Artikel dan Makalah wacana Perkembangan Industrialisasi dan Teknologi Di Indonesia Pada Masa Penjajahan / Kolonial - Industrialisasi di Indonesia tumbuh pertama kali di Pulau Jawa. Kegiatan industri di pulau ini relatif berkembang, dan penggunaan uang meluas. Berbagai acara ekonomi dikejar oleh masyarakat yang berubah menjadi aneka suku bangsa.
1. Kegiatan Perdagangan di Jawa pada Masa Kolonial
Abad ke-17 dan sebelumnya, tanah di Jawa sangat subur, penduduknya lebih padat dari kawasan lain dan ekonominya sangat dinamis. Di sebagian besar Indonesia sistem ladang berpindah masih sangat umum sedangkan di Jawa sudah ada budidaya padi dengan sistem pengairan intensif. Ekonomi di Jawa tetap dinamis meski sesudah tamat kurun ke-18 VOC berusaha keras mengendalikannya secara keseluruhan.
Pada awal kurun ke-17 Jawa juga merupakan sentra perdagangan penting di Asia Tenggara. Para pedagang Jawa memasok pangan penting untuk Malaka dan bandar-bandar menyerupai Surabaya, Gresik, dan Banten yang merupakan gudang penting untuk barang-barang menyerupai cengkeh, lada, dan cita (kain tenun dari kapas untuk materi pakaian) India. Perdagangan ini tidak surut meskipun dikendalikan secara drastis oleh VOC. Pada kurun ke-17 dua bandar yaitu Banten dan Batavia berkembang sebagai gudang utama di Jawa. Keduanya bersaing gigih untuk secara penuh menguasai perdagangan antarpulau, meskipun persaingan itu dimenangkan Batavia sesudah serangan militer Belanda ke Banten pada tahun 1682.
Setelah itu, perdagangan tetap penting bagi Jawa. Harus diakui bahwa sebagian besar perdagangan penting tamat kurun ke-18 jatuh ke tangan Belanda dan orang Cina. VOC melarang bahtera Jawa berlayar ke Indonesia Timur dan melarang berdagang barang yang sangat menguntungkan menyerupai rempah, candu, cita India. Walaupun demikian, bahtera Jawa mengangkut beras, garam, kain batik, tembakau, dan beberapa barang dalam jumlah besar ke banyak sekali tempat hingga Patani dan Perak. Pada tamat kurun ke-18 pun, hampir seperlima nakhoda kapal berasal dari Jawa dan jumlah yang sama besar terdiri atas nakhoda penduduk setempat dari pulau Indonesia lain.
Perdagangan luar negeri berkait dengan jaringan dagang di Jawa sendiri. Angkutan terpenting melalui air, alasannya tanah tidak rata sehingga menciptakan sulit angkutan darat. Akibatnya, barang yang diperdagangkan dari Jawa Tengah ke Jawa Barat mula-mula di bawa dibawa ke pantai melalui sungai dan dari sana melalui laut. Sungai utama yang dipakai ialah Sungai Sala dan Brantas. Sebagian besar perniagaan dilakukan atas nama petinggi Jawa. Keluarga istana dan bupati mempekerjakan pedagang profesional, Jawa ataupun Cina.
Pada awal kurun ke-18, misalnya, desa Sala dihuni oleh pedagang yang berniaga sepanjang sungai dan dimodali putra mahkota Mataram. Akhir kurun yang sama, putra dari putra mahkota ini mendirikan keraton di Sala. Di kota bandar menyerupai Semarang, para bupati setempat mempunyai rumah timbang dan gudang yang disewakan kepada pedagang asing. Di samping perdagangan yang dibiayai oleh para elit, banyak perdagangan dilakukan sebagai perjuangan sampingan oleh penduduk nelayan dan petani. Biasanya dilakukan oleh kaum perempuan, terutama di lingkungan setempat, sehingga wanita Madura akan menyeberang selat untuk menjual buah-buahan di pasar Gresik.
