Cara Kerja dan Aplikasi Sel Bahan Bakar Hidrogen, Bahan, Prinsip, Pengertian, Contoh - Energi merupakan salah satu kebutuhan hidup yang harus terpenuhi demi kelangsungan hidup manusia. Saat ini kebutuhan energi sudah sangat besar seiring dengan peningkatan jumlah penduduk terutama energi listrik. Jadi, dalam bidang energi sudah saatnya kita mengusahakan untuk memproduksi sumber energi alternatif untuk mengantisipasi ketersediaan energi di masa yang akan datang. Sumber energi tersebut harus memenuhi parameter keberhasilan suatu sumber energi alternatif yaitu: sanggup diperbarui (renewable energy), ramah lingkungan, dan biaya yang murah. Salah satunya dengan memanfaatkan sel materi bakar (Fuel cell). Fuel cell merupakan konverter dari energi kimia ke energi listrik yang ramah lingkungan. Fuel cell dirancang untuk sanggup diisi reaktannya yang terkonsumsi dimana fuel cell memproduksi listrik dan penyediaan materi bakar hidrogen dan oksigen dari luar. Reaktan yang biasanya digunakan dalam sebuah sel materi bakar yakni hidrogen di sisi anoda dan oksigen di sisi katoda. Reaktan mengalir masuk dan produk dari reaktan mengalir keluar. Sehingga operasi jangka panjang sanggup terus menerus dilakukan selama disuplai oleh materi bakar (hidrogen) dan oksigen.
Fuel cell ini di klasifikasikan sebagai pembangkit tenaga lantaran sel materi bakar ini sanggup beroperasi secara terus menerus atau selama ada persediaan materi bakar (fuel) dan oksidan. Fuel cell diklasifikasikan dalam beberapa jenis tergantung dari jenis materi bakar yang digunakan, yaitu Alkaline Fuel Cell (AFC), Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC), Phosphoric Acid Fuel Cell (PAFC), Proton Exchange Membrane (PEM), Solid Oxide Fuel Cell (SOFC) (De Guire, 2003). Fuel cell mempunyai karakteristik umum yaitu sangat efisien (>85%), modular (dapat ditempatkan dimana diperlukan), ramah lingkungan (tidak berisik, emisinya rendah), panas yang terbuang sanggup di simpan (Handayani, 2008).
SOFC dianggap menarik lantaran mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan fuel cell jenis lain. SOFC merupakan fuel cell dengan temperatur tertinggi pada ketika ini yaitu sekitar 600 oC - 1000 oC dan juga mempunyai tingkat efesiensi yang paling tinggi yaitu sekitar 60%. SOFC berkembang semenjak tahun 1950 dan mempunyai dua bentuk yaitu planar dan tubular. Keuntungan dari fuel cell jenis ini yaitu sanggup memakai materi bakar lain selain hidrogen. Sama ibarat jenis fuel cell yang lain, SOFC juga mempunyai tiga penggalan penting yaitu elektrolit, katode, dan anode (De Guire, 2003).
1. Sel Bahan Bakar (Fuel Cell)
Fuel cell (sel materi bakar) yakni suatu konverter dari energi kimia menjadi energi listrik dengan memanfaatkan kecendrungan hidrogen dan oksigen untuk bereaksi dimana operasi jangka panjangnya sanggup terus menerus terjadi selama materi bakarnya sanggup terus disuplai yaitu hidrogen dan oksigen. Gas hidrogen dan oksigen secara elektrokimia dikonvert menjadi air. Reaksi secara keseluruhannya yakni sebagai berikut (Cook, 2001):
Anoda : H2 → 2 H+ + 2 e-
Katoda : ½ O2 + 2 H+ + 2 e- → H2O
Reaksi total : H2 + ½ O2 → H2O + energi listrik + kalor
Prinsip kerja fuel cell yaitu hidrogen di dalam sel dialirkan menuju sisi anoda sedangkan oksigen di dalam udara dialirkan menuju sisi katoda. Pada anoda terjadi pemisahan hidrogen menjadi elektron dan proton (ion hidrogen). Ion hidrogen ini kemudian menyebrang dan bertemu dengan oksigen dan elektron di katoda dan menghasilkan air. Elektron-elektron yang mengandung muatan listrik ini akan menuju katoda melalui jaringan eksternal. Aliran elektron-elektron inilah yang akan menghasilkan arus listrik. Skema fuel cell diperlihatkan pada Gambar 1.
Skema sel materi bakar (fuel cell) (Anonim 2012) |
Fuel cell mempunyai beberapa kelebihan yaitu (Anonim, 2008):
- Memiliki efiesiensi yang tinggi (60%-70%)
- Ramah lingkungan (tidak berisik, emisinya rendah)
- Secara teoritis, limbah atau emisi yang dihasilkan yakni air (H2O).
Berbeda dengan pada pembakaran biasa dengan memakai mesin, dimana limbah yang dihasilan yakni gas-gas yang berpotensi untuk mencemari lingkungan. Selain itu kalau memakai pembangkit daya yang konvensional, polusi kebisingan juga sanggup terjadi, sedangkan sel materi bakar ini tidak menghasilkan suara. Sel materi bakar tidak memerlukan penggantian elektrolit dan pengisian materi bakar, akan tetapi kalau materi bakarnya habis, maka sel ini juga tidak sanggup berfungsi.
3. Bahan bakarnya flexibel
Bahan bakar yang digunakan untuk sel materi bakar sanggup digunakan beberapa macam, kebanyakan memakai hidrogen dan oksigen sebagai materi bakar dan oksidannya. Selain memakai kedua materi tersebut, materi bakar lain yang dicoba digunakan antara lain ammonia, hidrazine, metanol dan batubara.
