur permukaan tersebut tidak banyak dibahas menyerupai halnya pili dan flagella, hal ini disebabkan lantaran sistem genetik di dalam struktur tersebut tidak gampang untuk dipelajari dan tidak ditemukan pada semua jenis Archaea.
c. Cannulae (Kanula)
Kanula merupakan jaringan tubula yang hingga dikala ini hanya ditemukan pada genus Pyrodictium. Kanula berupa pipa berongga berdiameter luar 25 nm (Gambar 12) yang sangat resisten terhadap panas dan proses denaturasi (Rieger et al., 1995). Strukturnya hampir sama dengan struktur permukaan sel lainnya yaitu terbentuk atas lapisan glikoprotein, yang mempunyai tiga subunit glikoprotein yang homolog. Kanula memperlihatkan aktivitasnya sebagai penghubung intraseluler antar ruang periplasmik sel yang berbeda (Nickell et al., 2003). Walaupun fungsi kanula belum diketahui secara jelas, tetapi sanggup diasumsikan bahwa dengan adanya kanula, sel sanggup melaksanakan pertukaran nutrisi atau bahkan materi genetik.
d. Hami
Struktur permukaan Archaea yang lain ialah hamus atau hami (Gambar 13). Hami banyak ditemukan pada Archaea yang hidup di tempat suhu rendah yang mengandung kadar sulfat tinggi (cold sulphidic springs). Strukturnya memperlihatkan filamen-filamen yang sangat kompleks dengan kenampakan menyerupai kawat berduri yang ujungnya mempunyai kait dengan diameter 60 nm (Moissl et al., 2005). Masing-masing sel dikelilingi oleh sekitar 100 hami. Hami stabil pada kisaran temperatur dan pH yang luas yaitu antara 0-70 oC dan 0,5-11,5. Hami sanggup bertindak sebagai mediator proses adesi seluler permukaan terhadap komposisi kimia yang berbeda sebagaimana adesi yang berlangsung di antara sel. Hami juga terbukti menjadi komponen protein utama dalam pembentukan biofilm Archaea, dimana sel membentuk susunan tiga dimensi yang jaraknya konstan melalui proses perlekatan antar sel Archaea (Henneberger et al., 2006).
Bindosome (Gambar 14) ialah struktur Archaea yang diduga mempunyai fungsi unik pada Sulfolobus solfataricus (Albers dan Pohlschröder, 2009). Komponen struktural bindosome yang utama ialah substrat pengikat protein (substrat binding protein/SBP) yang diketahui sebagai glikoprotein (Elferink et al., 2001), yang disusun oleh Pilin tipe IV menyerupai pada sekuen peptida sinyal dan mengandung protein khas yang diketahui bisa membentuk struktur oligomerik pada Archaea dan bakteri. Susunan oligomerik komplek berperan dalam perembesan gula, hal ini sanggup membantu S. solfataricus untuk sanggup tumbuh pada substrat yang bervariasi (Ng et al., 2008).
f. Iho670 Fibers
Pada pertengahan tahun 2009 telah dilakukan penelitian oleh Muller et al. mengenai struktur permukaan Ignicoccus hospitalis, risikonya memperlihatkan adanya pemanis permukaan sel gres yang kemudian diberi nama Iho670 fiber (Gambar 15). Iho670 fiber merupakan struktur yang sangat rapuh, berbeda dengan flagella dan pili yang memliliki struktur primer dari protein. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Iho670 fiber bukan salah satu organel sel yang motil. yang menjadi cuilan menarik ialah bahwa komponen utama Iho670 fiber disintesis oleh Pilin tipe IV menyerupai peptida sinyal dan diproses oleh peptidase prepilin homolog. Karena Pilin tipe IV menyerupai sistem ini juga dipakai untuk flagela, pili tertentu, dan bindosome dalam Archaea, Pilin tipe IV menjadi jalur yang sangat banyak dipakai oleh Archaea dalam hal perakitan struktur permukaan.
2.4.2. Inklusi Sel
Di dalam sel prokariotik biasanya terdapat senyawa lain yang menyertai sel di dalam sitoplasma yang disebut dengan inklusi sel. Inklusi sel berfungsi sebagai energi cadangan atau sebagai tempat penyimpanan struktur building blocks. Penyimpanan karbon atau senyawa lain di dalam inklusi yang tidak larut dalam air bermanfaat bagi sel lantaran sanggup mengurangi tekanan osmotik yang sanggup mungkin terjadi apabila senyawa dalam jumlah yang sama terlarut dalam sitoplasma (Madigan et al., 2012).
Salah satu jenis inklusi sel yang paling banyak ditemukan di dalam organ prokariotik ialah asam poly-β-hydroxybutirat (PHB). PHB ialah lipid yang tersusun atas unit-unit asam β-hydroxybutirat. Sedangkan polimer yang diproduksi oleh Archaea ialah poly-β-hydroxyalkanoat (PHA) (Gambar 16). PHA disintesis oleh Archaea di dalam polimer penyimpanan ketika sel mengalami kondisi pertumbuhan yang tidak seimbang. PHA merupakan salah satu jenis komoditas plastik yang sanggup dirombak menjadi karbondioksida dan air melalui proses mineralisasi mikrobiologis secara alami.
