Artikel dan Makalah wacana Kesultanan / Kerajaan Cirebon : Sejarah, Peninggalan, Pendiri, Letak, Peta, Kemunduran, Runtuhnya - Awalnya Cirebon yaitu kawasan kecil di bawah Kerajaan Sunda yang pada masa itu masih menganut Hindu. Ada dua naskah lokal yang menjadi isu wacana riwayat Cirebon ini, yaitu Purwaka Caruban Nagari dan Carita Caruban. Berdasarkan Purwaka Caruban Nagari, pada era ke-15 ada beberapa wilayah yang diberi hak otonomi oleh Kerajaan Galuh Pajajaran. Wilayah tersebut berada di sekitar Pelabuhan Muara Jati, sebuah bandar perdagangan di Cirebon. Pada 1470, tibalah di Pelabuhan Muara Jati (masih termasuk wilayah Caruban Larang) seorang mubalig berjulukan Syarif Hidayatullah, anak Nyi Lara Santang, yang tak lain kemenakan Pangeran Cakrabuana. Sebelum tiba di Cirebon, Hidayatullah singgah di India, Samudera Pasai, Bantam (Banten), dan menetap cukup usang di Ngampel, Jawa Timur, pesantren Sunan Ampel. Berdasarkan mufakat anggota Wali Sanga, Syarif Hidayatullah diutus untuk mengembangkan Islam di Jawa bab barat. Ia kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. (Baca juga : Kerajaan Islam di Indonesia)
Catatan Sejarah :
Menurut Purwaka Caruban Nagari syahdan pada 1418, tibalah ulama berjulukan Syekh Hasanuddin bin Yusuf Sidik di pelabuhan Muara Jati. Ia masih saudara dengan syahbandar di Muara Jati, Ki Gedeng Tapa. Syekh Hasanuddin kemudian pergi ke Karawang dan mendirikan pasantren di Desa Talaga Sari dan menjadi ulama dengan gelar Syekh Quro. Pada tahun 1420, tiba pula seorang ulama dari Baghdad berjulukan Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Idofi. Ia pun bersahabat dengan Ki Gedeng Tapa. Ia kemudian tinggal di Pasambangan, dekat Muara Jati, kemudian mendirikan pasantren dan bergelar Syekh Nurul Jati.
Pada tahun itu pula, puteri Ki Gedeng Tapa yang berjulukan Nyai Subang Larang tiba di Cirebon dari Malaka. Subang Larang kemudian mencar ilmu agama Islam di pesantren Syekh Quro di Karawang. Sepulangnya dari pesantren tahun 1422, ia dinikahi Prabu Siliwangi, Raja Pakuan Pajajaran. Siliwangi merupakan anak Raja Galuh Pajajaran. Karena seruan dari Subang Larang, Prabu Siliwangi pun masuk Islam. Dari perkawinannya dengan Prabu Siliwangi, Nyai Subang Larang mempunyai tiga anak, yakni Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raden Sengara (Kian Santang). Ketiganya kemudian tingal di Galuh sampai Nyai Subang Larang meninggal dunia.
Setahun sesudah ibunya wafat, Walangsungsang dan Lara Santang meninggalkan Galuh dan berdiam di rumah seorang pendeta Buddha, Ki Gedeng Danuwarsih. Di tempat ini, Walangsungsang menikah dengan anak Danuwarsih, berjulukan Nyai Endang Geulis yang penganut Buddha. Setelah itu, bersama adiknya dan istrinya, Walangsungsang mencar ilmu Islam di pesantren Syekh Nurul Jati. Pada waktu di pesantren inilah, Walangsungsang dan Lara Santang pergi ke Mekah. Sementara itu, Nyai Endang Geulis tak ikut lantaran hamil. Di Mekah, Nyai Lara Santang menikah dengan ningrat Arab berjulukan Maulana Sultan Mahmud yang bergelar Syarif Abdullah. Mereka menikah tahun 1447, dan Lara Santang bergelar Syarifah Mudaim. Mereka dikarunia dua anak: Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.
Setelah kembali ke Cirebon tahun 1456, Walangsungsang membangun masjid kecil Jalagrahan dan rumah yang besar (kelak menjadi Keraton Pangkuwati). Ia menjadi akuwu Caruban II menggantikan Ki Danusela (Ki Gedeng Alang-Alang) yang wafat. Ia pun menikahi puteri Ki Danusela yang berjulukan Nyai Retna Riris. Mereka dikarunia anak berjulukan Pangeran Cerbon. Lambat-laut Caruban bertambah luas dan menjadi Nagari Caruban Larang. Walangsungsang kemudian bergelar Pangeran Cakrabuana.
Mengenai riwayat Hidayatullah ini Purwaka Caruban Nagari tak jauh beda dengan naskah Carita Caruban. Menurut Carita Caruban, ada dua tokoh yang dianggap pendiri Kerajaan Cirebon ini. Tokoh pertama yaitu Syarif Hidayat, kelahiran Mekah. Ia merupakan anak tertua dari pasangan Nyai Lara Santang dengan Maulana Sultan Mahmud, seorang anak raja Mesir. Lara Santang sendiri yaitu anak Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran yang naik tahta pada 1482 M. Sekembalinya dari Mekah, Syarif Hidayat menjadi pemuka Islam dan bergelar Sunan Jati. Sebagai cucu Raja Pajajaran, ia diberi kekuasaan di kawasan Caruban atau Cirebon.