Fuel cell mempunyai beberapa macam tipe yaitu
- Alkaline Fuel Cell (AFC)
- Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC)
- Phosphoric Acid Fuel Cell (PAFC)
- Proton Exchange Membrane (PEM)
- Solid Oxide Fuel Cell (SOFC)
4. Solid Oxide Fuel Cell (SOFC)
SOFC yakni suatu jenis perangkat elektrokimia yang memakai materi bakar oksida padat yang sanggup mengkonversi secara eksklusif dari energi kimia menjadi energi listrik yang lebih efisien dan materi bakarnya bebas dari polusi. Skema sebuah SOFC diperlihatkan pada Gambar 2. (Wikipedia, 2012):
Gambar 2. Skema SOFC. (Anonim, 2012) |
Pada suhu tinggi oksigen bermigrasi melalui lapisan elektrolit menuju anoda yang akan mengoksidasi materi bakar yang mengandung molekul hidrogen pada anoda yang akan menghasilkan ion hidrogen dan akan membebaskan elektron. Elektron yang dihasilkan pada anoda keluar dari sirkuit masuk ke sisi katoda yang akan dipergunakan sebagai tenaga listrik dengan efisiensi 60%. SOFC mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan jenis fuel cell yang lain, yaitu (Anonim, 2012):
- Memiliki efisiensi yang tinggi 60%.
- Memiliki stabilitas jangka panjang.
- Ramah lingkungan.
- Dapat memakai beberapa jenis materi bakar.
- Emisinya rendah.
- Biaya yang relatif rendah.
- Dapat beroperasi pada suhu tinggi yaitu 600 oC - 1000 oC.
SOFC mempunyai dua desain yaitu desain planar dan tubular (tabung) ibarat yang terlihat pada Gambar 3.
Desain planar mempunyai lapisan khusus dalam aneka macam ukuran yang banyak digunakan dalam aneka macam sel materi bakar dimana lapisan elektrolitnya terletak diantara elektroda. Sedangkan desain tubular, udara atau materi bakar melewati penggalan dalam tabung dan gas lainnya dilewatkan pada penggalan luar tabung. Desain tubular menguntungkan lantaran lebih gampang untuk membatasi dan memisahkan materi bakar dari udara dibandingkan dengan bentuk planar (De Guire 2003).
Gambar 3. (a) sistem tubular SOFC (b) Sistem planar SOFC (De Guire 2003). |
Sama ibarat fuel cell pada umumnya, SOFC juga mempunyai penggalan penting, yaitu (De Guire, 2003):
a. Elektrolit
Elektrolit merupakan pemisah antara katoda dan anoda. Elektrolit berfungsi untuk memindahkan ion-ion yang terlibat dalam reaksi-reaksi reduksi dan oksidasi dalam sel materi bakar. Elektrolit sangat kuat pada kinerja fuel cell.
b. Katode
Katode merupakan elektroda yang berinteraksi dengan udara yang berfungsi menjadi batas untuk oksigen dan elektrolit, mengkatalis reaksi reduksi oksigen dan menghubungkan elektron-elektron dari sirkuit luar ke daerah reaksi.
c. Anode
Anode merupakan elektroda yang berinteraksi dengan materi bakar yang berfungsi menjadi batas untuk materi bakar dan elektrolit, mengkatalis reaksi oksidasi dan menghubungkan elektron-elektron dari daerah reaksi elektron dari daerah reaksi ke eksternal sirkuit. Anoda merupakan penggalan terpenting dalam SOFC. Anode dalam sebuah SOFC harus mempunyai beberapa kriteria yaitu
- Memiliki konduktivitas listrik yang tinggi (10-1- 103 (Ω.cm)-1)
- Stabil dalam lingkungan reduksi
- Mempunyai porositas yang Istimewa dan banyak (20%-40%)
- Memiliki acara katalik dan elektrokimia yang tinggi untuk mengoksidasi materi bakar
- Memiliki struktur kristal kubik.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Herliyani (2012) dilakukan pembuatan anode dengan materi dasar CSZ (calcia stabilized zirconia) dengan metode kompaksi serbuk. Dimana metode kompaksi serbuk merupakan proses pembuatan serbuk dan benda jadi dari serbuk logam atau paduan logam dengan ukuran serbuk tertentu dengan cara di kompaksi tanpa melalui proses peleburan (Rusianto, 2009). Energi yang digunakan dalam proses ini relative rendah sedangkan laba lainnya antara lain hasil kesudahannya sanggup eksklusif diadaptasi dengan dimensi yang diinginkan yang berarti akan mengurangi biaya permesinan dan materi baku yang terbuang.
Jenis dan macam produk yang dihasilkan oleh proses metalurgi serbuk sangat ditentukan proses kompaksi dalam membentuk serbuk dengan kekuatan yang baik. Pada proses kompaksi serbuk meliputi proses pengepresan suatu bentuk di dalam cetakan yang terbuat dari baja. Teknik metalurgi serbuk meliputi pencampuran serbuk (mixing), pembuatan pellet (kompaksi), perlakuan panas (sintering). Pengecoran yakni suatu proses manufaktur yang memakai logam cair dan cetakan untuk menghasilkan parts dengan bentuk yang mendekati bentuk geometri simpulan produk jadi. Logam cair akan dituangkan atau ditekan ke dalam cetakan yang mempunyai rongga sesuai dengan bentuk yang diinginkan (Anonim, 2011). Namun teknik ini mempunyai beberapa kelemahan antara lain butir-butir yang dihasilkan cukup besar sehingga menurunkan kekuatan tariknya. Selain itu teknik pengecoran mempunyai kesulitan dalam pemaduan unsur-unsur dengan perbedaan titik leleh yang besar. Sehingga metode metalurgi serbuk ini digunakan dalam penelitian ini walaupun metode ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu : bentuk yang rumit tidak sanggup dibuat, materi serbuk logam mahal dan kadang sulit penyimpanannya lantaran gampang terkontaminasi.
Keramik CSZ ini merupakan adonan dari ZrO2 dan CaO dengan perbandingan persentase mol sebesar 85% dan 15% lantaran jika ZrO2 lebih dari 85% maka dikhawatirkan keramik akan menjadi ringkih sedangkan kalau persentase mol kurang dari 85% maka tidak akan membentuk struktur kristal kubik ibarat yang diharapkan. Kemudian adonan CSZ yang terbentuk ditambahkan dengan NiO dan PVA yang bervariasi konsentrasi beratnya masing-masing sebesar 2%, 6%, dan 10% dimana variasi persentase konsentrasi berat PVA ibarat ini paling tepat untuk menghasilkan porositas keramik yang Istimewa tetapi konsentrasi berat PVA ini bisa diekstrapolarsi kalau ada penelitian lain yang mencoba dengan persentase konsentrasi berat PVA sebesar ≤ 2%, 6%, dan 10%. Berikut ini yakni tabel karakteristik dari PVA (polyvinyl alcohol).