2.4.3. Vesikula Udara
Salah satu jenis Archaea yang bersifat planktonic dan bisa hidup di air bahari ialah Nitrosopumilus maritimus dari kelompok Crenarchaeota (Brochier-Armanet et al., 2011). Jenis organisme ini bisa mengapung di air bahari lantaran mempunyai vesikula udara. Kemampuan mengapung yang dimilikinya memungkinkan untuk menempatkan diri dalam kolom air untuk sanggup merespon kondisi lingkungan.
Secara umum struktur vesikula udara tersusun atas protein yang berbentuk kumparan, berongga namun kaku dengan panjang dan diameter yang bervariasi (Gambar 17). Panjang vesikula udara yang dihasilkan oleh masing-masing organisme berbeda-beda, mulai dari 300 hingga lebih dari 1000 nm dengan lebar 45 hingga 120 nm, tetapi kisaran ukuran tersebut masih bisa berubah-ubah.
Jumlah vesikula dalam satu organisme sangat bervariasi mulai dari sedikit hingga ratusan tiap selnya, kedap air dan larut dalam gas (Madigan et al., 2012).
2.5 Pergerakan Sel Archaea
a. Flagella Archaea
Flagella Archaea berukuran sangat kecil hingga mencapai setengah dari ukuran flagella bakteri, yaitu 10-13 nm (Madigan et al., 2012). Flagella Archaea memperlihatkan kemampuan terhadap sel Archaea untuk sanggup bergerak memutar menyerupai halnya bakteri. Flagella Archaea tidak hanya sebagai alat untuk bergerak, tetapi juga berperan dalam interaksi di dalam sel dan sebagai pengenal pada permukaan sel sebagai syarat terbentuknya biofilm pada beberapa Archaea. Flagella ditemukan pada semua sub kelompok utama Archaea Crenarchaeota dan Euryarchaeota yaitu halofil, haloalkalofil, metanogen, hipermetrofil, dan termoasidofil. Sampai dikala ini telah dilaporkan banyak sekali macam Archaea yang mempunyai flagella, termasuk Methanococcus, Halobacterium, Sulfolobus, Natrialba, Thermococcus dan Pyrococcus (Ng et al., 2006).
Salah satu perbedaan antara flagella Archaea dengan flagella basil diketahui pada penelitian yang dilakukan tahun 2008 oleh Streif et al. mengenai pergerakan memutar pada flagella Archaea, risikonya memperlihatkan bahwa pergerakan flagella tersebut didukung oleh proses hidrolisis ATP dan bukan dari proton atau natrium menyerupai yang dipakai oleh flagella bakteri.
b. Kemotaksis Archaea
Kemotaksis merupakan respon gerakan Archaea terhadap rangsangan dari senyawa kimia. Walaupun Archaea termasuk ke dalam kelompok yang berbeda dari bakteri, tetapi banyak spesies Archaea yang mempunyai sifat kemotaksis. Berbagai macam protein yang mengatur proses kemotaksis pada basil juga ditemukan pada Archaea yang bisa bergerak (motil).
2.6. Pengemasan DNA Archaea
Dalam filogenetik Archaea berbeda dengan bakteri, walaupun keduanya mempunyai beberapa kemiripan dalam struktur sel. Perbedaan ini lebih pada taraf molekular antara keduanya, dimana Archaea mempunyai banyak kesamaan dengan eukaria. Salah satu contohnya ialah pengemasan DNA pada Archaea.
DNA pada Archaea dikemas dalam bentuk sirkular, dimana pada beberapa Archaea pengemasannya melibatkan DNA-girase dan protein histon untuk membentuk struktur DNA superkoil. Hal ini berbeda dengan basil yang membentuk struktur DNA superkoil dengan tunjangan DNA-girase saja. Pengemasan DNA memakai protein histon menyerupai ini menyerupai dengan pengemasan DNA pada eukaria. Protein histon yang ditemukan pada Archaea berukuran lebih pendek dibandingkan dengan protein histon eukaria, tetapi keduanya mempunyai sekuen asam amino dan struktur 3 dimensi yang homolog.
Pada beberapa Archaea juga ditemukan beberapa titik awal replikasi, dimana protein yang mengenali titik awal replikasi dan sintesis DNA mempunyai banyak kemiripan dengan eukaria dibandingkan dengan bakteri. Selain itu Archaea juga mempunyai beberapa RNA polimerase. Hal ini berbeda dengan basil yang hanya mempunyai satu RNA polimerase. Faktor transkripsi yang dimiliki Archaea juga mempunyai kemiripan dengan faktor transkripsi pada eukaria. Beberapa gen penyandi tRNA dan rRNA Archaea mempunyai intron. Intron yang terdapat pada Archaea diproses dengan prosedur yang sedikit berbeda dengan intron pada eukaria. Sedangkan pada basil tidak ditemukan intron.
