Artikel dan Makalah perihal Wayang, Cerita, Nama, Gambar, Pengertian, Jenis, Tokoh, Sejarah, Kebudayaan, Pertunjukan - Budaya wayang diperkirakan telah hidup pada masa prasejarah. Budaya mana pun ternyata mempunyai seni pertunjukan wayang masing-masing. Di Asia Tenggara aksara wayang mempunyai banyak kesamaan, dalam bentuk, motif, hiasan, dan cara dipegang oleh dalang. Pada mulanya, zaman prasejarah, pertunjukan wayang merupakan seni rakyat dan ditujukan untuk menghormati roh leluhur. Kemudian pada masa Hindu-Budha, kesenian wayang mulai digemari oleh kaum aristokrat dan raja. Jadilah, wayang pun menjadi seni keraton yang mengenal bahasa “halus”, untuk membedakan dengan bahasa rakyat yang “kasar”. (Baca juga : Pengaruh Hindu Budha)
Gambar 1. Semar. (Wikipedia Commons) |
Dalang yaitu orang yang memperagakan adegan wayang, menciptakan obrolan percakapan antarwayang, menjadi pencerita (narator), sekaligus memimpin orkestra (gamelan) yang dimainkan para nayaga (pemain alat musik yang seluruhnya pria) dan dinyanyikan oleh sinden (biasanya perempuan). Kisah-kisah yang dipentaskan biasanya diambil dari kakawin Mahabharata atau Ramayana. Dengan demikian, alur dan ceritanya pun banyak ditambah dan diperbaharui. Misalnya, adanya tokoh punakawan menyerupai Semar.
Semar, berdasarkan Frans Magnis Suseno, ditengarai merupakan yang kuasa atau orang Indonesia asli. Menurut dongeng wayang purwa buatan para dalang dan pujangga, Semar ini berjulukan orisinil Hyang Ismaya anak Hyang Tunggal yang sulung yang ditugasi Hyang Wenang untuk mengabdi kepada para ksatria yang baik budi. Adiknya, Hyang Mahapunggung atau Togog, ditugasi mengayomi para ksatria bertabiat buruk. Sedangkan adiknya yang satu lagi, Hyang Manikmaya atau Batara Guru, ditugasi bertakhta di Kahyangan Jonggring Salaka (swarga). Semar turun ke bumi dan bermetamorfosis menjadi seorang ketua desa berjulukan Janggan Smarasanta yang beristrikan Dewi Kanestren. Semar, berdasarkan tradisi Jawa, mempunyai tiga orang anak: Gareng, Petruk, Bagong. Bagong ini tercipta dari bayangan Semar, sementara Petruk dan gareng dari perkawinannya dengan sang istri. Di kawasan Sunda, Bagong disebut Cepot atau Astrajingga dan merupakan anak sulung, sementara Gareng menjadi anak bungsu. Semar mempunyai nama Badra yang berarti cahaya bulan purnama, atau Badranaya yang berarti cahaya cinta kasih, atau Jnanabadra. Di Bali ia disebut Twalan atau Tualen. Ia dilambangkan pembawa bunyi rakyat, bahkan jika murka maka tak seorang pun bisa mengalahkannya, termasuk para yang kuasa sekalipun. (Sumber: Ensiklopedi Nasional Indonesia)
Semar, berdasarkan Frans Magnis Suseno, ditengarai merupakan yang kuasa atau orang Indonesia asli. Menurut dongeng wayang purwa buatan para dalang dan pujangga, Semar ini berjulukan orisinil Hyang Ismaya anak Hyang Tunggal yang sulung yang ditugasi Hyang Wenang untuk mengabdi kepada para ksatria yang baik budi. Adiknya, Hyang Mahapunggung atau Togog, ditugasi mengayomi para ksatria bertabiat buruk. Sedangkan adiknya yang satu lagi, Hyang Manikmaya atau Batara Guru, ditugasi bertakhta di Kahyangan Jonggring Salaka (swarga). Semar turun ke bumi dan bermetamorfosis menjadi seorang ketua desa berjulukan Janggan Smarasanta yang beristrikan Dewi Kanestren. Semar, berdasarkan tradisi Jawa, mempunyai tiga orang anak: Gareng, Petruk, Bagong. Bagong ini tercipta dari bayangan Semar, sementara Petruk dan gareng dari perkawinannya dengan sang istri. Di kawasan Sunda, Bagong disebut Cepot atau Astrajingga dan merupakan anak sulung, sementara Gareng menjadi anak bungsu. Semar mempunyai nama Badra yang berarti cahaya bulan purnama, atau Badranaya yang berarti cahaya cinta kasih, atau Jnanabadra. Di Bali ia disebut Twalan atau Tualen. Ia dilambangkan pembawa bunyi rakyat, bahkan jika murka maka tak seorang pun bisa mengalahkannya, termasuk para yang kuasa sekalipun. (Sumber: Ensiklopedi Nasional Indonesia)
Anda kini sudah mengetahui Wayang. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
Referensi :
Suwito, T. 2009. Sejarah : Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) Kelas XI. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 368.
No comments:
Post a Comment