Artikel dan Makalah ihwal Seni Satra Lisan dan Tulisan di Indonesia : Pengertian, Contoh, Bentuk, Macam-macam - Indonesia dikenal sangat kaya akan seni sastra, baik goresan pena maupun lisan. Hal ini lantaran Indonesia terdiri atas banyak sekali suku bangsa yang masing-masing mempunyai bahasa tempat masing-masing.
A. Seni Sastra Lisan
Seni sastra verbal di Indonesia berkembang secara turun-temurun. Kebanyakan bercirikan memakai bahasa yang panjang lebar, pola dan susunan teksnya baku, serta ceritanya tersusun dari bermacam-macam insiden yang benar-benar terjadi, dongeng khayalan atau teks keagamaan. Masing-masing pencerita mempunyai keleluasaan di dalam menampilkan tradisi lisan. Bentuk seni sastra verbal yang berkembang di Indonesia, antara lain:
1) Mitos atau Mite
Mitos yakni seni sastra bersifat religius, namun memberi rasio pada kepercayaan dan praktik keagamaan. Masalah pokok yang diulas di dalam mitos yakni duduk masalah kehidupan manusia, asal mula insan dan makhluk hidup lain, alasannya yakni insan di bumi, dan tujuan final hidup manusia. Fungsi mitos yaitu memberi klarifikasi ihwal alam semesta dan keteraturan hidup dan perilaku.
Mite yang hidup di Indonesia biasanya bercerita ihwal proses terciptanya alam semesta (kosmogony), asal undangan dan silsilah para ilahi (theogony), pencitaan insan pertama dan pembawa kebudayaan, asal undangan makanan pokok (padi), dan sebagainya. Berikut salah satu mite yang hidup di Jawa.
Gambar 1. Batara Guru. (Wikimedia Commons) |
"Konon, pada masa dahulu kala Pulau Jawa belum berpenghuni sehingga gampang terombang-ambing terkena ombak laut. Hanya Bathara Guru dan Bathari Parameswari yang berani menempatinya. Maka, biar Pulau Jawa menjadi tenang, Bathara Guru memanggil para ilahi untuk tiba ke Jambudwipa. Intinya mereka diperintah untuk memindahkan Gunung Mahameru ke Pulau Jawa untuk dijadikan pasak. Para ilahi pun bahwasanya mengangkat gunung tersebut. Bathara Wisnu bermetamorfosis tali untuk mengikat dan Bathara Brahma menjadi kura-kura untuk kendaraannya. Separuh gunung ditinggal dan puncaknya sanggup hingga ke Jawa. Selama perjalanan, ada bagian-bagian gunung yang jatuh dan membentuk Gunung Wilis, Gunung Kelud, serta Gunung Kawi. Puncaknya menjadi Gunung Semeru dan menjadi sentra dunia menyerupai Gunung Mahameru di Jambudwipa.
2) Legenda
Legenda merupakan dongeng yang bersifat semihistoris mengenai pahlawan, terciptanya adat, perpindahan penduduk, dan selalu berisi percampuran antara fakta dan supernatural. Legenda tidak banyak mengandung masalah, namun lebih kompleks dari mitos. Fungsinya antara lain memberi pelajaran, anutan moral, meningkatkan rasa besar hati terhadap suku bangsa atau moyangnya. Suatu legenda yang lebih panjang berbentuk puisi atau prosa ritmis dikenal dengan epik.
3) Epik
Epik merupakan dongeng verbal yang panjang, adakala dalam bentuk puisi atau prosa ritmis yang menceritakan perbuatan-perbuatan besar dalam kehidupan orang yang sebenarnya atau yang ada dalam legenda.
4) Dongeng
Dongeng merupakan suatu dongeng yang tidak faktual dan tidak historis yang fungsinya untuk memberi hiburan dan memberi pelajaran atau nasihat.
Nah, kau telah mengetahui bentuk-bentuk seni sastra verbal di Indonesia. Berikut ini yakni contoh-contoh seni sastra verbal yang hidup di Indonesia.