Pada dikala sintesis protein Archaea membutuhkan ribosom yang fungsional serta beberapa faktor translasi. Ribosom yang terdapat pada Archaea menyerupai dengan ribosom pada bakteri, yaitu sama-sama 70S. Namun faktor translasi yang ditemukan pada Archaea ternyata dua kali lebih banyak dibanding dengan yang ada pada bakteri. Bakteri dan Archaea memakai asam amino yang berbeda pada awal proses translasi. Asam amino yang dipakai basil ialah N-formil metionin, sedangkan Archaea ialah metionin. Metionin juga merupakan asam amino yang dipakai eukaria untuk awal proses translasi. Secara keseluruhan, perbandingan sekuen memperlihatkan beberapa kesamaan antara eukaria dan Archaea dalam hal RNA dan protein yang dipakai untuk membentuk translation machine.
Albers S dan Pohlschr¨oder M. 2009. Diversity of Archaeal type IV pilin-like structures,” Extremophiles, vol. 13, no. 3, pp. 403–410.
Bardy SL dan Jarrell KF. 2002. Flak of the archaeon Methanococcus maripaludis possesses preflagellin peptidase activity, FEMS Microbiology Letters, vol. 208, no. 1, pp. 53– 59.
Bayley DP dan Jarrell KF. 1998. Further evidence to suggest that Archaeal flagella are related to bacterial type IV pili,Journal of Molecular Evolution, vol. 46, no. 3, pp. 370–373.
Brochier-Armanet, CP. Deschamps, P. López-García, Y. Zivanovic, F. Rodríguez-Valera and D. Moreira. 2011. Complete-fosmid and fosmid-end sequences reveal frequent horizontal gene transfers in marine uncultured planktonic Archaea. The ISME Journal. Vol. 5. p.1291-1302.
Elferink MGL, Albers S, Konings W, and Driessen AJM. 2001. Sugar transport in Sulfolobus solfataricus ismediated by two families of binding protein-dependent ABC transporters. Molecular Microbiology, vol. 39, no. 6, pp.1494–1503.
Faguy DM, Jarrell KF, Kuzio J, and Kalmokoff ML. 1994. Molecular analysis of Archaeal flagellins: similarity to the type IV pilin—transport superfamily widespread in bacteria. Canadian Journal of Microbiology, vol. 40, no. 1, pp. 67–71.
Henneberger R, Moissl C, Amann T, Rudolph C, dan Huber R. 2006. New insights into the lifestyle of the cold-loving SM1 euryarchaeon: natural growth as a monospecies biofilm in the subsurface, Applied and EnvironmentalMicrobiology, vol. 72, no. 1, pp. 192–199.
Jarrell KF, S. Y. Ng, and Chaban B. 2007. Flagellation and chemotaxis, in Archaea: Molecular and Cellular Biology, R. Cavicchioli, Ed., pp. 385–410, ASM Press, Washington, DC, USA.
Kalmokoff ML dan Jarrell KF. 1991. Cloning and sequencing of a multigene family encoding the flagellins of Methanococcus voltae, Journal of Bacteriology, vol. 173, no. 22, pp. 7113–7125.
Konig H. 2001. Archaeal cell wall. Di dalam : Encyclopedia of life science. Chichester : 1486-1493
Moissl C, Rachel R, Briegel A , Engelhardt H, and Huber R. 2005. The unique structure of Archaeal ’hami’, highly complex cell appendages with nano-grappling hooks,Molecular Microbiology, vol. 56, no. 2, pp. 361–370.
Muller, D.W., C. Meyer, S. Gurster, U. Kuper, H. Huber, R. Rachel, G. Wanner, R. Wirth, and A. Belack. 2009. The Iho670 fibers of Ignicoccus hospitalis: a new type of Archaeal cell surface appendage. Journal of Bacteriology. Vol. 191, No. 20. p. 6465–6468
Ng S.Y., B. Zolghadr, A.J.M. Driessen, S. J. Albers, and K. F. Jarelli. 2008. Cell surface structures of Archaea. Journal of Bacteriology. Vol. 190. No. 18. P. 6039–6047.
Ng, S. Y., B. Chaban, and K. F. Jarrell. 2006. Archaeal flagella, bacterial flagella and type IV pili: a comparison of genes and posttranslational modifications. J. Mol. Microbiol. Biotechnol. 11:167–191.
Nickell R, Hegerl R, Baumeister W, and Rachel R. 2003. Pyrodictium cannulae enter the periplasmic space but do not enter the cytoplasm, as revealed by cryo-electron tomography,Journal of Structural Biology, vol. 141, no. 1, pp. 34–42.
Peabody CR, Chung YJ, Yen MR, Vidal-Ingigliardi D, Pugsley AP, and Saier MH. 2003. Type II protein secretion and its relationship to bacterial type IV pili and Archaeal flagella, Microbiology, vol. 149, no. 11, pp. 3051–3072.
Rieger G,Rachel R, Hermann R, dan Stetter KO. 1995. Ultrastructure of the hyperthermophilic archaeon Pyrodictiumabyssi, Journal of Structural Biology, vol. 115, no. 1, pp. 78– 87.
Streif S, Staudinger WF, Marwan W, and Oesterhelt D. 2008. Flagellar rotation in the archaeon Halobacterium salinarum depends on ATP, Journal of Molecular Biology, vol. 384, no. 1, pp. 1–8.
Thoma C, Frank M, Rachel R. 2008. The Mth60 fimbriae of Methanothermobacter thermoautotrophicus are functional adhesins, Environmental Microbiology, vol. 10, no. 10, pp. 2785–2795.
