Sosiologi Terapan, Penerapan Sosiologi dalam Masyarakat, Keluarga, Kelompok Bermain dan Pendidik, Tinjauan Masalah di Indonesia - Dalam potongan ini, Anda akan mempelajari perihal bagaimana menerapkan pengetahuan sosiologi dalam kehidupan masyarakat. Dengan memahaminya, diharapkan Anda bisa menerapkan pengetahuan sosiologi, terutama untuk memecahkan segala permasalahan yang akan Anda hadapi dalam kehidupan bermasyarakat. Jika bisa menjadi anggota masyarakat yang baik dan menaati nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat, orang akan bisa menahan diri dari sikap-sikap yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku. Untuk itu, pada bahasan ini lebih diarahkan pada bagaimana tinjauan sosiologi mengenai lingkungan sosial yang dihadapi sehari-hari, serta masalah-masalah lain dalam skala yang lebih luas.
Gambar 1. Peta Konsep Sosiologi Terapan. |
A. Sosiologi Terapan
Disiplin ilmu yang tidak berupaya untuk menuntaskan masalah-masalah sosial disebut dengan teori yang bebas nilai. Menurut Lincoln dan Guba, disiplin ilmu yang bebas nilai sudah usang ditinggalkan orang. Tidak ada disiplin ilmu yang bekerja dalam suasana value and moral free. Selama ilmu itu dikembangkan dan terjadi dalam masyarakat manusia, tidak mungkin ilmu bebas dari orang yang mengembangkannya. Sebagai manusia, orang yang mengembangkan nya tidak mungkin melepaskan diri dari nilai dan moral yang berlaku dalam masyarakat. Apalagi sosiologi sebagai salah satu dari disiplin ilmu-ilmu sosial yang bekerjasama dengan nilai dan moral yang berlaku pada seseorang dan masyarakat sebagai objek kajiannya, keterkaitan nya dengan nilai dan moral sangat kuat.
Peranan sosiologi sangat diharapkan, terutama dalam menghadapi masalah-masalah sosial yang sering muncul kini ini di Indonesia. Misalnya, banyak pembangunan yang sudah dilakukan pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat kurang berhasil lantaran tidak memerhatikan latar belakang dan kondisi sosialnya. Munculnya konflik antar kampung atau perpecahan di daerah, dari yang dilatarbelakangi oleh hal-hal sepele hingga kontradiksi lantaran perbedaan suku, agama, dan ras merupakan akhir dari kurangnya korelasi dan interaksi sosial. Dengan demikian, hal tersebut sanggup memicu terjadinya disintegrasi bangsa.
Selain itu, banyaknya tindakan di luar aturan nilai dan norma akhir kurangnya pemahaman dan kesadaran terhadap unsur-unsur nilai dan norma pada masyarakat. Menerapkan pengetahuan sosiologi, terutama dalam kehidupan masyarakat di Indonesia yang beragam sudah menjadi hal yang penting dan mendesak. Hal ini mengingat banyak munculnya masalah-masalah sosial akhir-akhir ini.
Sejak awal telah dikemukakan bahwa dilihat dari hakikat keilmuan dan kriteria yang dimiliki, sosiologi merupakan ilmu murni (pure science). Sebagaimana berdasarkan Bertrand, suatu ilmu pengetahuan yang bersifat murni berarti terlepas dari kegunaan simpel secara langsung. Kecenderungan ini dinilainya sebagai perjuangan untuk menghindarkan penyelewengan ilmiah yang bisa terjadi apabila ilmu-ilmu itu digunakan oleh seseorang untuk mempelajari pemecahan-pemecahan persoalan praktis, menyerupai masalah-masalah sosial. Walaupun demikian, bukan berarti sosiologi tidak sanggup menyumbangkan ilmunya untuk kepentingan masyarakat.
