Cyanobakterium Mampu Memproduksi Gula Untuk Bahan Baku Biofuel - Harvard Medical School telah merekayasa genetik cyanobacterium fotosintetik untuk meningkatkan produksi gula. Hal ini sebagai langkah pertama yang menjanjikan untuk memproduksi biofuel pada skala komersial dan sumber karbon lainnya untuk dimanfaatkan di bidang bioteknologi dan industri. Sebagai produsen materi baku, cyanobacteria mempunyai keunggulan dibandingkan tanaman, terutama tumbuhan darat. Mereka membutuhkan sedikit pupuk dan tidak bersaing dengan tumbuhan pangan alasannya yakni mereka sanggup tumbuh pada lahan marginal (tidak subur). Pada skala komersial, cyanobacteria yang direkayasa, berpotensi menghasilkan lima kali lebih banyak gula per hektar dibandingkan tumbuhan tradisional, menyerupai tebu, kata peneliti pertama Daniel Ducat. Penelitian ini diterbitkan pada bulan April di Jurnal Applied and Environmental Microbiology.
“Cyanobakteria merupakan kandidat untuk memproduksi materi baku alasannya yakni kebanyakan spesies air tawar mengakumulasi sukrosa apabila terkena lingkungan asin, “kata Ducat, peneliti postdoctoral di laboratorium Pamela Silver di Harvard Medical School. “Mereka melaksanakan ini untuk mengurangi tekanan osmotik, semoga tidak mengalami dehidrasi” tambahnya. ”Kami mempunyai hipotesis bahwa prosedur pertahanan alami tersebut sanggup dipakai sebagai metode untuk memproduksi gula secara terus-menerus.”
Cyanobacterium (Foto: skywind.wkhc.ac.kr) |
Tetapi untuk mempertahankan produksi gula secara terus menerus, maka perlu prosedur untuk mengeluarkan gula dari sel cyanobakteria ke lingkungan. Mekanisme untuk melaksanakan pertukaran ion dan senyawa kimia di dalam atau di luar sel berafiliasi akrab dengan gradien osmotik di bakteri. Ducat dkk. menentukan sucrose permease, yang dipakai oleh basil lain untuk menngambil sukrosa dari lingkungan. Karena gradien kimia antara sel dan lingkungan sanggup diatur oleh cyanobacteria, “maka kami berhipotesis bahwa sucrose permease ini sanggup juga berfungsi sebagai transporter (pengangkut) untuk mengeluarkan sukrosa dari basil fotosintetik,” kata Ducat.
Hasil penelitian mereka ternyata berjalan dengan lancar. Cyanobakteria mengekspresikan transporter sukrosa untuk mengeluarkan sukrosa dengan laju yang konstan selama sel-sel diterangi. Penerangan berfungsi untuk menyediakan energi bagi proses fotosintesis. Secara kebetulan, laju fotosintesis untuk produksi gula pada cyanobacteria (spesies air tawar Synechococcus memanjang) lebih tinggi dari biasanya. ”Enzim yang terlibat pada pemanenan sinar matahari menawarkan acara lebih tinggi, khususnya pada water-splitting complex (pemisahan air menjadi oksigen, proton dan elektron) di fotosistem II dan bisa memfiksasi karbon dioksida pada tingkat lebih tinggi dibandingkan cyanobakteria yang tidak mengekspor sukrosa ke lingkungan,” kata Ducat.
Selanjutnya, “Kami menemukan bahwa tingkat pengeluaran sukrosa di cyanobakteria tersebut sanggup terjadi alasannya yakni dimodulasi oleh kedua faktor yaitu konsentrasi garam di media budidaya dan susunan genetik dari cyanobakteria,” kata Ducat.
“Hasil kami menyediakan bukti bahwa budidaya cyanobakterial sanggup dipakai untuk memproduksi materi baku bioteknologi dengan efisiensi yang besar,” kata Ducat. Para peneliti juga menawarkan bahwa gula sanggup mendukung pertumbuhan ragi, organisme yang dipakai untuk memproduksi biofuel dan senyawa berharga lainnya. ”Karena itu, gula yang dihasilkan oleh cyanobakteria sanggup dipakai oleh mikroba lainnya secara pribadi ,” kata Ducat. Namun, hal ini hanya berlaku jikalau skala produksinya ditingkatkan (scale-up).
“Salah satu dilema utama di beberapa upaya scale-up sebelumnya yaitu budidaya alga tesebut di ruang terbuka ternyata menciptakan mereka harus bersaing dengan spesies mikroba dan predator alga,” kata Dukat. Solusinya yakni menumbuhkan cyanobacteria di dalam reaktor semi tertutup. Biaya kemudian menjadi masalah, dan tidak ada banyak pola sistem ini yang berskala besar dan murah serta memakai sistem fotobioreaktor secara menyeluruh, “tambahnya.
Tetapi jikalau scale-up sanggup dicapai, efisiensi yang jauh lebih besar dari dari sistem ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan, terutama untuk kolega Ducat di Harvard University , yaitu Michele Holbrook yang merupakan profesor kehutanan. Dalam sebuah artikel di publikasi alumni Harvard University beberapa tahun lalu, Holbrook menjelaskan bahwa fotosintesis berbasis lahan sepertinya sangat tidak mungkin saat kita mengusut angka-angka. Konsentrasi karbon dioksida di atmosfer, 3,8 seratus persen, jauh lebih rendah dibandingkan di air. Tanaman mempunyai kemampuan untuk menahan sejumlah besar udara di dalam daunnya untuk mendapat CO2yang memadai, tetapi permukaan daun yang luas dan dipakai untuk menyerap CO2 tersebut akan kehilangan air dengan cepat. Dengan demikian, sekitar 500 molekul air harus mengalami siklus melalui tumbuhan untuk setiap karbon dioksida yang ditangkap. ”Jika saya mengubah massa badan saya ke daun bunga matahari, saya harus minum dua liter setiap 30 detik, “katanya.
“Hasil penelitian ini menimbulkan pertanyaan ilmiah yang tak terduga”, kata Ducat. Orang akan berpikir bahwa mengeluarkan sukrosa dari sel yang direkayasa ke lingkungan akan menciptakan mereka kurang fit, sehingga kurang produktif dan kurang bisa untuk menghasilkan lebih banyak gula serta biomassa sel. Fakta bahwa mereka sanggup meningkatkan produktivitas secara keseluruhan menawarkan bahwa tipe liar sel spesies ini tidak secara alami memperbaiki karbon secepat mereka mampu. Memahami prosedur di balik ini sanggup membuka jalan untuk memperbaiki efisiensi fotosintesis pada umumnya,” kata Ducat. ”Kami menindaklanjuti prosedur yang cyanobacteria gunakan untuk meregulasi kegiatan fotosintesisnya.
Referensi Jurnal :
D.C. Ducat, et al., 2012. Rerouting carbon flux to enhance photosynthetic productivity. Appl. Environ. Microbiol. 8:2660- (2668.doi: 10.1128/AEM.07901-11
Artikel ini merupakan terjemahan dari materi yang disediakan American Society for Microbiology via phys.org. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
No comments:
Post a Comment