Woese C, Kandler O, dan Wheelis ML. 1990. Towards a natural system of organisms: Proposal for the domains Archaea, Bacteria, and Eucarya. Proc. Nati. Acad. Sci. 8
Yuwono T. 2005. Biologi molekular. Safitri a, editor. Jakarta : Erlangga.
Anda kini sudah mengetahui mengenai Archaebacteria. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
Etzela, K., A. Klinglb, H. Huberb, R. Rachelb, G. Schmalzc, M. Thommb, W. Depmeiera. 2008. Etching of {111} and {210} synthetic pyrite surfaces by two archaeal strains, Metallosphaera sedula and Sulfolobus metallicus. Hydrometallurgy, 94 (1–4): pp. 116–120. DOI : 10.1016/j.hydromet.2008.05.026.
Widayati, S., S. N. Rochmah dan Zubedi. 2009. Biologi : Sekolah Menengan Atas dan MA Kelas X. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 290.
Berikut ini ialah makalah mengenai Struktur dan Organisasi Sel Archaea
Struktur dan Organisasi Sel Archaea
Pada awalnya Archaea merupakan salah anggota dari dunia prokariota yang mempunyai ciri belum mempunyai pembagian ruang (kompartemensasi) yang terperinci diantara komponen-komponen selnya. Sehingga semua komponen selnya, termasuk materi genetiknya terletak di dalam membran sitoplasma (Yuwono 2005). Sebagian besar Archaea tidak berbeda konkret ketika diamati memakai mikroskop cahaya, bahkan dengan resolusi paling tinggi sekalipun. Padahal secara biokimia dan genetik mereka berbeda dari basil yang sebenarnya.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan penelitian selanjutnya diketahui bahwa organisme ini mempunyai sifat molekular yang lebih menyerupai dengan Eukariot. Pada tahun 1990 peneliti dari Universitas Illinois, Dr. Carl Woese dan koleganya dapat menunjukan bahwa Archaea mempunyai perbedaan yang fundamental dengan basil dan eukaria. Sehingga ia memisahkan Archaea ke dalam domain tersendiri yaitu Archaea. Pemisahan ini menurut pendekatan sekuen gen penyandi 16S rRNA yang bersifat universal bagi seluruh organisme. Atas dasar penelitiannya tersebut, woese mengajukan bahwa kehidupan dibagi menjadi 3 domain, yaitu Bacteria, Eukarya, dan Archaea (Woese et al., 1990). Beberapa anggota Archaea diketahui merupakan organisme penghuni lingkungan paling ekstrim di bumi. Diantaranya hidup di akrab kantung-kantung gas di dasar laut, sementara lainnya berada pada sumber mata air panas atau bahkan pada air dengan kadar garam/asam yang sangat tinggi. Beberapa Archaea juga ditemukan pada kanal pencernaan sapi, rayap. Mereka juga sanggup hidup pada lumpur di dasar bahari tanpa ada oksigen sekalipun. Namun dikala ini telah ditemukan beberapa Archaeayang juga hidup pada kondisi normal menyerupai basil kebanyakan.
1.2. Tujuan
- Tujuan dari penulisan makalah ini ialah mengetahui perbedaan struktur dan organisasi sel pada Archaea dengan basil dan eukaria.
- Dapat memahami perbedaan antara Archaeadan basil serta eukaria terkait struktur dan organisasi selnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Bentuk dan Ukuran Sel
Secara umum struktur sel Archaea mempunyai bentuk yang hampir sama menyerupai bakteri, dan bentuknya cukup beragam. Beberapa Archaea berbentuk batang/basil, bulat/kokus, atau spiral. Bahkan terdapat beberapa Archaea yang mempunyai bentuk “tidak biasa” , yaitu segitiga dan persegi panjang. Meskipun morfologi sel relatif gampang untuk diamati, tetapi terkadang sulit untuk membedakan basil dan Archaea, lantaran keduanya mempunyai ragam bentuk yang hampir sama.
2.2 Membran sitoplasma pada Archaea
Struktur dasar dari membran sel Archaea tersusun atas fosfolipid. Struktur ini tersusun dari molekul gliserol yang berikatan dengan fosfat pada ujung pertama (kepala) dan berikatan dengan rantai samping yang berupa isoprenoid pada ujung lainnya (ekor).
Gambar 4. membran sel Archaea. |
2.2.1. Kiralitas dari gliserol
Gliserol yang dipakai Archaea untuk membentuk fosfolipid merupakan stereoisomer dari gliserol yang dipakai untuk membentuk membran sel pada basil dan eukaria. Dua molekul yang stereoisomer ialah cerminan satu sama lain. Pada membran sel basil dan eukaria, gliserol yang menyusun membran selnya berupa D-Gliserol, sedangkan pada arkaea berupa L-gliserol.
Gambar 5. Struktur penyusun membran sel Archaea dan bakteri/eukaria. |
Pada kebanyakan organisme, gliserol yang terdapat pada membran selnya akan berikatan dengan rantai samping memakai ikatan ester. Namun tidak demikian halnya pada membran sel Archaea. Ikatan yang terbentuk antara gliserol dan rantai samping pada membran sel Archaea ialah ikatan eter. Hal ini memperlihatkan fosfolipid yang dihasilkan mempunyai sifat mekanik kimia yang berbeda dari lipid membran organisme lain.