Lahirnya sosiologi sebagai ilmu pengetahuan berdasarkan Comte justru diarahkan untuk meneliti gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang muncul ketika itu. Bahkan di awal perkembangannya, banyak kesan yang muncul bahwa sosiologi merupakan ilmu yang abstrak. Sosiologi sebagai ilmu yang mengkaji sikap insan dalam kehidupan bermasyarakat mempunyai pokok-pokok (intisari) keilmuan yang dikhususkan pada aspek struktur sosial (meliputi kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial, dan lapisan-lapisan sosial), dan dinamika sosial. Hal ini meliputi proses sosial dan perubahan-perubahan sosial. Adapun proses sosial diartikan sebagai dampak timbal balik antara aneka macam segi kehidupan bersama. Pokok-pokok keilmuan tersebut merupakan pengetahuan simpel yang sanggup diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Menerapkan pengetahuan sosiologi dalam kehidupan bermasyarakat berarti didasarkan pada korelasi antar manusia, korelasi antarkelompok, serta korelasi antara insan dan kelompok, di dalam proses kehidupan bermasyarakat.
Di dalam pola hubungan-hubungan tersebut, yang lazim disebut interaksi sosial, terdapat korelasi saling memengaruhi sehingga terbentuklah kepribadian-kepribadian tertentu sebagai akibatnya. Proses saling menghipnotis melibatkan unsur-unsur yang baik dan benar, serta unsur-unsur lain yang dianggap salah dan buruk, yang lazim disebut kaidah-kaidah sosial (nilai dan norma sosial).
Unsur-unsur mana yang lebih kuat biasanya bergantung pada mentalitas individu yang menerima. Artinya, hingga sejauh mana individu tersebut bisa menyaring unsur-unsur luar yang diterimanya melalui proses sosialisasi.
Sosialisasi tersebut merupakan suatu kegiatan yang bertujuan semoga individu yang dididik atau diajak mau mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dan dianut oleh masyarakat. Tujuan pokok adanya sosialisasi tersebut bukanlah semata-mata semoga kaidah-kaidah dan nilai-nilai diketahui serta dimengerti. Tujuan akhirnya yaitu semoga insan bisa bersikap dan berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku serta semoga seseorang bisa menghargainya.
Di dalam proses sosialisasi, khususnya yang tertuju pada anak dan remaja, terdapat aneka macam pihak yang mungkin berperan. Pihak-pihak tersebut sanggup dinamakan sebagai lingkungan-lingkungan sosial tertentu dan pribadi-pribadi tertentu. Tinjauan sosiologis lebih memusatkan perhatian pada lingkungan ini, yang mempunyai peranan kasatmata atau sesungguhnya dalam pembentukan pola sikap (tindakan sosial) anak dan remaja, tanpa mengabaikan peranan pribadi-pribadi yang tidak tidak mungkin mempunyai dampak yang lebih besar.
Lingkungan-lingkungan yang dimaksud adalah:
- keluarga,
- kelompok sepermainan, dan
- kelompok pendidik (sekolah).
Lingkungan tersebut hanya sebagai lingkungan pokok dalam menerapkan pengetahuan sosiologi, yang sangat lebih banyak didominasi dalam menghipnotis pembentukan kepribadian dan pola sikap anak atau remaja. Tentunya lingkungan-lingkungan tersebut juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang lebih besar, contohnya lingkungan tetangga, lingkungan bekerja, lingkungan organisasi, lingkungan masyarakat, dan bagian-bagiannya, bahkan negara sebagai lingkungan sosial-ekonomi-politik. Dengan demikian, pengaruh-pengaruh tersebut menjadi kajian sosiologi atau dijadikan referensi sebagai teori yang lahir lantaran kondisi objektif di masyarakat perlu ditinjau kembali untuk diterapkan dalam masyarakat. Sosiologi tidak hanya diketahui dan dipahami sebagai potret ilmu sosial, namun bagaimana kemudian dari potret tersebut bisa ditemukan keadaan yang sebenarnya.
Contoh Soal (UAS Sekolah Menengan Atas IPS 2002) :
Ketika Ani dan Tia ke rumahTini, mereka diterima di ruang belajarnya. Karena gembira, mereka tertawa terbahak-bahak sambil menyalakan radio dengan kencang, Ibu Tini menegurnya. Ani dan Tia sadar bahwa Tini serta keluarganya tidak mempunyai kebiasaan menyerupai itu. Dalam hal ini, Tini berada dalam proses tahap sosialisasi, yaitu ....
a. meniru
b. siap berinteraksi atau bertindak
c. penerimaan norma kolektif
d. mencontoh kebiasaan
e. menyadari kesalahan
Jawaban: c
Dalam melaksanakan kebiasaan dan tradisi, setiap keluarga dan masyarakat mempunyai cara yang berbeda-beda. Agar sanggup mencegah timbulnya kesalahpahaman, perlu ditaatinya norma kolektif di masyarakat.