Tabel 1. Karakteristik PVA (Wikipedia, 2012)
Rumus Molekul | (C2H4O) |
Kerapatan | 1,19 – 1,39 g/cm3 |
Titik didih | 228 oC |
Titik lebur | 230 oC |
Matula et al., (2008) menjelaskan bahwa untuk mendapat materi anode SOFC yang paling baik, maka adonan harus disintering dengan temperature sintering ≤ 1400 oC dan direduksi pada temperatur minimal 800 oC Hal ini terlihat dari Gambar 4, dimana pada gambar ini terlihat bahwa densitas dari Ni-YSZ meningkat seiring dengan penambahan suhu sintering tetapi akan kembali menurun kalau suhu sinteringnya lebih dari 1500 oC. Sedangkan kalau temperatur reduksi kurang dari 800 oC maka reduksi akan berlangsung tidak tepat lantaran masih adanya fase NiO.
Gambar 4. Kurva sintering Ni-YSZ 50:50 (Matula et al., 2008) |
Selain suhu sintering dan reduksi, komposisi NiO pada Ni-YSZ juga mensugesti materi yang akan dijadikan anode. Seperti yang diharapkan porositas meningkat terhadap NiO sebagai konsekuensi dari reduksi Ni. Efek ini menguntungkan untuk transport materi bakar di anoda. Namun, ketika tingkat porositas terlalu tinggi maka sifat mekanik berkurang. Berdasarkan pengujian sifat listrik ditemukan bahwa meningkatnya NiO mengakibatkan peningkatan konduktivitas pada Ni-YSZ. NiO yang lebih rendah dari 40% menghasilkan konduktivitas yang relative rendah dan material ini tidak sesuai untuk diaplikasikan sebagai anode pada SOFC. Untuk mempertahankan sifat mekanik yang tinggi yang dibutuhkan untuk anoda SOFC, komposisi NiO di NiO-YSZ adonan dihentikan lebih tinggi dari 60% tetapi dihentikan lebih kurang dari 40% biar harga konduktivitas keramik tidak terlalu rendah (Matula et al., 2008). Oleh lantaran itu, pada penelitian ini dilakukan pembuatan keramik Ni-CSZ untuk diaplikasikan sebagai anode SOFC dengan komposisi NiO 50% dengan suhu sintering 1500 oC dan direduksi pada suhu 900 oC.
Gambar 5. Proses yang terjadi selama pembuatan keramik secara fisis |
Proses fisis yang terjadi selama pembuatan pelet Ni-CSZ secara fisis dijelaskan pada Gambar 5. sebagai berikut:
2.1. Keramik
Keramik sanggup didefinisikan sebagai adonan anorganik yang meliputi materi logam dan nonlogam yang dibuat menurut perlakuan panas dan tekanan (Boursoum, 1997). Sifat keramik sangat ditentukan oleh struktur kristal, komposisi kimia, dan mineral bawaannya. Keramik mempunyai jenis yang sangat banyak. Salah satunya adalah ZrO2, dimana keramik ZrO2 memiliki karakteristik sebagai berikut: diguanakan pada suhu hingga 2.400 oC, kepadatan tinggi, konduktifitas termalnya rendah, kimia inertness, perlawanan terhadap logam cair , ionic konduksi listrik, ketangguhan perpatahan tinggi, kekerasan tinggi, (dalam Wikipedia, 2010). Gambar berikut pertanda diagram fasa ZrO2-CaO.
Gambar 6. Diagram fasa ZrO2-CaO. (Anonim, 2012) |
Gambar 6. merupakan diagram fasa ZrO2 CaO. Dalam penelitian ini keramik CSZ diharapkan membentuk struktur kubik sehingga persentase mol CaO harus diantara 15% - 27% dan temperature sinteringnya ≤ 1500 oC.
2.3 Sintering
Proses sinter merupakan proses perlakuan panas pada serbuk ataupun padatan dari serbuk pada temperatur 2/3 dibawah titik leleh untuk meningkatkan kekuatan (Didiek et al., 2007). Proses sintering ini lebih efektif daripada proses kalsinasi. Dimana kalsinasi itu merupakan suatu metode pemisahan dengan memecah ikatan antar senyawa memakai pemanasan 800 oC karena pada suhu ini ikatan kompleks akan terpecah. Sedangkan pembakaran yakni suatu tahapan reaksi kimia antara suatu materi bakar dan suatu oksidan disertai dengan produksi panas yang kadang disertai cahaya dalam bentuk pendar atau api.
Proses sintering sangat efektif untuk mengurangi porositas, meningkatkan kekuatan, meningkatkan konduktivitas termal, dan meningkatkan kerapatan keramik sesuai dengan mikrostruktur dan komposisi fasa yang diinginkan. Selama proses sintering ukuran butir mengecil dan menjadi lebih bundar lantaran permukaan partikel masuk ke pori-pori di dalamnya sehingga porositas berkurang dan menciptakan sampel menjadi lebih padat. Gambar 7a. dan Gambar 7b. pertanda dua kemungkinan yang akan terjadi selama proses sintering.
Gambar 7. (a) Densifikasi diikuti dengan pertumbuhan butir (grain growth), (b) coarsening (Barsoum, 1997). |
Kedua prosedur ini saling bersaing. Jika proses atomnya yang mendominasi yakni densifikasi, maka kerapatan dan porositasnya akan mengecil dan menghilang terhadap waktu. Tetapi, kalau proses coarsening lebih cepat, maka kekasaran dan porositasnya akan membesar terhadap waktu (Barsoum, 1997).