1) Pantun Sunda
Pantun Sunda yakni penceritaan bersyair orang Sunda (Jawa Barat) dengan diiringi oleh musik kecapi. Tradisi ini biasanya dilakukan sebelum atau setelah upacara tradisional contohnya ijab kabul dan merupakan hiburan tunggal. Juru pantun menyanyi sesuai irama kecapi yang ia petik dalam skala pentatonik (lima nada). Kecapi Sunda itu biasanya berbentuk bahtera dengan 18 senar. Pantun Sunda biasanya berisi kisah dongeng dari masa Kerajaan Hindu Pajajaran. Cerita ditampilkan secara bersamaan antara percakapan dan nyanyian. Salah satu pantun Sunda yang terkenal yakni Lutung Kasarung, syairnya terdiri atas 1.000 baris dan berasal dari era XV. Semula, tradisi ini disampaikan oleh pendongeng profesional yang berkelana dari desa ke desa. Maksudnya untuk mengajarkan kepercayaan agama, sejarah, mitologi, sopan santun, dan lain-lain. Dalam perkembangannya, tradisi ini bermetamorfosis dongeng anakanak.
2) Rabab Pariaman
Tradisi pertunjukan verbal ini berasal dari Sumatra Barat. Tukang rabab memberikan dongeng dalam wujud nyanyian dengan ciri dialek Pariaman. Tradisi ini biasa dipertunjukkan pada pesta perkawinan, perayaan nagari, pesta pengangkatan penghulu, dan lain-lain. Cerita yang disampaikan berisi usaha untuk mencapai keberhasilan hidup. Tokoh dalam dongeng itu menghadapi kesulitan dalam mencapai keberhasilan, kemudian menerima tanggapan dari penonton.
3) Makyong
Tradisi ini semula berasal dari Pattani, Muangthai, namun berkembang ke selatan hingga pesisir Melayu. Makyong merupakan pertunjukan teater di mana unsur-unsur drama, tari, musik, mimik, dan sebagainya tergabung menjadi satu. Semula, tradisi ini dipertunjukkan di kalangan atas Istana Kelantan dan Riau Lingga hingga tahun 1700-an. Fungsinya bukan untuk menghibur tetapi penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sultan dan istrinya dianggap wakil Tuhan, maka makyong dianggap persembahan kepada Tuhan. Dalam perkembangannya, makyong bermetamorfosis pertunjukan desa sebagai hiburan atau upacara penyembuhan.
Kisah yang dimainkan sebagian besar berasal dari warisan cerita-cerita istana kerajaan Melayu, biasanya berbentuk prosa tanpa naskah. Makyong antara lain terdiri atas punakawan (pengasuh) yang mengenakan topeng, wak petanda (ahli pembintangan atau orang bijak), serta para pemain yang semua diperankan oleh kaum perempuan. Salah satu kisah yang paling disukai dalam tradisi makyong yakni ilahi muda.
4) Wayang Kulit dan Wayang Beber
Tradisi ini merupakan tradisi verbal yang lakonnya bersumber dari legenda serta kisah verbal sastra tulis atas tradisi India dan Jawa. Wayang kulit dan wayang beber sanggup ditemukan di Jawa, Bali, Sumatra Selatan, dan Jawa Barat. Tradisi wayang berbentuk teater boneka dengan memakai layar (kelir), gamelan, dan 400-an wayang. Hidup tidaknya pertunjukan ini ditentukan oleh dalang, lantaran dialah yang menguasai pertunjukan.
Seni sastra goresan pena Indonesia berdasarkan periodisasinya digolongkan menjadi:
1) Pujangga Lama
Karya sastra Pujangga Lama di Indonesia dihasilkan sebelum era ke-20. Pada masa ini karya satra di Indonesia di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Syair yakni puisi atau karangan dalam bentuk terikat yang mementingkan irama sajak. Biasanya terdiri atas 4 baris, berirama aaaa, keempat baris tersebut mengandung arti atau maksud penyair (pada pantun, 2 baris terakhir yang mengandung maksud). Pantun merupakan sejenis puisi yang terdiri atas 4 baris bersajak ab-ab atau aa-aa. Dua baris pertama merupakan sampiran, yang umumnya ihwal alam (flora dan fauna). Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.
Gurindam yakni satu bentuk puisi Melayu usang yang terdiri dari dua baris kalimat dengan irama final yang sama, yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Baris pertama berisikan semacam soal, duduk masalah atau perjanjian dan baris kedua berisikan tanggapan nya atau akhir dari duduk masalah atau perjanjian pada baris pertama tadi. Hikayat yakni salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam Bahasa Melayu yang berisikan ihwal kisah, cerita, dongeng, maupun sejarah.
Umumnya mengisahkan ihwal kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian serta mukjizat tokoh utama. Beberapa karya sastra pada masa pujangga usang diantaranya Hikayat Abdullah, Hikayat Andaken Penurat, dan Hikayat Bayan Budiman.