Gambar 6. Ikatan yang terbentuk pada membran sel bakteri/eukaria dan Archaea. |
Archaea mempunyai rantai samping penyusun fosfolipid yang berbeda dengan basil dan eukaria. Rantai samping penyusun fosfolipid pada basil dan eukaria ialah asam lemak, sedangkan pada Archaea rantai samping yang dimilikinya ialah isoprenoid. Isoprenoid merupakan hidrokarbon yang mempunyai 20 atom C dan merupakan anggota paling sederhana dari kelas materi kimia yang disebut terpene. Menurut definisi, terpene ialah molekul yang menghubungkan molekul isoprenoid bersama-sama.
Gambar 7. Struktur membran monolayer pada Archaea. |
Gambar 8. Membran monolayer dan bilayer. |
Tidak hanya rantai samping Archaea yang dibuat dari komponen yang berbeda. Akan tetapi rantai sampingnya mempunyai struktur fisik yang juga berbeda. Rantai samping pada membran sel Archaea mempunyai cabang, lantaran penggunaan isoprenoid untuk membentuk rantai sampingnya. Asam lemak pada basil dan eukariot tidak mempunyai rantai cabang, sehingga sifat ini mengakibatkan membran Archaea yang mempunyai aksara unik. Hal ini membuat beberapa properti yang menarik di membran Archaea. Rantai samping isoprenoid bisa bergabung bahu-membahu antara dua rantai samping fosfolipid tunggal atau bergabung ke rantai fosfolipid sisi lain di sisi lain membran (membentuk fosfolipid transmembran). Rantai samping tersebut juga sanggup mempunyai kemampuan untuk membentuk cincin karbon. Hal ini terjadi ketika salah satu cabang mengelilingi dan mengikat atom bawah rantai untuk membuat cincin lima atom karbon. Cincin tersebut diperkirakan memperlihatkan stabilitas struktural membran.
2.3 Dinding Sel Archaea
Archaea mempunyai keragaman dalam hal lapisan yang menyelubungi selnya. Beberapa Archaea mempunyai lapisan protein permukaan atau S-layer. Lapisan ini terdiri dari protein monomolekular yang identik atau lebih dikenal dengan sebutan glikoprotein (Kandler dan Konig, 1993). Lapisan ini secara pribadi bekerjasama dengan cuilan luar membran plasma dan berfungsi untuk melindungi dari lisis osmotik. Lapisan ini juga sanggup berfungsi sebagai penyeleksi molekul yang sanggup masuk kedalam sel.
Gambar 9. S-Layer. |
Gambar 10. Struktur pseudomurein. |
2.4. Struktur Permukaan Sel Archaea, Inklusi Sel, dan Vesikula Udara
Penelitian mengenai struktur pemanis pada permukaan sel Archaea telah banyak dilakukan dengan memanfaatkan observasi elektron mikroskopis pada beberapa jenis Archaea. Penelitian ini memperlihatkan beberapa tipe struktur pemanis pada permukaan sel Archaea, menyerupai pili dan flagella yang tampak menyerupai struktur yang ada pada bakteri, tetapi ternyata mempunyai perbedaan. Selain itu struktur lain menyerupai cannulae (kanula), Hami, Iho670 Fibers, dan bindosome muncul sebagai struktur unik lain yang dimiliki oleh Archaea.
2.4.1. Struktur Permukaan Sel Archaea
a. Pili
Fimbriae dan pili merupakan struktur filamen yang tersusun atas protein yang memanjang dari permukaan sel dan mempunyai banyak fungsi. Fimbriae memungkinkan sel untuk menempel pada suatu permukaan. Secara umum pili menyerupai dengan fimbriae, tetapi pili lebih panjang dan hanya satu atau sebagian kecil pili yang bisa menempel pada permukaan sel. Fungsi pili itu sendiri ialah untuk memfasilitasi pertukaran gen di antara sel pada suatu proses yang disebut sebagai konjugasi. Walaupun sesungguhnya proses konjugasi tidak selalu diperantarai oleh pili.
Gambar 11. Tanda panah memperlihatkan pili pada struktur permukaan sel. |
b. Cannula, Hami, Iho670 Fibers, dan Bindosome
Struktur permukaan sel Archaea terdiri dari banyak bagian, yaitu kanula, hami, Cannula, Hami, Iho670 Fibers, dan Bindosome. Struktur permukaan tersebut tidak banyak dibahas menyerupai halnya pili dan flagella, hal ini disebabkan lantaran sistem genetik di dalam struktur tersebut tidak gampang untuk dipelajari dan tidak ditemukan pada semua jenis Archaea.
c. Cannulae (Kanula)
Kanula merupakan jaringan tubula yang hingga dikala ini hanya ditemukan pada genus Pyrodictium. Kanula berupa pipa berongga berdiameter luar 25 nm (Gambar 12) yang sangat resisten terhadap panas dan proses denaturasi (Rieger et al., 1995). Strukturnya hampir sama dengan struktur permukaan sel lainnya yaitu terbentuk atas lapisan glikoprotein, yang mempunyai tiga subunit glikoprotein yang homolog. Kanula memperlihatkan aktivitasnya sebagai penghubung intraseluler antar ruang periplasmik sel yang berbeda (Nickell et al., 2003). Walaupun fungsi kanula belum diketahui secara jelas, tetapi sanggup diasumsikan bahwa dengan adanya kanula, sel sanggup melaksanakan pertukaran nutrisi atau bahkan materi genetik.