Di samping Syarif Hidayat, tokoh yang dianggap pendiri Cirebon yaitu Fadhilah Khan, dikenal juga sebagai Fatahillah. Ia kelahiran Samudera Pasai tahun 1409. Ayahnya berasal dari Gujarat, berjulukan Maulana Makhdar Ibrahim. Setelah dewasa, Fadhilah Khan meninggalkan Aceh, pergi ke Jawa. Di Jawa ia diterima di Kerajaan Demak sebagai panglima pasukan Demak. Ia kemudian dinikahkan dengan puteri Sunan Jati.
Berdasarkan sumber dari Tome Pires, pendiri Cirebon (dan juga Banten) yaitu Faletehan. Menurut sejarawan Husein Djajadiningrat, Faletehan ini yaitu Nurullah yang dikenal dengan nama Syekh Ibnu Maulana, berasal dari Pasai, Aceh. Ketika Samudera Pasai direbut oleh Portugis tahun 1521, Nurullah sedang pergi haji ke Mekah.
Sepulangnya dari Mekah tahun 1524, ia enggan tinggal di Pasai lantaran sudah dikuasai Portugis, kemudian pergi ke Demak. Atas izin raja Demak, ia berhasil mengembangkan Islam di Banten dan kemudian membangun komunitas muslim di sana. Kemudian hari, Banten diserahkan kepada anaknya, Hasanuddin. Nurullah sendiri pergi ke Cirebon dan mendirikan sebuah dinasti di sana.
Berdasarkan riwayat hidupnya, sanggup dipastikan bahwa Nurullah itu yaitu Fadhilah Khan atau Fatahillah dalam Carita Caruban atau Faletehan berdasarkan catatan Tome Pires. Tokoh inilah yang menggantikan kekuasaan Sunan Jati di Cirebon. Jadi, sanggup disimpulkan bahwa pendiri Banten dan Cirebon yang bekerjsama yaitu Nurullah, yang tak lain Fadhilah Khan atau Faletehan atau Fatahillah.
Dari Cirebon, Fatahillah mengembangkan Islam ke Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Khususnya terhadap Banten ia berhasil meletakkan dasar bagi pengembangan agama Islam dan perdagangan di sana. Setelah wafat, ia dimakamkan di samping makam mertuanya, Sunan Gunung Jati.
Setelah Sunan Gunung Jati meninggal, tahta jatuh kepada Panembahan Ratu I. Pada masa pemerintahannya, Cirebon masih berada di bawah kekuasaan Demak. Namun, sesudah Demak runtuh oleh Pajang, Cirebon memerdekakan diri. Kemerdekaan Cirebon ini bahkan berlangsung sampai periode Mataram berkuasa. Guna menjaga hubungan dengan Cirebon, raja Mataram kemudian menikahi puteri Panembahan Ratu I. Selama itu Mataram memandang Cirebon sebagai sentra keagamaan.
Namun, hubungan Cirebon-Mataram berubah semenjak tahun 1628. Ketika itu Cirebon memperlihatkan dukungan kepada Mataram dalam menyerang Batavia yang dikuasai VOC. Setelah gagal mengusir VOC di Batavia, banyak orang Cirebon berpindah ke Banten. Tindakan orang Cirebon ini oleh Sultan Agung Mataram dianggap pengkhianatan terhadap Mataram. Karena selama ini Banten belum mau tunduk kepada Mataram. Banten bahkan membantu rakyat Surabaya ketika berkonflik dengan Mataram pada tahun 1620-1625. Oleh alasannya yaitu itu, Sultan Agung kemudian menyerbu Cirebon, dan semenjak itu Cirebon harus mengirimkan upeti kepada Mataram.
Hubungan Cirebon-Mataram makin runyam ketika Sultan Mataram Amangkurat I mengharuskan Panembahan Ratu II, pengganti Panembahan Ratu I, untuk pindah dari Cirebon dan tinggal di Mataram. Panembahan Ratu II dikenal juga sebagai Panembahan Giri Laya. Sedangkan, pemerintahan Cirebon dijalankan oleh Pangeran Wangsakerta, anak Panembahan Ratu II. Oleh Wangsakerta, Cirebon kemudian dibagi dua menjadi Kasepuhan dan Kanoman.
Ketika di Mataram terjadi pemberontakan Trunojoyo, Amangkurat II meminta dukungan kepada VOC. Sebagai imbalannya, VOC diberi hadiah daerah-daerah pesisir yang dikuasai Mataram. Akibatnya, Cirebon masuk dalam kekuasaan VOC. Sejak itu, VOC berhak membangun benteng, dan Cirebon mau tak mau harus membantu VOC jika berhadapan dengan musuh. Pelabuhan Cirebon pun dimonopoli oleh VOC. Ekspor lada, kayu, gula, serta impor candu diatur oleh VOC.
Pada tahun 1705, Cirebon sepenuhnya diserahkan kepada VOC oleh Sultan Paku Buwono I lantaran VOC telah membantu Paku Buwono I melawan Amangkurat III yang dibantu Untung Surapati. Sejak ketika itu juga, Cirebon bersama Indramayu dan Priangan menjadi karesidenan dan eksklusif di bawah VOC.
Anda kini sudah mengetahui Kerajaan Cirebon. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
Referensi :
Suwito, T. 2009. Sejarah : Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) Kelas XI. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 368.
No comments:
Post a Comment