B. Penerapan Sosiologi dalam Keluarga
Di dalam keadaan normal, lingkungan pertama yang bekerjasama dengan anak yaitu keluarganya, yang bisa terdiri atas orangtuanya, saudara-saudaranya yang lebih tua, serta mungkin kerabat dekatnya yang tinggal serumah. Melalui lingkungan inilah si anak mengenal dunia sekitarnya dan pola pergaulan hidup yang berlaku sehari-hari. Melalui lingkungan ini juga si anak mengalami proses sosialisasi awal. Orangtua, saudara, ataupun kerabat terdekat lazimnya mencurahkan perhatiannya untuk mendidik anak supaya anak memperoleh dasar-dasar pola pergaulan hidup yang benar dan baik melalui penanaman disiplin dan kebebasan serta penyerasiannya terhadap nilai-nilai dan norma.
Pada ketika ini, orangtua, saudara, ataupun kerabat (secara sadar atau setengah sadar) melaksanakan sosialisasi yang biasa diterapkan melalui kasih sayang. Atas dasar kasih sayang itu, anak dididik untuk mengenal nilai-nilai tertentu, menyerupai nilai ketertiban dan ketenteraman, nilai kebendaan dan keakhlakan, nilai kelestarian dan kebaruan, dan seterusnya.
Pada nilai ketertiban dan ketenteraman ditanamkan sikap disiplin dan sikap bebas yang senantiasa harus diserasikan. Misalnya, si anak yang lapar boleh makan dan minum hingga kenyang, tetapi pada waktu-waktu tertentu; anak boleh bermain sepuas-puasnya, tetapi beliau harus berhenti bermain apabila waktu makan telah tiba. Menerapkan nilai kebendaan dan nilai keakhlakan serta penyerasian pada anak, misalnya, sanggup ditanamkan dengan jalan membelikan mainan yang diinginkannya, tetapi mainan itu harus dipelihara baik-baik semoga tidak cepat rusak. Kalau mainan itu dirusaknya, orangtua harus sanggup menahan diri untuk membelikannya segera mainan yang baru. Melalui cara-cara itu pula, nilai kelestarian dan kebaruan sanggup ditanamkan melalui sikap teladan yang sederhana. Contoh lainnya, si anak dibelikan masakan kesukaannya, tetapi beliau harus mengembangkan dengan teman-teman atau saudaranya.
Apabila usia anak meningkat remaja, penanaman nilai-nilai tersebut harus tetap dipertahankan. Akan tetapi, hal tersebut diterapkan dengan cara-cara yang lain sesuai dengan pertumbuhan jiwa remaja tersebut. Apabila caranya tidak disesuaikan, yang terjadi bukan penerapan nilai, malah sebaliknya merupakan pemaksaan terhadap kebebasannya yang akan memunculkan penolakan-penolakan.
Seorang anak remaja pada umumnya tidak mau diperlakukan menyerupai anak kecil oleh orangtuanya lantaran hal itu akan menjadi olokan dan cemoohan teman-temannya. Akibatnya, perkembangan jiwa anak akan terhambat, bahkan bisa menjadi minder dan tidak mau bergaul lagi. Secara fisik dan psikis, usia remaja merupakan masa-masa di mana tingkat pertumbuhan sedang mengalami puncak prosesnya.
Untuk bisa mengikuti perkembangan remaja semoga bisa berlangsung dengan baik, perlu ada pengawasan dari pihak keluarga. Dalam hal ini, kiprah orang renta sebagai pengarah dan pembentuk perkembangan kepribadian remaja dituntut memberi perhatian secara intensif.
Di dalam sebuah keluarga, yang cenderung terjadi yaitu pengawasan dan perhatian yang kurang terhadap sikap dan sikap seorang anaknya yang menjelang remaja. Hal ini mengakibatkan perkembangan jiwa yang masih labil sehingga rentan terhadap perbuatan dan dampak dari luar yang cenderung bertentangan dengan nilai dan norma. Misalnya, kenakalan remaja menyerupai penyalahgunaan obat-obatan, minuman beralkohol, dan narkotika. Memang, kebanyakan orangtua adakala lebih mementingkan disiplin atau keterikatan daripada kebebasan, sedangkan remaja lebih menyukai kebebasan daripada kedisiplinan. Namun, insan memerlukan keduanya dalam keadaan yang serasi. Manusia yang terlalu disiplin hanya akan menjadi “robot” yang mati daya kreativitasnya. Adapun insan yang terlalu bebas akan menjadi makhluk lain (yang bukan manusia).