Gambar 12. Kanula (Rieger et al., 1995). |
Struktur permukaan Archaea yang lain ialah hamus atau hami (Gambar 13). Hami banyak ditemukan pada Archaea yang hidup di tempat suhu rendah yang mengandung kadar sulfat tinggi (cold sulphidic springs). Strukturnya memperlihatkan filamen-filamen yang sangat kompleks dengan kenampakan menyerupai kawat berduri yang ujungnya mempunyai kait dengan diameter 60 nm (Moissl et al., 2005). Masing-masing sel dikelilingi oleh sekitar 100 hami. Hami stabil pada kisaran temperatur dan pH yang luas yaitu antara 0-70 oC dan 0,5-11,5. Hami sanggup bertindak sebagai mediator proses adesi seluler permukaan terhadap komposisi kimia yang berbeda sebagaimana adesi yang berlangsung di antara sel. Hami juga terbukti menjadi komponen protein utama dalam pembentukan biofilm Archaea, dimana sel membentuk susunan tiga dimensi yang jaraknya konstan melalui proses perlekatan antar sel Archaea (Henneberger et al., 2006).
Bindosome (Gambar 14) ialah struktur Archaea yang diduga mempunyai fungsi unik pada Sulfolobus solfataricus (Albers dan Pohlschröder, 2009). Komponen struktural bindosome yang utama ialah substrat pengikat protein (substrat binding protein/SBP) yang diketahui sebagai glikoprotein (Elferink et al., 2001), yang disusun oleh Pilin tipe IV menyerupai pada sekuen peptida sinyal dan mengandung protein khas yang diketahui bisa membentuk struktur oligomerik pada Archaea dan bakteri. Susunan oligomerik komplek berperan dalam perembesan gula, hal ini sanggup membantu S. solfataricus untuk sanggup tumbuh pada substrat yang bervariasi (Ng et al., 2008).
Gambar 12. Gambar orisinil bindosome belum diketahui secara pasti, dan gambar diatas merupakan gugusan alternatif yang memperlihatkan bindosome terletak pada S-layer (Ng et al., 2008). |
Pada pertengahan tahun 2009 telah dilakukan penelitian oleh Muller et al. mengenai struktur permukaan Ignicoccus hospitalis, risikonya memperlihatkan adanya pemanis permukaan sel gres yang kemudian diberi nama Iho670 fiber (Gambar 15). Iho670 fiber merupakan struktur yang sangat rapuh, berbeda dengan flagella dan pili yang memliliki struktur primer dari protein. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Iho670 fiber bukan salah satu organel sel yang motil. yang menjadi cuilan menarik ialah bahwa komponen utama Iho670 fiber disintesis oleh Pilin tipe IV menyerupai peptida sinyal dan diproses oleh peptidase prepilin homolog. Karena Pilin tipe IV menyerupai sistem ini juga dipakai untuk flagela, pili tertentu, dan bindosome dalam Archaea, Pilin tipe IV menjadi jalur yang sangat banyak dipakai oleh Archaea dalam hal perakitan struktur permukaan.
Gambar 13. Hasil analisis serat Ignicoccus hospitalis memakai TEM (Transmission Electron Microscopy) yang mengindikasikan adanya Iho670 fibers. |
Di dalam sel prokariotik biasanya terdapat senyawa lain yang menyertai sel di dalam sitoplasma yang disebut dengan inklusi sel. Inklusi sel berfungsi sebagai energi cadangan atau sebagai tempat penyimpanan struktur building blocks. Penyimpanan karbon atau senyawa lain di dalam inklusi yang tidak larut dalam air bermanfaat bagi sel lantaran sanggup mengurangi tekanan osmotik yang sanggup mungkin terjadi apabila senyawa dalam jumlah yang sama terlarut dalam sitoplasma (Madigan et al., 2012).
Gambar 16. Tanda panah memperlihatkan poly-β-hydroxyalkanoat (PHA) (Madigan et al., 2012). |
2.4.3. Vesikula Udara
Salah satu jenis Archaea yang bersifat planktonic dan bisa hidup di air bahari ialah Nitrosopumilus maritimus dari kelompok Crenarchaeota (Brochier-Armanet et al., 2011). Jenis organisme ini bisa mengapung di air bahari lantaran mempunyai vesikula udara. Kemampuan mengapung yang dimilikinya memungkinkan untuk menempatkan diri dalam kolom air untuk sanggup merespon kondisi lingkungan.
Gambar 17. Vesikula udara pada struktur permukaan sal Archaea. |
Jumlah vesikula dalam satu organisme sangat bervariasi mulai dari sedikit hingga ratusan tiap selnya, kedap air dan larut dalam gas (Madigan et al., 2012).