3. Polimeric Electrolyte Membrane Fuel Cells (PEMFC) (Mudzakir, 2010)
PEMFC merupakan sel materi bakar yang banyak dipilih dikarenakan sel materi bakar tersebut mempunyai sifat yang lebih menguntungkan, yakni bisa meminimalisir korosi yang sering terjadi dalam penggunaan sel materi bakar jenis laindengan materi elektrolit yang korosif, selain itu PEMFC sanggup beroperasi pada temperatur rendah (sekitar 80 oC). Pada PEMFC membran digunakan sebagai konduktor proton dan insulator elektronik sehingga mempermudah pengemasan dan meningkatkan efisiensi kerja transfer ion H+ hingga mencapai 40-50%. (Souza, 2003)
Membran yang ketika ini banyak digunakan untuk PEMFC yakni Nafion®. Politetrafluoroetilena dengan cabang gugus asam sulfonat (Nafion®) mempunyai konduktivitas proton, ketahanan mekanik, dan ketahanan termal yang baik. Namun membran Nafion® mempunyai kekurangan yaitu tidak ramah lingkungan, harga yang mahal serta mempunyai permeabilitas metanol yang tinggi sehingga tidak sanggup diaplikasikan pada Direct Methanol Fuel Cell (DMFC). Oleh lantaran itu aneka macam penelitian dilakukan dengan tujuan mendapat membran gres yang lebih baik dari segi kualitas, harga dan ramah lingkungan dibandingkan dengan Nafion®.
Dalam PEMFC membran yang digunakan harus bermuatan negatif biar efisien dalam menarik dan melewatkan proton dari anoda ke katoda. Dan biar lebih ramah lingkungan membran harus sanggup terdegradasi secara alami, sehingga membran hasil pemakaian tidak menjadi limbah atau polutan.
Kitosan merupakan salah satu biopolimer yang memenuhi syarat untuk diaplikasikan sebagai membran dalam sel materi bakar. Karena kitosan bersifat hidrofilik, mempunyai kekuatan mekanik yang baik, gampang dimodifikasi secara kimia serta sanggup terdegradasi secara alami. Kitosan merupakan biopolimer yang berasal dari kulit udang yang telah dideasetilisasi. Sehingga pemanfaatan kitosan sebagai membran sanggup menjawab permasalahan limbah dan menaikkan nilai ekonomi kulit udang tersebut. Bila dibandingkan dengan Nafion® konduktivitas kitosan sangat rendah, sehingga untuk menaikkan konduktivitas ioniknya dilakukan sulfonasi pada kitosan.
PEMFC merupakan sel materi bakar yang banyak dipilih dikarenakan sel materi bakar tersebut mempunyai sifat yang lebih menguntungkan, yakni bisa meminimalisir korosi yang sering terjadi dalam penggunaan sel materi bakar jenis laindengan materi elektrolit yang korosif, selain itu PEMFC sanggup beroperasi pada temperatur rendah (sekitar 80 oC). Pada PEMFC membran digunakan sebagai konduktor proton dan insulator elektronik sehingga mempermudah pengemasan dan meningkatkan efisiensi kerja transfer ion H+ hingga mencapai 40-50%. (Souza, 2003)
Membran yang ketika ini banyak digunakan untuk PEMFC yakni Nafion®. Politetrafluoroetilena dengan cabang gugus asam sulfonat (Nafion®) mempunyai konduktivitas proton, ketahanan mekanik, dan ketahanan termal yang baik. Namun membran Nafion® mempunyai kekurangan yaitu tidak ramah lingkungan, harga yang mahal serta mempunyai permeabilitas metanol yang tinggi sehingga tidak sanggup diaplikasikan pada Direct Methanol Fuel Cell (DMFC). Oleh lantaran itu aneka macam penelitian dilakukan dengan tujuan mendapat membran gres yang lebih baik dari segi kualitas, harga dan ramah lingkungan dibandingkan dengan Nafion®.
Dalam PEMFC membran yang digunakan harus bermuatan negatif biar efisien dalam menarik dan melewatkan proton dari anoda ke katoda. Dan biar lebih ramah lingkungan membran harus sanggup terdegradasi secara alami, sehingga membran hasil pemakaian tidak menjadi limbah atau polutan.
Kitosan merupakan salah satu biopolimer yang memenuhi syarat untuk diaplikasikan sebagai membran dalam sel materi bakar. Karena kitosan bersifat hidrofilik, mempunyai kekuatan mekanik yang baik, gampang dimodifikasi secara kimia serta sanggup terdegradasi secara alami. Kitosan merupakan biopolimer yang berasal dari kulit udang yang telah dideasetilisasi. Sehingga pemanfaatan kitosan sebagai membran sanggup menjawab permasalahan limbah dan menaikkan nilai ekonomi kulit udang tersebut. Bila dibandingkan dengan Nafion® konduktivitas kitosan sangat rendah, sehingga untuk menaikkan konduktivitas ioniknya dilakukan sulfonasi pada kitosan.
Polymeric electrolyte membrane fuel cell (PEMFC) disebut juga proton exchange membrane fuel cell. Membran ini berupa lapisan tipis padat yang berfungsi sebagai elektrolit pemisah katoda dan anoda. Membran ini secara selektif mengontrol transport proton dari anoda ke katoda dalam sel materi bakar. PEMFC mengandung katalis platina. Selain itu, pada fuel cell ini tidak digunakan fluida yang bersifat korosif ibarat jenis sel materi bakar lainnya.
Membran polimer merupakan komponen yang sangat penting dalam PEM fuel cell. Membran polimer ini sanggup memisahkan reaktan dan menjadi sarana transportasi ion hidrogen yang dihasilkan di anoda menuju katoda sehingga menghasilkan energi listrik. Kemurnian gas hidrogen sangat mensugesti emisi buang sistem fuel cell berbasis polimer tersebut. Kemurnian hidrogen yang tinggi mengatakan tingkat emisi yang mendekati zero emission. Penggunaan hidrogen dengan tingkat kemurnian tinggi juga sanggup memperpanjang waktu hidup membran fuel cell dan mencegah pembentukan karbonmonoksida (COx) yang beracun, pada permukaan katalis (Jamal, 2007).
Gambar 8. Skema PEMFC |
Skema citra pada prinsip sel materi bakar ditunjukkan pada Gambar 8. hidrogen sebagai materi bakar yang dikonsumsi pada anoda, menghasilkan elektron yang dialirkan ke katoda melalui rangkaian luar. Ion hidrogen masuk ke larutan elektrolit dan tersebar ke katoda oleh aliran elektroosmotik. Pada katoda, oksigen dikombinasikan dengan elektron dan proton dari aliran elektrolit untuk menghasilkan air dan panas. Ionic liquids fuel cell (ILFs) merupakan sel materi bakar berbasis hidrogen dengan cairan ionik sebagai elektrolitnya, yang berfungsi sebagai media untuk proton (H+) bermigrasi dari anoda menuju ke katoda. Pada penelitian sebelumnya (Souza, 2003) telah melaksanakan penelitian mengenai cairan ionik imidazolium sebagai media penghantar proton dalam sel materi bakar.