2. Perkembangan dalam Bidang Industri
Pada awal kurun ke-17, Jawa mempunyai industri galangan kapal yang luar biasa, bahkan jung besar pun dibentuk di sini. Industri pembuatan kapal tetap penting meski karenanya sebagian diatur oleh Belanda. Untuk industri ini, demikian juga bangunan rumah, diharapkan kayu jati dalam jumlah besar. Demak, Jepara, dan terutama Rembang menjadi industri penggergajian yang besar, yang melibatkan orang Kalang sebagai pekerja. Setelah ditebang, gelondong ditarik oleh kerbau ke sungai terdekat dan dibiarkan hanyut ke pantai. VOC pribadi mengangkut kayu gelondong ini ke Batavia dengan kapal. Di Juwana, Jepara, dan Semarang, orang Cina dan Jawa mendirikan pengolahan kayu dalam sejumlah penggergajian. Dari sini, papan, tong, perabot rumah tangga, dan dayung dikirim ke Batavia dan tempat lain di Indonesia.
Pembuatan kain batik terpusat di keraton Jawa dan kota terdekat menyerupai Banten, Semarang, dan Kudus. Di keraton, kain dibentuk dan dicelup di tempat pembatikan besar milik beberapa istri pejabat dan wanita lain. Di dalam dan sekitar kota Pantai Utara, batik dibentuk oleh wanita petani di rumah mereka, bekerjasama dengan pedagang Cina. Batik Jawa bermutu tinggi dengan harga yang tidak mahal, dibutuhkan dalam jumlah besar oleh penduduk pulau lain di Nusantara.
Pada kurun ke-17 dan ke-18 banyak sekali tumbuhan gres untuk ekspor diperkenalkan di Jawa dengan berhasil. Tanaman utama ialah kopi, tembakau, nila, dan tebu. Dengan pergeseran dari tumbuhan rempah ke tumbuhan gres ini, titik perekonomian ekspor kawasan lebih meningkat di pulau Jawa. Sekitar tahun 1650 sentra penghasil gula tradisional menyerupai Cina Selatan dan Taiwan dilanda perang sipil. Cina-Jawa mengisi celah yang timbul sebagai hasil pembangunan pabrik gula di kawasan sekitar Batavia dan Jepara. Pada awal kurun ke-18 Jawa mempunyai lebih kurang 140 pabrik, menjadikannya penghasil gula tebu terbesar di Asia, yang dijual ke Jepang, Persia, India, dan Belanda. Ribuan pria Jawa dari Jawa Tengah pindah ke kawasan sekitar Batavia untuk bekerja di kebun tebu dan pabrik gula. Adapun, kawasan lain di Jawa mengkhususkan diri dalam pembiakan kerbau yang diharapkan untuk menggerakkan pabrik.
Pada masa modern awal, Jawa dikenal sebagai penghasil padi dalam jumlah besar, sekitar tahun 1800-an diekspor ke pulau lain di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara. Sekitar tahun 1800-an, kedudukan padi sebagai barang ekspor digantikan kopi yang bernilai, dan secara cepat diganti dengan adonan tumbuhan kopi, nila, dan gula. Tanaman perdu yang menghasilkan kopi diperkenalkan Belanda pada tamat kurun ke-17. Pertengahan tahun 1700-an, tumbuhan ini disebar ke Jawa, Sumatera, termasuk pulau lainnya. Sebetulnya tumbuhan ini pertama kali ditanam oleh VOC dan mediator mereka, dengan pandangan untuk memperoleh laba bagi perdagangan ke Eropa.