2.5 Pergerakan Sel Archaea
a. Flagella Archaea
Flagella Archaea berukuran sangat kecil hingga mencapai setengah dari ukuran flagella bakteri, yaitu 10-13 nm (Madigan et al., 2012). Flagella Archaea memperlihatkan kemampuan terhadap sel Archaea untuk sanggup bergerak memutar menyerupai halnya bakteri. Flagella Archaea tidak hanya sebagai alat untuk bergerak, tetapi juga berperan dalam interaksi di dalam sel dan sebagai pengenal pada permukaan sel sebagai syarat terbentuknya biofilm pada beberapa Archaea. Flagella ditemukan pada semua sub kelompok utama Archaea Crenarchaeota dan Euryarchaeota yaitu halofil, haloalkalofil, metanogen, hipermetrofil, dan termoasidofil. Sampai dikala ini telah dilaporkan banyak sekali macam Archaea yang mempunyai flagella, termasuk Methanococcus, Halobacterium, Sulfolobus, Natrialba, Thermococcus dan Pyrococcus (Ng et al., 2006).
Salah satu perbedaan antara flagella Archaea dengan flagella basil diketahui pada penelitian yang dilakukan tahun 2008 oleh Streif et al. mengenai pergerakan memutar pada flagella Archaea, risikonya memperlihatkan bahwa pergerakan flagella tersebut didukung oleh proses hidrolisis ATP dan bukan dari proton atau natrium menyerupai yang dipakai oleh flagella bakteri.
b. Kemotaksis Archaea
Kemotaksis merupakan respon gerakan Archaea terhadap rangsangan dari senyawa kimia. Walaupun Archaea termasuk ke dalam kelompok yang berbeda dari bakteri, tetapi banyak spesies Archaea yang mempunyai sifat kemotaksis. Berbagai macam protein yang mengatur proses kemotaksis pada basil juga ditemukan pada Archaea yang bisa bergerak (motil).
2.6. Pengemasan DNA Archaea
Dalam filogenetik Archaea berbeda dengan bakteri, walaupun keduanya mempunyai beberapa kemiripan dalam struktur sel. Perbedaan ini lebih pada taraf molekular antara keduanya, dimana Archaea mempunyai banyak kesamaan dengan eukaria. Salah satu contohnya ialah pengemasan DNA pada Archaea.
DNA pada Archaea dikemas dalam bentuk sirkular, dimana pada beberapa Archaea pengemasannya melibatkan DNA-girase dan protein histon untuk membentuk struktur DNA superkoil. Hal ini berbeda dengan basil yang membentuk struktur DNA superkoil dengan tunjangan DNA-girase saja. Pengemasan DNA memakai protein histon menyerupai ini menyerupai dengan pengemasan DNA pada eukaria. Protein histon yang ditemukan pada Archaea berukuran lebih pendek dibandingkan dengan protein histon eukaria, tetapi keduanya mempunyai sekuen asam amino dan struktur 3 dimensi yang homolog.
Pada beberapa Archaea juga ditemukan beberapa titik awal replikasi, dimana protein yang mengenali titik awal replikasi dan sintesis DNA mempunyai banyak kemiripan dengan eukaria dibandingkan dengan bakteri. Selain itu Archaea juga mempunyai beberapa RNA polimerase. Hal ini berbeda dengan basil yang hanya mempunyai satu RNA polimerase. Faktor transkripsi yang dimiliki Archaea juga mempunyai kemiripan dengan faktor transkripsi pada eukaria. Beberapa gen penyandi tRNA dan rRNA Archaea mempunyai intron. Intron yang terdapat pada Archaea diproses dengan prosedur yang sedikit berbeda dengan intron pada eukaria. Sedangkan pada basil tidak ditemukan intron.
Pada dikala sintesis protein Archaea membutuhkan ribosom yang fungsional serta beberapa faktor translasi. Ribosom yang terdapat pada Archaea menyerupai dengan ribosom pada bakteri, yaitu sama-sama 70S. Namun faktor translasi yang ditemukan pada Archaea ternyata dua kali lebih banyak dibanding dengan yang ada pada bakteri. Bakteri dan Archaea memakai asam amino yang berbeda pada awal proses translasi. Asam amino yang dipakai basil ialah N-formil metionin, sedangkan Archaea ialah metionin. Metionin juga merupakan asam amino yang dipakai eukaria untuk awal proses translasi. Secara keseluruhan, perbandingan sekuen memperlihatkan beberapa kesamaan antara eukaria dan Archaea dalam hal RNA dan protein yang dipakai untuk membentuk translation machine.
BAB III
KESIMPULAN
- Archaea merupakan organisme yang terpisah antara basil dan eukaria.
- Beberapa Archaea mempunyai kemampuan untuk sanggup hidup pada kondisi lingkungan yang ekstrim, menyerupai salinitas tinggi dan temperatur tinggi, lantaran struktur membrannya yang berbeda yaitu adanya ikatan eter dan komposisi membran monolayernya.
- Archaea mempunyai struktur pemanis permukaan sel yang tidak ditemukan pada basil atau pun eukaria, menyerupai canullae, hami, bindosome, Iho670, fibers.
- Archaea mempunyai sifat kemotaksis menyerupai pada bakteri. Berbagai macam protein yang mengatur proses kemotaksis pada basil juga ditemukan pada Archaea.
