Protalix’s Elelyso, Obat Biologis Pertama Yang Diproduksi Di Sel Tumbuhan - Setelah menunggu sekian lama, hasilnya obat yang dibentuk selama hampir satu dekade oleh Ari Zimran, mendapat persetujuan dari Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan Amerika Serikat.
Zimran merupakan kepala klinik Gaucher di Jerusalem dan anggota Dewan Penasehat Ilmiah di Protalix Biotherapeutics, yaitu perusahaan bioteknologi kecil di Carmiel, Israel. Persetujuan dari FDA tersebut tidak hanya menciptakan Zimran gembira, namun tentunya seluruh andal bioteknologi di dunia akan merayakan keberhasilan ini, lantaran obat yang dibentuk oleh Zimran tersebut yakni Protalix’s Elelyso (taliglucerase alfa), yaitu obat biologis pertama bagi insan yang diproduksi di dalam sel tumbuhan yang dimodifikasi.
“Peristiwa ini merupakan hari besar bagi bidang farmasi yang dibentuk dari tumbuhan,” kata Scott Deeter, Presiden Ventria Bioscience, perusahaan bioteknologi di Fort Collins, Colorado. “Hal ini memperlihatkan kemenangan innovator atas status quo-nya dan ini sangatlah penting.”
Teknologi yang dikembangkan oleh perusahaan biotek Protalix Biotherapeutics telah memungkinkan untuk memproduksi obat di dalam sel tumbuhan (Credit: PROTALIX BIOTHERAPEUTICS) |
Obat-obatan yang berbasis molekul biologis besar atau biasa disebut obat biologis, telah diproduksi di dalam sel hewan, yeast (ragi) dan basil melalui rekayasa genetika selama lebih dari dua decade. Insulin merupakan salah satu produk obat biologis yang dibentuk melalui basil Escherichia coli yang dimodifikasi secara genetik. Produksi insulin dimulai semenjak tahun 1982 dan pada tahun 2010, pasar globalnya mencapai 149 juta dolar Amerika.
Sejak awal tahun 1990-an, beberapa peneliti telah mulai menyebarkan tumbuhan yang sanggup berfungsi sebagai pabrik untuk obat biologis. Kultur sel tumbuhan juga menjadi perhatian lantaran tidak terlalu rumit dibandingkan sel hewan. Namun, perjuangan untuk mengeksploitasi tumbuhan dengan cara tersebut terhambat, lantaran perusahaan dan investor khawatir terhadap metode produksi yang tidak biasa ini.
Protalix mempunyai taktik pengembangan obat biologis dengan cara menarget penyakit keturunan yang langka mirip penyakit Gaucher, lantaran tidak ada cara yang gampang dan murah untuk mengobati penyakit ini. Penyakit ini disebabkan oleh kerusakan enzim sehingga terjadi akumulasi lemak di sel dan organ sehingga menyebabkan tanda-tanda kerusakan tulang sampai anemia. Saat ini telah ada obat untuk mengatasi kekurangan enzim, namun biayanya sangat mahal yaitu mencapai 300.000 dolar Amerika per tahun di Amerika Serikat. Selain itu, ketersediaan obat ini terbatas.
Secara structural, Protalix’s Elelyso mirip salah satu jenis obat yaitu Crezyme, obat yang dibentuk di Cambridge, Massachusetts. Cerezyme diproduksi di sel hamster (sejenis binatang pengerat mirip tikus kecil) yang dimodifikasi. Untuk memproduksinya diharapkan pengaturan suhu, medium yang kompleks dan lingkungan yang bebas virus lantaran virus yang menginfeksi hamster dan insan biasanya sama. Faktor inilah yang menjadi problem bagi Genzyme pada tahun-tahun terakhir ini sehingga ketersediaan Cerezyme menjadi terbatas.
Elelyso (berbentuk cairan) dibentuk dari gen insan yang tidak terinfeksi penyakit Gaucher. Gen ini dimasukkan ke sel wortel melalui rekayasa genetik. Produksi Protalix di sel worket lebih berpengaruh dibandingkan di sel hamster. Selanjutnya wortel tersebut diekstrak enzimnya. “Biaya produksi yang rendah akan menciptakan perusahaan untuk menjual Elelyso hanya berharga 75 % dari harga Cerezyme, dimana Cerezyme merupakan obat paling popular di pasaran,” kata David Aviezer, Presiden Protalix.
Charles Arntzen, andal bioteknologi tumbuhan dari Arizona State University, Tempe, menyampaikan bahwa disetujuinya peredaran Elelyso menjadi sinyal positif bagi investor dan perusahaan bahwa obat-obatan yang dibentuk memakai tumbuhan merupakan investasi yang berharga. Saat memulai penelitian vaksin yang dibentuk dari tumbuhan pada tahun 1991, beliau tidak sanggup memperkirakan berapa usang teknologi mirip itu akan berkembang. Dia hanya berharap perusahaan dan FDA mau menyetujui teknik tersebut dan mempercepat peredaran obat yang murah ke pasaran.
“Kebanyakan dari kita berpikir bahwa biaya produksi merupakan hal penting dan penghalang dalam pembuatan produk baru. Namun kenyataanya, kendala regulasi dan biaya percobaan klinis-lah yang tolong-menolong menjadi penghalangnya. Perusahaan farmasi besar tidak ingin mengambil jalan ini lantaran mereka tahu bahwa selalu ada resiko untuk mencoba sesuatu yang baru,” kata Arntzen.
Bagi perusahaan yang akan mencoba untuk memproduksi obat dari tumbuhan namun bukan pada kultur selnya, maka Aviezer memperingatkan bahwa persetujuan terhadap ELelyso tidak sanggup dijadikan pedoman untuk melaksanakan hal tersebut. Namun, peneliti lainnya optimis bahwa meskipun tidak memakai kultur sel tanaman, obat sanggup diproduksi dari tumbuhan. “Meskipun teknologi Protalix tidak memakai seluruh kepingan tumbuhan, namun tidak berarti bahwa protein hanya sanggup dibentuk dari kultur sel tumbuhan saja,” kata andal imunologi molekuler, Julian Ma dari St George’s, University, London, yang juga menjabat sebagai koordinator ilmiah untuk Pharma-Planta, yaitu konsorsium yang menyebarkan farmasi memakai tumbuhan untuk pengobatan mirip HIV.
Nathalie Charland dari Canadian biotech company Medicago di Quebec City, yang menyebarkan vaksin yang diproduksi di tumbuhan tomat, juga memperlihatkan apreasiasi terhadap persetujuan FDA terhadap Elelyso. Dia berkata, “Saya tidak berpikir akan ada perbedaan perlakuan dari FDA terhadap produk dari kami dan produk dari Protalyx.”
Nature 485, 160 (10 May 2012) doi:10.1038/485160a
Artikel ini merupakan terjemahan dari bahan yang disediakan oleh Nature. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
No comments:
Post a Comment