Pertengahan kurun ke-19 kopi ditanam besar-besaran sebagai tumbuhan menguntungkan bagi pemerintah di bawah derma “tanam paksa”. Sistem ini yang dibentuk tahun 1830-an, memungkinkan pemerintahan jajahan Belanda kurun ke-19 menerima cadangan hasil ekspor melalui kerja paksa rakyat Jawa. Setelah pembatalan sistem ini dilakukan secara “bertahap” (tahun 1860-an dan karenanya dihapus secara keseluruhan pada permulaan kurun ke-20) kopi tetap ditanam oleh sebagian pemegang saham kecil Indonesia dan para pemilik lahan dikelola oleh penjajah Eropa, mempertahankan tempat penting di antara barang ekspor hingga berakhirnya masa penjajahan.
Catatan Sejarah :
Nila merupakan materi pewarna (yang dihasilkan dari proses merendam materi tumbuhan dalam air dan mengolah hasil rendaman tersebut menjadi bentuk lekat atau dikeringkan hingga keras menyerupai sabun) ini mempunyai sejarah yang berbeda. Pada kurun ke-18, nila ditanam untuk pemakaian kawasan setempat di Indonesia. Bahan ini dipakai masyarakat setempat untuk mewarnai materi dan batik. Tetapi, pada tahun 1870-an terjadi suatu jeda yang berlangsung lebih dari seratus tahun lamanya. Namun, sesudah itu terdapat perjuangan menyebarkan nila menjadi barang dagangan berukuran besar, yang diusahakan untuk memperluas pasarannya di pasar dunia. Seragam biru bau tanah pelaut Inggris kurun ke-19, misalnya, warna biru khasnya diperoleh dari celupan nila.
Perluasan hasil nila Indonesia untuk pasar dunia mencapai puncaknya di Jawa di bawah Sistem Tanam Paksa pada pertengahan kurun ke-19. Menjelang tamat kurun ke-19, perdagangan internasional untuk barang ini disaingi oleh pewarna dari materi kimia dari materi kimia buatan Jerman dan negara lain. Sesungguhnya, hasil nila mencapai titik nadir. Pewarna alami ini kembali lagi sebagai pewarna barang kerajinan menyerupai semula dan keberadaannya terus-menerus di bawah bayangan pembiasaan hasil ekspor.
Industri gula tebu di Indonesia pada awal periode modern sangat terbatas hanya di Pulau Jawa yang terdapat tanah vulkanik subur dan buruh siap pakai. Paduan ini, bersama komplotan simpatik dengan pemerintah jajahan Belanda, membawa industri gula Indonesia ke baris depan dalam ekonomi gula dunia menjelang kurun ke-19. Hanya Kuba yang memproduksi dan mengekspor gula tebu lebih dari Jawa. Sejak tahun 1830-an ke atas, (kemudian di sekitar kota Jakarta, tumbuhan lain yang telah digarap semenjak kurun ke-17 diganti tumbuhan tebu) seluruh tanah subur dan kawasan padat penduduk di Jawa Tengah atau Jawa Timur diselimuti oleh jaringan besar dan industri pabrik gula yang meluas. Menjelang tahun 1850-an jumlah pabrik gula sudah mencapai ratusan, dan pada tamat kurun ini jumlahnya hampir dua kali lipat.
Perkembangan tersebut, bagaimanapun, mahal harganya. Pabrik dan terutama pemilik Belanda serta pengelola, menguasai desa di sekitar pabrik dan membentuk sistem perkebunan berdasarkan kehendak mereka dan bukan berdasarkan alam Indonesia. Mungkin gula membawa kesempatan kerja bagi bagi masyarakat pedesaan Indonesia, jumlah pencari kerja bertambah dan lapangan kerja langka di pedesaan. Di pihak lain, bagi pemilik tanah kecil, gula menjadi kesempatan sekaligus ancaman. Dengan dihapusnya Sistem Tanam Paksa, pemilik tanah tidak dipaksa pemerintah menanam tebu untuk pabrik gula. Sebaliknya, pengelola pabrik bergerak dalam perniagaan dengan menyewa tanah petani miskin untuk menanam tebu (di samping mereka juga mengambil alih pengerahan tenaga kerja untuk menanam, memanen, dan mengangkut tebu). Gagasan “kemerdekaan” bagi keberadaan petani pemilik tanah masuk ke dalam susunan pabrik gula, segera terkikis lantaran memuncaknya hutang di pedesaan Jawa kurun ke-19 dan apapun kewenangan “tradisional” tetap dijalankan oleh kepala desa (dan orang lain, menyerupai pemilik tanah luas di pedesaan) yang sering bekerjasama dengan industri gula.