Gambar 8. Diagram aplikasi sel materi bakar pada aneka macam bidang. |
Dengan kemajuan yang signifikan, kini sel materi bakar telah diaplikasikan pada aneka macam bidang untuk memenuhi kebutuhan dan fasilitas bagi kehidupan manusia. Diantaranya untuk transportasi air, udara dan bahari serta pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan industri. Serta digunakan dalam aneka macam bidang ibarat industri, kedokteran, transportasi hingga militer.
3.1 Kitosan
Kitosan pertama kali ditemukan oleh ilmuan Perancis, Ojier, pada tahun 1823. Ojier meneliti kitosan hasil ekstrak kerak hewan berkulit keras, ibarat udang, kepiting, dan serangga.
Senyawa kitosan diperoleh dari proses deasetilisasi senyawa kitin. Kitin yakni poliamino sakarida yang cukup banyak terdapat di alam sesudah selulosa, susunan molekulnya ibarat dengan selulosa. Keterbatasan penggunaan kitin disebabkan kitin sukar larut dalam beberapa pereaksi. Oleh lantaran itu kitin banyak digunakan sesudah ditransformasikan dalam bentuk kitosan. Gambar 9. memperlihatkan reaksi transformasi kitin menjadi kitosan.
Gambar 9. Reaksi Transformasi Kitin Menjadi Kitosan. [1] |
Kitosan yang sanggup diperoleh dari deasetilasi kitin merupakan biopolimer yang potensial untuk dijadikan materi dasar membran sel materi bakar (fuel cell membranes). Dikarenakan keunggulan material ini yang bersifat hidrofilik, mempunyai ketahanan mekanik yang tinggi, gampang dimodifikasi secara kimia, ramah lingkungan serta keberadaanya yang melimpah di alam.
3.2 Kitosan Sulfonat
Untuk meningkatkan konduktivitas membran kitosan dan menurunkan permeasi terhadap metanol dalam aplikasi sel materi bakar dilakukan proses sulfonasi terhadap kitosan. Reaksi sulfonasi sanggup diartikan sebagai suatu reaksi subtitusi untuk mengganti atom hidrogen dengan gugus –SO3H pada molekul organik melalui ikatan kimia pada atom karbon. Syarat untuk terjadinya sulfonasi yakni keasaman fasa yang harus dipenuhi, lantaran kalau terjadi perbedaan fasa antara gugus sulfonasi dengan polimer yang akan disulfonasi sanggup mengakibatkan reaksi sulfonasi mengalami kegagalan. Selain itu dalam reaksi ini dibutuhkan suatu pelarut yang mempunyai kelarutan yang baik.
Proses sulfonasi sanggup dilakukan dengan senyawa yang mempunyai gugus sulfonat diantaranya yaitu asam sulfat (H2SO4), oleum, asetil sulfat, dan asam klorosulfonat. Proses sulfonasi pun sanggup dilakukan dengan 2 metode, metode pertama yaitu metode konvensional dan metode yang kedua memakai dukungan gelombang mikro (microwave oven). Hasil karakterisasi penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa membran kitosan sulfonat yang dihasilkan dengan metoda konvensional mempunyai sifat termal dan kapasitas penukar proton yang lebih tinggi dibandingkan membran yang diperoleh dengan dukungan gelombang mikro.
Namun demikian, membran yang dihasilkan dari metoda pertama sangat rapuh. Sebaliknya, membran kitosan tersulfonasi yang diperoleh dari hasil reaksi dengan dukungan gelombang mikro mempunyai kekuatan mekanik yang baik untuk uji permeasi selanjutnya. Data penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa membran kitosan sulfat yang disintesis dengan gelombang mikro mempunyai nilai permeasi terhadap metanol yang lebih rendah dibandingkan dengan membran kitosan tanpa sulfonasi (Velianti, 2008). Gambar 10. memperlihatkan reaksi transformasi kitosan menjadi kitosan sulfonat dengan asam klorosulfonat sebagai biro pensulfonasinya.
Penelitian mengenai sintesis kitosan sulfat dengan dukungan gelombang mikro telah dilakukan sebelumnya (Mansyur, 2009). Gelombang mikro digunakan untuk membantu pemasukan gugus N-sulfo dan O-sulfo pada kitosan. Struktur kitosan sulfonat yang didapatkan dengan gelombang mikro tidak jauh berbeda dengan struktur kitosan. Karakterisasi penelitian yang dilakukan sebelumnya dengan memakai gelombang infra merah menghasilkan spektrum khas yang sama dengan kitosan hanya berbeda serapan pada bilangan gelombang 1382,96 cm-1 yang memperlihatkan vibrasi ulur ikatan –SO2O-O- dan pada serapan 1018,41 cm-1 yang memperlihatkan ikatan C-O-S. Selain itu, puncak gugus C=O yang terdapat pada bilangan gelombang 1658 cm-1 mempunyai kesamaan antara kitosan dan kitosan sulfonat memperlihatkan bahwa rantai polimer tidak mengalami pemutusan ikatan.
3.3 Modifikasi Membran dengan Cairan ionik
Pemodifikasian membran Nafion® dengan cairan ionik 1-etil-3-metilimidazolium (EMI) telah dilakukan oleh Bennett, et al. (2005). Pemodifikasian tersebut dilakukan untuk mengetahui efek cairan ionik pada membran Nafion® dengan cara identifikasi pada nilai konduktivitas membran dan morfologi membran. Pemodifikasian dilakukan dengan cara meredam membran dalam cairan ionik / metanol dengan perbandingan 1:1 (v/v) selama 3 jam pada suhu ruang dan pada suhu 70 oC. Metanol dipilih lantaran sanggup melarutkan cairan ionik dan sifatnya yang gampang menguap. Membran kemudian dikeringkan pada suhu 110 oC selama 3 jam untuk menghilangkan metanol. Dilaporkan pula bahwa proses pemodifikasian membran dengan cairan ionik akan lebih baik pada suhu tinggi, namun penguapan methanol sangat cepat pada suhu 90 oC, sehingga proses pemodifikasian tidak terkendali.
