Monday, November 25, 2019

Pintar Pelajaran Kesultanan / Kerajaan Demak : Sejarah, Peninggalan, Pendiri, Letak, Peta, Kemunduran, Runtuhnya

Artikel dan Makalah wacana Kesultanan / Kerajaan Demak : Sejarah, Peninggalan, Pendiri, Letak, Peta, Kemunduran, Runtuhnya - Kerajaan Demak didirikan oleh komplotan pedagang Islam di pantai utara Jawa yang dipimpin oleh Raden Patah (Fatah), seorang keturunan Raja Brawijaya V yang menikah dengan putri Campa, Vietnam. Ketika Majapahit masih berkuasa walaupun dalam keadaan lemah, Raden Patah diangkat menjadi bupati di Bintoro (Demak). Tahun 1500 Demak menyerang Majapahit dan memindahkan sentra pemerintahan ke Demak. Dengan demikian, Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa. Raden Patah lahir di Palembang pada 1455 M. Nama kecilnya Pangeran Jimbun. Selama 20 tahun, ia hidup di istana adipati Majapahit yang berkuasa di Palembang, yakni Arya Damar. (Baca juga : Kerajaan Islam di Indonesia)

Setelah beranjak dewasa, ia kembali ke Majapahit. Oleh orang tuanya Patah dikirim kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel (Ngampel) Denta untuk mencar ilmu Islam. Ia mempelajari pendidikan Islam bersama murid-murid Sunan Ampel yang lainnya, ibarat Raden Paku (Sunan Giri), Maulana Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Qasim (Sunan Derajat).

Raden Patah dinikahkan dengan cucu Raden Rahmat, Nyi Ageng Maloka. Selanjutnya ia dipercaya untuk mengembangkan Islam di Desa Bintoro dengan diiringi oleh Sultan Palembang, Aryadila, beserta 200 pasukannya. Oleh para Wali, tempat ini telah direncanakan sebagai sentra dakwah Islam di Jawa. Lambat laun, Bintaro semakin ramai oleh para pendatang, baik yang ingin mencar ilmu Islam maupun yang berdagang.

Oleh para Wali, Patah diangkat menjadi sultan di Bintoro dengan gelar Sultan Alam Akbar al-Fatah, sebagai bawahan Majapahit. Bintoro pun berganti nama menjadi Demak. Para Wali setuju bahwa sudah saatnya Demak melepaskan diri dari Majapahit dan mengangkat Raden Patah menjadi raja Demak pertama. Oleh Tome Pires, ia ditulis sebagai Pate Rodin Sr.

Pelepasan kekuasan ini ditandai dengan pemindahan pusaka Majapahit ke Bintoro. Hal ini menegaskan bahwa Demak merupakan hebat waris Majapahit dan karenanya seluruh wilayah Majapahit menjadi hak milik Demak. Dalam menjalani roda pemerintahan, Raden Patah banyak dibantu oleh Wali Sanga yang berperan sebagai penasihat. Ia juga yang membangun Masjid Agung Demak pada tahun 1489, dibantu sepenuhnya oleh para Wali.

Keberhasilan Raden Patah dalam memperluas daerahnya sanggup dilihat ketika Demak berhasil menaklukkan Girindrawardhana yang pada tahun 1478 berhasil merebut sentra Majapahit di Dayo (menurut Tome Pires). Ia pun bisa menyerang benteng Portugis di Malaka. Ia mengutus anaknya yang berjulukan Muhammad Yunus (Dipati Unus) tahun 1512 guna menghantam benteng Portugis, namun gagal. Walaupun gagal, namun keberanian Dipati Unus menyerang Portugis mengakibatkan ia dijuluki Pangeran Sabrang Lor yang berarti “pangeran yang pernah menyeberang ke utara”.

Catatan Sejarah :

Mengenai Dipati Unus ini para sejarawan berbeda pendapat. Sebagian beropini ia yaitu mantu Raden Patah. Unus sendiri awalnya merupakan penguasa Jepara. Kakeknya konon berasal dari Kalimantan. Maka dari itu ia disebut Pangeran dari Seberang Utara, mengacu kepada Pulau Kalimantan yang memang berada di utara Jawa. Ketika menjadi Adipati Jepara, ia sempat melancarkan serangan ke benteng Portugis di Malaka tahun 1512-1513.

Dipati Unus naik tahta menggantikan Raden Patah pada tahun 1518. Pada masa pemerintahannya, sekali lagi Demak menyerang Portugis di Malaka. Kali ini ia didukung oleh raja Malaka, yaitu Sultan Mahmud Syah, yang melarikan diri dari kejaran pasukan Portugis. Namun, lagi-lagi Unus mengalami kegagalan. Pasukan adonan Demak-Jepara-Palembang tak bisa menghalau Portugis. Ketika hingga di Jepara, hanya 10 kapal perang (jung) dan 10 kapal barang yang tersisa. Sebagai kenang-kenangan, ia membiarkan sebuah kapal jungnya disimpan di pantai Jepara, sebagai bukti bahwa ia pernah melawan “bangsa yang paling gagah berani di dunia”, yaitu Portugis di Malaka, meskipun kalah.

Setelah Dipati Unus wafat tahun 1521, terjadi kemelut di Demak yang disebabkan persaingan antara Pangeran Sekar Seda Lepen dengan Pangeran Trenggana (Trenggono). Akhirnya, yang tampil menjadi pemimpin Demak yaitu Sultan Trenggana. Demak mencapai puncak kejayaannya di bawah Sultan Trenggana. Sebagai kerajaan maritim, Demak menjadi bandar transit antar tempat penghasil rempah-rempah di Indonesia Timur (Maluku) dan Malaka di barat. Ia pun mengakibatkan Demak sebagai sentra kekuasaan sekaligus sentra penyebaran Islam di Jawa. Untuk itu Sultan Trenggana menguasai kerajan-kerajaan di pantai utara Jawa. Menurut Tome Pires, Sultan Trenggana merupakan raja yang selalu menghabiskan waktu bersenang-senang. Ia tak terlalu memperhatikan bahaya Portugis di Malaka terhadap kedaulatan Demak.

Kekuasaan Demak kala itu mencakup sebagian Jawa Barat, Jayakarta, Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Timur. Tokoh Demak yang populer yaitu Fatahillah (Faletehan berdasarkan pengecap orang Portugis), berjasa menguasai pelabuhan Sunda Kelapa, Jawa Barat. Dalam perjuangan meluaskan kekuasaannya ke Jawa Timur, Trenggana meninggal dunia di perjalanan ketika akan menyerang Pasuruan (Blambangan, Jawa Timur) pada tahun 1546. Setelah Sultan Trenggana tiada, kembali terjadi kemelut politik antara keluarga Pangeran Sekar Seda Lepen dengan keluarga Sultan Trenggana. Di tengah kemelut tersebut, tampil Joko Tingkir, adipati Pajang bawahan Demak. Ia meredam pemberontakan Arya (Ario) Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen, yang berkuasa di Jipang (Bojonegoro).

Sebelumnya, Penangsang berhasil membunuh Susuhunan Prawoto, hebat waris tahta sepeninggal Trenggana. Ario Penangsang sendiri tewas terbunuh Sutawijaya, putera Ki Ageng Pemanahan. Setelah kemelut berakhir, Joko Tingkir memindahkan pusaka kerajaan dari Bintoro Demak ke Pajang yang menandai berakhirnya Demak sekaligus awal dari Kerajaan Pajang.

Anda kini sudah mengetahui Kerajaan Demak. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Referensi :

Suwito, T. 2009. Sejarah : Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) Kelas XI. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 368.

No comments:

Post a Comment