Di bawah keadaan menyerupai ini, terjadi penyimpangan dalam prioritas perkembangan, lantaran pemusatan yang ditujukan pada jatah ekspor yang mudah, menyerupai yang terjadi tahun 1880-an dan terulang tahun 1930-an, menurun dalam pasar dunia. Keadaan “boom dan krisis” (bersekutu dengan kepemilikan internasional Belanda sebelumnya) menunjukan jelek bagi dunia modal pertanian Indonesia jangka panjang menyerupai yang terjadi di Asia, terutama Jepang.
Catatan Sejarah :
Dari ketiga tumbuhan gres untuk pasar dunia tersebut, tebu merupakan tumbuhan paling penting dan menjadi perdebatan. Pada permulaan masa awal modern dan hingga memasuki kurun ke-19, suplemen paling populer di Indonesia dibentuk dari air sadapan pohon aren. Sejak tebu diperkenalkan, gula tebu merupakan industri yang tumbuh menyambut kebutuhan pasar luar negeri (rakyat Indonesia sendiri gres mulai menggunakan gula putih atau gula tebu menjelang pertengahan kurun ke-20 dan karenanya Indonesia menjadi pasar utama barang ini). Pada kurun ke-17 dan ke-18, pemasaran gula tebu ditujukan ke negara Asia, pada kurun ke-19 pasar beralih ke Eropa dan Amerika Utara (tetapi awal kurun ke-20, industri mencapai kembali pasar Asia).
3. Perkembangan dalam Bidang Teknologi
Secara budaya, kurun ke-19 merupakan jembatan ke dunia modern. Pada bab tamat kurun tersebut Indonesia mengalami paduan kental perkembangan ekonomi, urbanisasi, dan revolusi dalam perhubungan. Pada tamat kurun tersebut telah ada forum budaya penting yang akan membawa Indonesia ke modernisasi. Mesin cetak, kapal api, rel kereta, dan telegraf memberi sumbangan perubahan dalam waktu dan ruang yang dicitrakan dan bagaimana citraan ini dikaitkan. Lingkungan kota dengan aneka suku dan kekerabatan tercetak juga mulai mengubah cara seseorang melihat dirinya sendiri dalam masyarakat.
Sebagaimana kemajuan kurun ke-19, tenaga uap menciptakan angkutan baik darat maupun bahari lebih cepat dan lebih teratur. Dengan pembukaan Terusan Suez (1869) berarti bahwa jarak antara Eropa dan tanah suci Islam lebih gampang dicapai. Tahun 1880, Nusantara sibuk dengan kapal-kapal api kecil dan perjalanan kapal api teratur menguasai perjalanan orang Eropa. Tahun 1860-an, rel kereta mulai menggantikan angkutan yang dihela kuda di jalur utama Jawa. Baik kapal api maupun kereta api memungkinkan terwujudnya layanan pos umum yang teratur, dan berjalan dengan perangko pos pra-bayar dan kantor pos di kota besar Jawa tahun 1862. Dalam beberapa dasawarsa, tiba-tiba dimungkinkan bekerjasama jarak jauh dan pergi dengan ketenangan dan kepercayaan lebih besar.