Keberhasilan anak dalam proses sosialisasi ini sanggup dilihat dari motivasi dan keberhasilan studinya. Tumbuhnya motivasi dan keberhasilan studi anak justru ditunjang oleh keserasian-keserasian tersebut. Kalau pada anak, orang tualah yang harus menanamkan semoga si anak berpengetahuan. Adapun pada remaja, orangtua harus memperlihatkan pengertian melalui cara-cara yang dewasa. Anak atau remaja yang diharuskan berguru terus-menerus atau dibebani dengan kewajiban mengikuti pelajaran perhiasan (les) atau keterampilan tertentu akan menimbulkan kebosanan sehingga pekerjaan tersebut dianggapnya sebagai kegiatan rutin belaka. Dia tidak sempat mengenyam kebebasan berpikir, oleh lantaran selalu terbebani dengan keterikatan, yang disebabkan orangtua senantiasa memegang peranan yang memilih di dalam mengambil keputusan-keputusan. Anak atau remaja tersebut hanya dilatih untuk berpikir semata-mata, tanpa mendidiknya untuk senantiasa menyerasikan pikiran dengan perasaan.
Membiarkan anak atau remaja untuk bersikap dan berperilaku semaunya juga tidak benar. Mereka memerlukan tuntunan orangtua, saudara-saudara, dan kerabat dekatnya, tetapi tuntunan itu tidak diperolehnya. Lingkungan yang berpola pikiran demikian juga tidak menghasilkan dampak yang menunjang tumbuhnya motivasi dan keberhasilan studi lantaran dilepas begitu saja. Kritik para remaja berdasarkan Soerjono Soekanto biasanya tertuju pada hal-hal sebagai berikut.
- Orangtua terlalu konservatif atau terlalu liberal.
- Orangtua hanya memperlihatkan nasihat, tanpa memperlihatkan referensi yang mendukung hikmah tersebut.
- Orangtua terlalu mementingkan pekerjaan di kantor, organisasi, dan lain sebagainya.
- Orangtua mengutamakan pemenuhan kebutuhan material belaka.
- Orangtua lazimnya mau “menangnya” sendiri (artinya, tidak mau mengikuti keadaan dengan kebutuhan dasar remaja yang mungkin berbeda).
Suasana keluarga yang positif bagi tumbuhnya motivasi dan keberhasilan pengembangan kepribadian, baik dalam studi maupun aspek kehidupan lainnya, yaitu keadaan yang mengakibatkan anak atau remaja merasa dirinya kondusif atau tenang apabila berada di tengah keluarga. Suasana tersebut biasanya terganggu apabila terjadi hal-hal berikut.
- Tidak ada saling pengertian atau pemahaman mengenai dasar-dasar kehidupan bersama.
- Terjadinya konflik mengenai otonomi; di satu pihak orangtua ingin semoga anaknya disiplin, namun di dalam kenyataan mereka justru mengekangnya.
- Terjadinya konflik nilai-nilai yang tidak diserasikan.
- Pengendalian dan pengawasan orangtua yang berlebihan.
- Tidak adanya rasa kebersamaan dalam keluarga.
- Terjadinya persoalan dalam korelasi antara ayah dan ibu, sebagai suami dan isteri, dan konflik yang tidak mungkin lagi diatasi.
- Jumlah anak yang banyak dan tidak disertai atau didukung oleh kemudahan yang memadai.
- Campur tangan pihak luar (baik kerabat maupun tetangga).
- Status sosial ekonomi yang di bawah standar.
- Pekerjaan orangtua (misalnya, kedudukan istri lebih tinggi daripada suami, sehingga penghasilannya juga lebih besar. Hal ini tidak tidak mungkin akan menimbulkan suami merasa rendah diri dan melampiaskan ke arah yang negatif).
- Aspirasi orangtua yang adakala tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
- Konsepsi mengenai peranan keluarga serta anggota keluarga yang meleset dari kenyataan yang ada.
