Monday, November 25, 2019

Pintar Pelajaran Kesultanan / Kerajaan Bima : Sejarah, Peninggalan, Pendiri, Letak, Peta, Kemunduran, Runtuhnya

Artikel dan Makalah wacana Kesultanan / Kerajaan Bima : Sejarah, Peninggalan, Pendiri, Letak, Peta, Kemunduran, Runtuhnya - Mulanya, Bima merupakan kerajaan yang dipengaruhi Hindu Budha yang bercampur dengan kebudayaan asli. Sebelum Islam datang, penduduknya mempercayai arwah-arwah lelulur mereka sebagai penjaga kehidupan. Pada awal era ke-17, barulah pedoman Islam masuk ke Bima, yang terletak di bab timur Pulau Sumbawa. Tepatnya pada tahun 1620, raja Bima yang berjulukan La Ka’i memeluk Islam dan namanya berganti menjadi Abdul Kahir. (Baca juga : Kerajaan Islam di Indonesia)

Sesungguhnya, pedoman Islam telah masuk ke tempat Sumbawa semenjak era ke16. Persebaran Islam di wilayah ini terbagi dalam dua gelombang. Gelombang pertama sekitar tahun 1540-1550 oleh para mubalig dan pedagang dari Demak. Sementara, gelombang kedua terjadi pada 1620 oleh orang-orang Sulawesi. Pada gelombang kedua inilah Raja Bima, La Ka’i, tertarik untuk menjadi muslim.

Sejak penguasanya masuk Islam, Bima berubah menjadi menjadi sentra penyebaran Islam di wilayah timur Nusantara. Para ulama yang berdakwah sebagian diangkat menjadi penasihat Sultan dan berperan besar dalam memilih kebijakan Kerajaan. Banyak ulama termasyur yang tiba ke Bima ini. Ada Syekh Umar al-Bantani dari Banten yang berasal dari Arab, Datuk Di Bandang dari Minangkabau, Datuk Di Tiro dari Aceh, Kadi Jalaluddin serta Syekh Umar Bamahsun dari Arab.

Di bab barat dan timur pelabuhan Bima telah terdapat perkampungan orang Melayu. Perkampungan ini menjadi sentra pengajaran Islam. Sultan Bima begitu menghormati orang-orang Melayu dan menganggap mereka saudara. Mereka bahkan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Ulama dan penghulu Melayu menerima hak istimewa untuk mengatur perkampungan mereka sesuai dengan aturan Islam. Dengan demikian, dengan gampang bahasa Melayu menyebar di Bima dan sekitarnya.

Wilayah kekuasaan Kerajaan Bima mencakup Pulau Flores, Timor, Solor, Sumba, dan Sawu. Pada waktu itu, Bima merupakan salah satu bandar utama. Para pedagang yang pergi dari Malaka ke Maluku, atau sebaliknya, niscaya melewati perairan Sumbawa.

Untuk meningkatkan perdagangannya, Bima mengadakan relasi dengan kerajaan-kerajaan lain yang berdekatan. Salah satunya dengan Kerajaan Goa. Datuk Di Bandang dan Datuk Di Tiro ialah ulama yang tiba ke Sumbawa atas pertolongan Goa. Hubungan dua kerajaan ini dipererat dengan janji nikah antara keluarga kedua kerajaan.

Kerajaan Bima terbukti telah membantu pihak Goa dalam menghadapi Belanda. Ketika Goa menandatangani Perjanjian Bongaya tahun 1667 dengan pihak Belanda, Bima pun dipaksa untuk ikut menandatangani perjanjian tersebut. Ketika itu Sultan Bima menolak. Namun, dua tahun kemudian, 1669, Kerajaan Bima alhasil harus mengakui kekuasaan Belanda. Perjanjian tenang pun dilaksanakan. Sejak itulah bangsa Belanda ikut serta dalam urusan dalam negeri Bima.

Pada tahun 1906, penguasa Bima, Sultan Ibrahim, dipaksa menandatangani kontrak politik yang bertujuan menghapus kedaulatan Kerajaan Bima oleh Belanda. Isi perjanjian ini antara lain: Bima mengakui daerahnya menjadi bab dari kekuasaan Hindia Belanda, Sultan tidak boleh mengadakan kerjasama dengan bangsa Eropa lain. Selain itu, Bima harus membantu Belanda jikalau sedang berperang dan Sultan dihentikan menyerahkan kekuasaannya selain kepada Belanda.

Pada masa pemerintahan sultan terakhir, Muhammad Salahuddin (1915-1951), pendidikan agama Islam mengalami perkembangan yang pesat. Sultan Muhammad memperbanyak sarana peribadahan dan pendidikan, menyerupai masjid dan madrasah.

Kerajaan Bima berakhir pada tahun 1951 alasannya ialah Sultan Muhammad Salahuddin meninggal dunia. Di samping itu, sebelumnya Bima telah mengakui kedaulatan Republik Indonesia dan menjadi bagiannya. Kini Bima menjadi wilayah kabupaten, berada dalam Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Anda kini sudah mengetahui Kerajaan Bima. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Referensi :

Suwito, T. 2009. Sejarah : Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) Kelas XI. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 368.

No comments:

Post a Comment