3.4. Cairan Ionik (Ionic Liquids)
Cairan ionik (ionic liquids) yakni suatu senyawa yang hanya mempunyai spesies ionik tanpa adanya molekul netral yaitu hanya terdiri atas kation-anion (Hermanutz, et al., 2006). Dalam arti luas, istilah ini meliputi semua garam cair, misalnya, lelehan natrium klorida pada suhu yang lebih tinggi dari 800 °C. Namun, pada ketika ini, istilah "cairan ionik" digunakan untuk garam dengan titik lebur yang relatif rendah (dibawah 100 °C). Berbeda dengan garam cair (molten salt) yang biasanya mempunyai titik leleh dan viskositas tinggi, juga sangat korosif, cairan ionik umumnya berwujud cair pada suhu kamar, mempunyai viskositas relatif lebih rendah dan relatif tidak mempunyai sifat korosif (Toma, et al., 2000). Dengan demikian, cairan ionik (ILs) hanya digunakan untuk garam dengan titik leleh yang relatif rendah, yaitu terletak pada suhu < 100 - 150 oC (Hagiwara dan Ito, 2000; Hermanutz, et al., 2006), terutama garam yang berbentuk cairan pada suhu kamar lebih dikenal dengan room-temperature ionic liquids (RTILs).
Keuntungan dari sifat yang dimiliki cairan ionik yakni mempunyai rentang cair besar, sekitar 300 °C (-96 hingga lebih dari 200 °C) ; mempunyai kestabilan termal dan elektrokimia yang tinggi; merupakan pelarut yang baik bagi material organik, anorganik maupun polimer; tidak gampang menguap; tidak gampang terbakar; tidak beraroma (bau yang ditimbulkan berasal dari pengotor); memperlihatkan keasaman Bronsted, Lewis, Franklin dan keasaman yang tinggi (Superacidity); sanggup menjadi katalis sekaligus sebagai pelarut; mempunyai sifat selektif yang tinggi terhadap suatu reaksi dan sebagainya (Fitzwater, et al., 2005; Lajunen, 2006; Pitner, 2004).
Sifat dari cairan ionik sanggup diadaptasi dengan mengubah struktur kation dan anionnya (Murugesan dan Linhardt, 2005). Sifat-sifat cairan ionik ibarat kepolaran atau hidrofilisitas/ lipofilisitas yang bisa diatur tergantung dari kation maupun anion yang menyusunnya mengakibatkan cairan ionik dikenal sebagai tailored-made solvents (Gordon, 2003).
Jenis-jenis kation yang sering digunakan sebagai kation cairan ionik diantaranya yakni sebagai berikut (Murugesan dan Linhardt, 2005):
Sedangkan jenis anion yang sering digunakan diantaranya yakni tetraflouroborat [BF4]-, heksaflouroposfat ([PF6]-), heksafluoro antimonat ([SbF6]-), nitrat ([NO3]-), tosilat ([Ots]-), triflat ([Otf]-), bromida (Br-), klorida (Cl-), iodida (I-), triflouroasetat ([CF3CO2]-), perklorat ([ClO4]-), germanium klorida ([GeCl3]-), bis(trifluorometilsulfonil) imida ([NTf2]-), aluminium klorida ([Al2Cl7]-), aluminium tetraklorida ([AlCl4]-), asetat ([CH3CO2]-), dan benzoat ([C6H5CO2]-) (Murugesan dan Linhardt, 2005).
3.4.1 Sintesis Cairan Ionik
Tahapan sintesis dari cairan ionik sanggup dibagi menjadi dua tahap, yaitu: pembentukan kation yang diinginkan dan pergantian anion untuk membentuk produk yang diinginkan. Pada beberapa kasus, produk sanggup eksklusif dihasilkan tanpa melaksanakan tahap kedua ibarat pada pembentukan etilammonium nitrat. Kebanyakan masalah kation yang diinginkan secara komersil tersedia dalam harga yang masuk akal (seperti garam halida, garam tetraalkilammonium dan trialkilsulfonium iodida), yang hanya digunakan untuk reaksi pergantian anion. Reaksi yang digunakan untuk mensintesis cairan ionik meliputi reaksi kuartenerisasi dan reaksi pergantian anion (Gordon, 2003).
3.4.2 Reaksi Kuartenerisasi
Pembentukan kation sanggup dihasilkan melalui protonasi dengan adanya asam bebas atau kuartenerisasi dari amina atau fosfin, biasanya dengan haloalkana. Reaksi protonasi, yang biasa digunakan pada pembentukan garam ibarat etilammonium nitrat, melibatkan penambahan asam nitrat 3 M yang kemudian didinginkan ke dalam larutan etilamin. Kelemahan proses ini yaitu dihasilkannya residu amina yang tidak diharapkan (Gordon, 2003).
Pada prinsipnya, reaksi kuartenerisasi sangatlah sederhana, amin atau fosfin dicampurkan dengan haloalkana yang diinginkan kemudian diaduk dan dipanaskan. Garam halida yang dihasilkan pun sanggup dengan gampang dirubah menjadi garamgaram lain dengan anion yang berbeda (Gordon, 2003).
3.4.3 Reaksi Pergantian Anion
Reaksi pergantian anion sanggup dibagi dalam dua kategori yaitu perlakuan eksklusif dari garam halida dengan asam lewis dan pembentukan cairan ionik melalui reaksi metatesis anion (Gordon, 2003).