2) Sastra Melayu Lama
Merupakan karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870–1942, yang berkembang di lingkungan masyarakat Sumatra menyerupai Langkat, Tapanuli, Padang dan tempat Sumatra lainnya, Cina dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat. Beberapa pola karya sastra Melayu usang yaitu Nyai Dasima oleh G. Francis (Indo), Bunga Rampai oleh A.F van Dewall, Kisah Perjalanan Nakhoda Bontekoe, Kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan, Kisah Pelayaran ke Makassar dan lain-lain
3) Angkatan Balai Pustaka
Karya sastra angkatan Balai Pustaka muncul di Indonesia semenjak tahun 1920–1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, dongeng pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah dampak jelek dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap mempunyai misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura. Contoh karya sastra angkatan Balai Pustaka antara lain Azab dan Sengsara, Seorang Gadis oleh Merari Siregar, Sengsara Membawa Nikmat oleh Tulis Sutan Sati, dan Siti Nurbaya oleh Marah Rusli.
4) Pujangga Baru
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru yakni sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi “bapak” sastra modern Indonesia. Pada masa itu, terbit pula majalah “Poedjangga Baroe” yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930–1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Karya sastra Pujangga Baru di antaranya Layar Terkembang oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Belenggu oleh Armijn Pane. Makna Pujangga atau Bujangga yakni pemimpin agama atau pendeta. Tetapi, makna pujangga dalam pujangga gres yakni ”pencipta”.
5) Angkatan ’45
Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan ’45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga gres yang romantik-idealistik. Misalnya, Surat Cinta Enday Rasidin, Simphoni oleh Subagio Sastrowardojo, dan Balada Orangorang Tercinta oleh W.S.Rendra
6) Angkatan 66-70-an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat bermacam-macam dalam aliran sastranya. Sastrawan pada final angkatan yang kemudian termasuk juga dalam kelompok ini menyerupai Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Gunawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hurip, Sutardji Calzoum Bachri, dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B.Jassin.
Seorang sastrawan pada angkatan 50–60-an yang menerima tempat pada angkatan ini yakni Iwan Simatupang. Pada masanya, karya sastranya berupa novel, cerpen dan drama kurang menerima perhatian. Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C Noer, Akhudiat, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Gunawan Mohammad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Widjaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail dan banyak lagi yang lainnya. Karya Sastra Angkatan ‘66 di antaranya Amuk, Kapak, Laut Belum Pasang, Meditasi, Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Tergantung Pada Angin, Dukamu Abadi, Aquarium, Mata Pisau dan Perahu Kertas.
7) Angkatan 80-an
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan perempuan yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas di banyak sekali majalah dan penerbitan umum. Beberapa sastrawan yang sanggup mewakili Angkatan dekade 80-an ini antara lain Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, dan Kurniawan Junaidi. Karya Sastra Angkatan Dasawarsa 80 antara lain Badai Pasti Berlalu, Cintaku di Kampus Biru, Sajak Sikat Gigi, Arjuna Mencari Cinta, Manusia Kamar, dan Karmila. Mira W dan Marga T yakni dua sastrawan perempuan Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka yakni wanita. Bertolak belakang dengan novelnovel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa era ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 80-an biasanya selalu mengalahkan tugas antagonisnya.
Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 80-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop (tetapi tetap sah disebut sastra, kalau sastra dianggap sebagai salah satu alat komunikasi), yaitu lahirnya sejumlah novel terkenal yang dipelopori oleh Hilman dengan Serial Lupus-nya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih “berat”. Budaya barat dan konflik-konfliknya sebagai tema utama dongeng terus mempengaruhi sastra Indonesia hingga tahun 2000.
8) Angkatan 2000-an
Sastrawan angkatan 2000 mulai merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada final tahun 90-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kisah novel fiksi. Apakah kau mengenal Ayu Utami dengan karyanya Saman? Sebuah fragmen dari dongeng Laila Tak Mampir di New York. Karya ini menandai awal bangkitnya kembali sastra Indonesia setelah hampir 20 tahun. Gaya penulisan Ayu Utami yang terbuka, bahkan vulgar, itulah yang membuatnya menonjol dari pengarang-pengarang yang lain. Novel lain yang ditulisnya yakni Larung.
Anda kini sudah mengetahui Seni Sastra Lisan dan Seni Satra Tulisan. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
Referensi :
Dyastriningrum. 2009. Antropologi : Kelas XII : Untuk Sekolah Menengan Atas dan MA Program Bahasa. Pusat Perbukuan Departemen Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 90.
No comments:
Post a Comment