DAFTAR PUSTAKA
Albers S dan Pohlschr¨oder M. 2009. Diversity of Archaeal type IV pilin-like structures,” Extremophiles, vol. 13, no. 3, pp. 403–410.
Bardy SL dan Jarrell KF. 2002. Flak of the archaeon Methanococcus maripaludis possesses preflagellin peptidase activity, FEMS Microbiology Letters, vol. 208, no. 1, pp. 53– 59.
Bayley DP dan Jarrell KF. 1998. Further evidence to suggest that Archaeal flagella are related to bacterial type IV pili,Journal of Molecular Evolution, vol. 46, no. 3, pp. 370–373.
Brochier-Armanet, CP. Deschamps, P. López-García, Y. Zivanovic, F. Rodríguez-Valera and D. Moreira. 2011. Complete-fosmid and fosmid-end sequences reveal frequent horizontal gene transfers in marine uncultured planktonic Archaea. The ISME Journal. Vol. 5. p.1291-1302.
Elferink MGL, Albers S, Konings W, and Driessen AJM. 2001. Sugar transport in Sulfolobus solfataricus ismediated by two families of binding protein-dependent ABC transporters. Molecular Microbiology, vol. 39, no. 6, pp.1494–1503.
Faguy DM, Jarrell KF, Kuzio J, and Kalmokoff ML. 1994. Molecular analysis of Archaeal flagellins: similarity to the type IV pilin—transport superfamily widespread in bacteria. Canadian Journal of Microbiology, vol. 40, no. 1, pp. 67–71.
Henneberger R, Moissl C, Amann T, Rudolph C, dan Huber R. 2006. New insights into the lifestyle of the cold-loving SM1 euryarchaeon: natural growth as a monospecies biofilm in the subsurface, Applied and EnvironmentalMicrobiology, vol. 72, no. 1, pp. 192–199.
Jarrell KF, S. Y. Ng, and Chaban B. 2007. Flagellation and chemotaxis, in Archaea: Molecular and Cellular Biology, R. Cavicchioli, Ed., pp. 385–410, ASM Press, Washington, DC, USA.
Kalmokoff ML dan Jarrell KF. 1991. Cloning and sequencing of a multigene family encoding the flagellins of Methanococcus voltae, Journal of Bacteriology, vol. 173, no. 22, pp. 7113–7125.
Konig H. 2001. Archaeal cell wall. Di dalam : Encyclopedia of life science. Chichester : 1486-1493
Moissl C, Rachel R, Briegel A , Engelhardt H, and Huber R. 2005. The unique structure of Archaeal ’hami’, highly complex cell appendages with nano-grappling hooks,Molecular Microbiology, vol. 56, no. 2, pp. 361–370.
Muller, D.W., C. Meyer, S. Gurster, U. Kuper, H. Huber, R. Rachel, G. Wanner, R. Wirth, and A. Belack. 2009. The Iho670 fibers of Ignicoccus hospitalis: a new type of Archaeal cell surface appendage. Journal of Bacteriology. Vol. 191, No. 20. p. 6465–6468
Ng S.Y., B. Zolghadr, A.J.M. Driessen, S. J. Albers, and K. F. Jarelli. 2008. Cell surface structures of Archaea. Journal of Bacteriology. Vol. 190. No. 18. P. 6039–6047.
Ng, S. Y., B. Chaban, and K. F. Jarrell. 2006. Archaeal flagella, bacterial flagella and type IV pili: a comparison of genes and posttranslational modifications. J. Mol. Microbiol. Biotechnol. 11:167–191.
Nickell R, Hegerl R, Baumeister W, and Rachel R. 2003. Pyrodictium cannulae enter the periplasmic space but do not enter the cytoplasm, as revealed by cryo-electron tomography,Journal of Structural Biology, vol. 141, no. 1, pp. 34–42.
Peabody CR, Chung YJ, Yen MR, Vidal-Ingigliardi D, Pugsley AP, and Saier MH. 2003. Type II protein secretion and its relationship to bacterial type IV pili and Archaeal flagella, Microbiology, vol. 149, no. 11, pp. 3051–3072.
Rieger G,Rachel R, Hermann R, dan Stetter KO. 1995. Ultrastructure of the hyperthermophilic archaeon Pyrodictiumabyssi, Journal of Structural Biology, vol. 115, no. 1, pp. 78– 87.
Streif S, Staudinger WF, Marwan W, and Oesterhelt D. 2008. Flagellar rotation in the archaeon Halobacterium salinarum depends on ATP, Journal of Molecular Biology, vol. 384, no. 1, pp. 1–8.
Thoma C, Frank M, Rachel R. 2008. The Mth60 fimbriae of Methanothermobacter thermoautotrophicus are functional adhesins, Environmental Microbiology, vol. 10, no. 10, pp. 2785–2795.
Woese C, Kandler O, dan Wheelis ML. 1990. Towards a natural system of organisms: Proposal for the domains Archaea, Bacteria, and Eucarya. Proc. Nati. Acad. Sci. 8
Yuwono T. 2005. Biologi molekular. Safitri a, editor. Jakarta : Erlangga.
Anda kini sudah mengetahui mengenai Archaebacteria. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
No comments:
Post a Comment