3.4.3.1 Reaksi Asam Basa Lewis
Pembentukan cairan ionik dengan proses ini dilakukan dengan perlakuan dari garam halida dengan asam Lewis (biasanya AlCl3). Proses yang umum dilakukan yaitu perlakuan dari kuartener garam halida Q+X- dengan asam Lewis MXn menghasilkan pembentukan lebih dari satu spesi anion yang bergantung dari perbandingan relatif dari Q+X- dan MXn. Pembentukan dari proses ini sanggup dicontohkan dengan etilmetilimdazolium (EMIM) klorida dan AlCl3 seperti reaksi dibawah ini:
[EMIM]+Cl- + AlCl3 → [EMIM]+ [AlCl4]-
[EMIM]+ [AlCl4]- + AlCl3 → [EMIM]+ [Al2Cl7]-
[EMIM]+ [Al2Cl7] -- + AlCl3 → [EMIM]+ [Al3Cl10]–
Metode yang sering digunakan untuk pembentukan cairan ionik dilakukan dengan pencampuran sederhana dari asam Lewis dengan garam halida. Reaksi umumnya eksoterm, ketika menambahkan satu zat ke dalam zat lain haruslah dengan sangat hati-hati. Walaupun garam relatif stabil akan suhu, panas yang terbentuk dari lingkungan sanggup mengakibatkan dekomposisi cairan ionik yang disintesis. Hal ini sanggup dicegah dengan pendinginan selama proses pencampuran, walaupun hal itu dirasakan sangat sulit, atau bisa juga dengan menambahkan suatu zat ke dalam zat lain dengan jumlah yang sedikit demi sedikit. Dekomposisi atau pengurangan jumlah terjadi akhir adanya hidrolisis yang terjadi dalam cairan. Tetapi, hal yang biasa kalau produk yang dihasilkan tidak murni 100% atau tercemar dengan pengotor. Hal itu pun niscaya terjadi pada sintesis cairan ionik, dan pengotor yang biasa mengkontaminasi produk yakni pelarut organik (Gordon, 2003).
3.4.3.2 Reaksi Metatesis Anion
Reaksi metatesis anion biasanya terjadi pada garam-garam yang ditambahkan dengan garam perak (AgNO3, AgNO2, AgBF4, Ag[CO2CH3] dan Ag2SO4) dalam metanol atau larutan metanol. Pada beberapa aplikasi, produk akan berupa cairan pada suhu ruangan. Kombinasi dari anion sanggup menghasilkan perbedaan sifat termal yang berbeda-beda (Gordon, 2003).
3.5. Fatty Imidazolinium sebagai Sistem Kation Baru pada Cairan Ionik
Kation fatty imidazolinium pada Gambar 12(b) mempunyai struktur dan fungsi yang sangat ibarat dengan kation imidazolium Gambar 12(a), berbeda hanya pada gugus substituen pada N3 [dengan adanya gugus amida, -[C(O)(NH)] pada Gambar 12(b) dan adanya ikatan rangkap pada sistem lingkar Gambar 12 (a). Garam fatty imidazolinium ini sanggup disintesis dari asam lemak (Bajpai, dan Tyagi, 2006; Tyagi, et al., 2007), sehingga dimungkinkan untuk mendapat garam ini dari minyak nabati terbarukan lokal.
Gambar 12. Struktur Kation Imidazolium (a) dan Fatty Imidazolinium (b) |
Gambar 13. Struktur Molekul dari (i) Fatty Imidazoline dan (ii) Kation Fatty Imidazolinium |
3.6 Mekanisme Pemanasan dengan Gelombang Mikro
Gelombang mikro merupakan salah satu bentuk energi elektromagnetik dengan panjang gelombang antara 0,01 hingga 1 meter. Gelombang mikro terletak di antara gelombang inframerah dan gelombang radio dan mempunyai frekuensi berkisar antara 0,3 samapai 30 GHz. Untuk penggunaan dalam laboratorium, frekuensi yang sering digunakan yakni 2,45 GHz. Proses pemanasan dalam sintesis organik dengan gelombang mikro melibatkan agitasi molekul polar atau ion yang bergetar dibawah efek medan magnet atau arus listrik yang bergetar. Dalam medan yang bergetar, partikel-pertikel berusaha untuk mengorientasi diri biar menjadi sefasa. Gerakan partikel-partikel dibatasi oleh gaya dalam partikel yang menghasilkan gerakan acak hingga kesudahannya menghasilkan panas.
Respon aneka macam material terhadap radiasi gelombang mikro bermacam-macam dan tidak semua material sanggup mengalami pemanasan oleh gelombang mikro, hanya material yang mengadsorpsi radiasi gelombang mikro saja yang sesuai dengan microwave chemistry.
Material ini dikelompokkan menurut prosedur pemanasannya:
3.6.1. Polarisasi dipolar
Polarisasi dipolar merupakan proses menghasilkan panas oleh molekul polar. Molekul polar yang berada dalam medan elektromagnetik yang berosilasi dengan frekuensi yang sesuai berusaha untuk mengikuti medan dan menjajarkan diri biar sefasa dengan medan. Adanya gaya dalam molekul mengakibatkan molekul polar tidak sanggup mengikuti orientasi medan. Peristiwa tersebut menghasilkan pergerakan partikel acak yang akan menghasilkan panas.
Polarisasi dipolar sanggup menghasilkan panas dengan salah satu atau dua prosedur ini :
a. Interaksi antara molekul pelarut polar, seperti: air, methanol dan etanol
b. Interaksi antara molekul terlarut polar, seperti: ammonia dan asam format
Radiasi gelombang mikro mempunyai frekuensi yang sesuai (0,3-30 GHz) untuk mengosilasi partikel polar dan bernilai cukup besar untuk interaksi intermolekul. Disamping itu, energi foton gelombang mikro sangat rendah (0,037 kkal/mol) relatif terhadap energi yang dibutuhkan untuk memutuskan ikatan molekul (80-120 kkal/mol). Oleh lantaran itu, eksitasi molekul dengan gelombang mikro tidak mensugesti struktur molekul. Interaksi yang terjadi murni kinetik.
3.6.2. Mekanisme konduksi
Panas dihasilkan lantaran adanya resistansi terhadap arus listrik. Medan elektromagnetik yang bergetar menghasilkan getaran electron atau ion dalam konduktor dan menghasilkan arus listrik. Arus yang masuk kedalam tahanan internal akan memanaskan konduktor.
3.6.3. Polarisasi antar muka (Interfacial polaritation)
Mekanisme pemanasan jenis ini merupakan gabungan dari prosedur polarisasi dipolar dan prosedur konduksi. Keuntungan sintesis dengan gelombang mikro ialah laju reaksi meningkat dengan adanya fenomena superboiling. randemen lebih tinggi, pemanasan lebih merata, lebih ramah lingkungan, pemanasan lebih selektif lantaran respon tiap molekul pada radiasi gelombang mikro berbeda-beda.