Cakrawala dunia lebih luas, pergerakan fisik lebih besar, dan lingkungan nontradisional kehidupan kota mendukung jenis sastra baru. Yang paling awal ditulis dalam bahasa Melayu oleh Abdullah bin Muhammad al-Misri (1823) dan Abdullah bin Abdul Kadir (1838). Kisah perjalanan merupakan tema lama, namun cerita-cerita ini dimasukkan ke dalam orang pertama, yang mengaitkan sudut pandang orang-orang istimewa, orang-orang kota, dan kaum pinggiran pada masyarakat tradisional. Perluasan pertanian komersial, terutama gula di Jawa, memerlukan prasarana industri pabrik dan rel kereta yang mendukung bandar utara Jawa menyerupai Semarang dan Surabaya. Pertumbuhan cepat sentra perniagaan kota ini, bersama dengan jaringan angkutan pedalaman dan sistem pos, mendukung revolusi besar perhubungan kurun ke-19: kemunculan koran.
Teknologi percetakan pertama tiba ke Hindia tahun 1659, namun gres pada kurun ke-19 sejumlah besar dicetak dalam bahasa Indonesia oleh markas penginjil Protestan di Straits Settlements (1817), Ambon (1819), dan Batavia (1822). Pembacanya terbatas, dan penguasa Belanda yang menyadari ancaman teknologi tersebut tetap menangani secara bebas hingga tahun 1848. Keadaan berubah pada tahun 1855 dengan peluncuran surat kabar mingguan Jawa di Surakarta. Bromartani, dipimpin oleh orang Indo-Eropa, G.F. Winter, memuat gosip keagamaan mengenai kelahiran dan kematian, penjualan dan pelelangan, insiden istana, keputusan, dan ketetapan pemerintah, bersama artikel wacana kemajuan pertanian dan kutipan karya sastra.
Tahun berikutnya, Soerat Kabar Bahasa Melaijoe, yang merupakan perintis banyak surat kabar komersial yang berpusat di bandar Jawa Utara selama sisa kurun tersebut, diluncurkan di Surabaya. Semula perhatiannya pada iklan, harga pasar terbaru, dan informasi perkapalan. Bintang Timor, yang terbit dua kali seminggu di Surabaya tahun 1861, merupakan surat kabar pertama yang memberitakan duduk kasus setempat termasuk keadaan sosial dan ekonomi, memuat “berita dari surat” yang bekerjasama dengan Eropa dan Cina. Jumlah pembaca surat kabar Melayu dan Jawa ini mencerminkan persebaran keberaksaraan dan pendidikan gaya Barat yang terbatas, sebagian besar masyarakat kota, terutama orang Cina dan priyayi bergaji. Pada dasawarsa pertama, surat kabar dicetak oleh orang Indo-Eropa, dengan orang Cina yang tiba menguasai kepemilikan tahun 1880-an, dan kepemilikan pribumi menjadi sangat berarti gres kurun ke-20.
Dari semua imbas yang ditimbulkan oleh industrialisasi terhadap bangsa Indonesia pada masa kolonial, ada sisi nyata yang sanggup kita ambil manfaatnya. Pada masa itu, Indonesia mengalami paduan kental perkembangan ekonomi, urbanisasi, dan revolusi dalam perhubungan. Seperti telah dijelaskan di atas, hadirnya mesin cetak, kapal api, rel kereta, dan telegraf memberi laba terhadap bangsa Indonesia.
Dalam bidang perhubungan, misalnya, hadirnya tenaga uap menciptakan transportasi darat dan bahari lebih cepat dan teratur. Masyarakat Indonesia sanggup melaksanakan perjalanan jarak jauh dengan ketenangan dan kepercayaan lebih besar. Di bidang lain, hadirnya kapal api maupun kereta api memungkinkan terwujudnya layanan pos umum yang teratur, dan berjalan dengan perangko pos prabayar dan kantor pos di kota besar Jawa tahun 1862. Semua itu merupakan imbas nyata dari industrialisasi pada masa kolonial yang sanggup kita pelihara dan kita lanjutkan keberlangsungannya.
Anda kini sudah mengetahui Perkembangan Industrialisasi dan Teknologi Di Indonesia Pada Masa Penjajahan. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
Referensi :
Suwito, T. 2009. Sejarah : Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) Kelas XI. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 368.
No comments:
Post a Comment