2.6 Konduktivitas Ionik
Konduktivitas listrik timbul lantaran adanya migrasi elektron atau migrasi ion. Konduktivitas elektronik yakni konduktivitas listrik yang disebabkan migrasi elektron-elektron. Sedangkan konduktivitas ionik yakni konduktifitas yang terjadi lantaran adanya migrasi ion-ion. Konduktivitas ionik bergantung pada jenis ion yang bermigrasi dalam material. Material disebut konduktor anionik kalau ion-ion pembawa muatan negatif yang bermigrasi sedangkan untuk ion-ion pembawa muatan aktual yang bergerak maka material tersebut dinamakan konduktor kationik.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.(2012). Solid Oxide Fuel Cell. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/solid_oxide_fuel_cell. [22 Maret 2012].
Bajpai, Divya dan Tyagi, V. K. (2008). Microwave Synthesis of Cationic Fatty Imidazolines and their Characterization. AOCS.
Bajpai, Divya dan Tyagi, V. K. (2008). Microwave Synthesis of Cationic Fatty Imidazolines and their Characterization. AOCS.
Barsoum, Michel. (1997). Fundamental of Ceramics. Library of Congress in Publication Data: Singapore
Bennet, M. (2005). “Morphological and Electromechanical Characterization of Ionic Liquid / Nafion Polymer Composites”. Virginia Tech.
Cook, Brian. (2001). An Introduction to Fuel Cell and Hydrogen Technology. Canada.
De Guire, Eileen J. (2003). Solid Oxid Fuel Cell. Tersedia: http://www.csa.com/discoveryguides/fuelcell/overview.php. [17 Maret 2012].
Fitzwater, G., Geissler, W., Moulton, R., Plechkova, N.V., Robertson, A., Seddon, K.R., Swindall, J., dan Joo, K.W. (2005) “Ionic Liquids: Source of Innovation”. [Online]. Tersedia : http://quill.qub.ac.uk/source [8 Juli 2010]
Gordon, C. M., (2003)., Synthesis and Purification of Ionic Liquid, Ionic Liquid in Synthesis. P. Wasserscheid dan T. Welton (Eds.), Wiley Verlag, Frankfurt.
Handayani, Sri. (2008). Membran elektrolit berbasis polieter-eter keton tersulfonasi untuk direct methanol fuel cell suhu tinggi. Skripsi Universitas Indonesia (UI) Jakarta: tidak diterbitkan.
Herhady, R.Didiek, R.Sukarsono. (2007). Pengaruh suhu dan waktu sintering terhadap kualitas materi bakar kernel UO2 dalam Furnace jenis Fluidized Bed. ISSN: 0854-2910: Jakarta.
Herliyani, E. 2012. Pengaruh Penambahan Polyvinyl Alcohol (Pva) Terhadap Karakteristik Keramik Ni-Csz Untuk Diaplikasikan Sebagai Anode Pada Sofc. Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia. repository.upi.edu
Hermanutz, F., Meister, F., dan Uerdingen, E. (2006). “A new Developments in the Manufacture of Cellulose fibers with ionic liquids”. Chemical Fibers International. 342-344.
Jamal, E. (2007). “Pembuatan Membran Fuel Cell dari Limbah Plastik LDPE (Low Density Poly-Ethylene)”. Laporan Karya Ilmiah. Institut Teknologi Bandung.
Lajunen, M. (2006). “Green Chemistry for Sustainable Production”. Waste Minimization and Resources Optimization. Department of Chemistry University of Oulu.
Mansyur, Rosida., (2009). “Sintesis Kitosan Sulfonat Sebagai Surfaktan”. Tesis. Institut Teknologi Bandung.
Matula, G, T. Jardiel, R. Jimenez, B. Levenfeld, A.Varez. (2008). Microstructure, mechanical and electrical properties of Ni-YSZ anode supported solid oxide fuel cells. Volume 32. Pages 21-25. Archives of Materials Sciences and Engineering. Madrid, Spanyol.
Mudzakir, A.. 2010. Pengaruh Impregnasi Cairan Ionik Fatty Imidazolinium Terhadap Morfologi Dan Karakter Elektrokimia Membran Polielektrolit Kitosan Sulfonat. Skripsi. Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia. repository.upi.edu
Pitner, W. (2004). “Ionic Liquids : Properties and Applications”. Ionic Liquids Workshop. Royal Society of Chemistry. 1-53.
Rusianto, Toto. (2009). Hot Pressing Metalurgi Serbuk Aluminum dengan Variasi Suhu Pemanasan. Volume 2. Pages 89-95.
Souza, F.R., Padilha, J., Goncalves, R., Dupont, J. (2003). “Room Temperature dialkylimidazolium ionic liquids –based fuel cell” Laboratory of Molecular Catalysis and laboratory of Electrochemistry, Institute of Chemistry, Brazil.
Toma, G., Gotov, B., dan Solcaniova, E. (2000). “Enantioselective Allylic Substitution Catalyzed by Pd0–Ferrocenylphosphine Complexes in [Bmim][PF6] IonicLiquid”, Green Chem. 2, 149.
Velianti., (2008). “Sintesis dan Karakterisasi Membran Kitosan Sulfat untuk Aplikasi Fuel Cell”. Skripsi. Institut Teknologi Bandung.
Souza, F.R., Padilha, J., Goncalves, R., Dupont, J. (2003). “Room Temperature dialkylimidazolium ionic liquids –based fuel cell” Laboratory of Molecular Catalysis and laboratory of Electrochemistry, Institute of Chemistry, Brazil.
Toma, G., Gotov, B., dan Solcaniova, E. (2000). “Enantioselective Allylic Substitution Catalyzed by Pd0–Ferrocenylphosphine Complexes in [Bmim][PF6] IonicLiquid”, Green Chem. 2, 149.
Velianti., (2008). “Sintesis dan Karakterisasi Membran Kitosan Sulfat untuk Aplikasi Fuel Cell”. Skripsi. Institut Teknologi Bandung.
Referensi Lainnya :
[2] http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S014181301100482X
Anda kini sudah mengetahui Sel Bahan Bakar. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
Anda kini sudah mengetahui Sel Bahan Bakar. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
No comments:
Post a Comment