- Timbulnya favoritisme di kalangan anggota keluarga.
- Persaingan yang sangat tajam antara belum dewasa sehingga menimbulkan pertikaian.
Walaupun demikian, keberhasilan anak atau remaja dalam pergaulan maupun masa depannya tidak sepenuhnya bergantung pada peranan orangtua dalam keluarga. Ini berarti seorang anak dihentikan terlalu menyalahkan orangtua; beliau juga harus mengerti dan memahami keadaan, kedudukan, dan permasalahan orang tuanya, bahwa apa yang diberikan orangtuanya yaitu yang terbaik dan tidak mungkin mencelakakan dirinya.
Keluarga merupakan salah satu biro sosialisasi yang berfungsi membentuk kepribadian seseorang. Peran orangtua merupakan penentu bagaimana seseorang bisa tumbuh, berkembang, dan bersosialisasi dengan baik.
C. Penerapan Sosiologi dalam Kelompok Bermain
Kelompok sepermainan dan peranannya belum begitu tampak pengaruhnya pada masa kanak-kanak walaupun pada masa itu seorang anak sudah mempunyai sahabat-sahabat yang terasa erat sekali dengannya. Sahabat itu mungkin anak tetangga, sahabat satu kelas, anak kerabat, dan seterusnya, yang mungkin diteruskan hingga usia remaja. Sahabat-sahabat itu memang diharapkan sebagai penyaluran aneka macam aspirasi yang memperkuat unsur-unsur kepribadian yang diperoleh dari rumah. Sudah tentu bahwa sahabat itu cenderung memperlihatkan dampak yang baik dan benar.
Walaupun tidak tidak mungkin ada sahabat yang memperlihatkan dampak kurang baik. Sahabat yang baik dan benar sanggup menunjang motivasi dan keberhasilan studi Anda lantaran dengan melalui teman-teman yang terdekat biasanya akan terjalin sosialisasi dengan baik dan adanya proses saling mengisi. Bahkan, walaupun ada persaingan, persaingan tersebut dilakukan secara sehat dan saling pengertian. Selanjutnya, mungkin kelompok sahabat tersebut berkembang dengan lebih luas lantaran bersatu dengan kelompok-kelompok sahabat lainnya. Perkembangan lebih luas itu antara lain disebabkan lantaran remaja bertambah luas ruang lingkup pergaulannya, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Kelompok-kelompok yang lebih besar dan lazim disebut klik (clique) tersebut secara ideal mempunyai peranan yang positif dalam membangkitkan motivasi berguru dan keberhasilan studi ataupun dalam pengembangan kepribadian.
Menurut Soerjono Soekanto peranan positif klik terhadap remaja antara lain sebagai berikut.
- Rasa kondusif dianggap penting dari keanggotaan suatu klik tertentu, dan penting bagi perkembangan jiwa yang sehat.
- Di dalam klik tersebut, seorang remaja sanggup menyalurkan rasa kecewanya, rasa takut, rasa khawatir, rasa gembira, dan lain sebagainya, dengan mendapatkan jawaban yang masuk akal dari rekan-rekannya seklik.
- Klik memungkinkan remaja mengembangkan kemampuan dalam keterampilan-keterampilan sosial sehingga beliau lebih gampang mengikuti keadaan dengan keadaan.
- Lazimnya, suatu klik mempunyai pola sikap dan kaidah-kaidah tertentu yang mendorong remaja untuk bersikap dan berperilaku secara dewasa.
- Rasa kondusif yang ditimbulkan lantaran remaja diterima oleh kliknya akan menimbulkan dorongan untuk hidup secara sanggup berdiri diatas kaki sendiri (artinya tidak bergantung pada siapapun).
Namun, di balik peranan yang positif itu harus dipertimbangkan pula bahwa kemungkinan timbulnya peranan yang negatif tetap akan ada. Kemungkinan terjadinya peranan-peranan yang negatif itulah yang senantiasa harus dicegah, baik oleh orangtua, para guru, maupun pihak lain yang merasa bertanggung jawab terhadap masa depan yang benar dan baik dari para remaja. Hal-hal yang negatif itu antara lain sebagai berikut.
- Klik mendorong anggotanya untuk bersikap diskriminatif terhadap yang bukan anggota klik (hal ini mungkin menimbulkan sikap dan sikap yang kurang adil).
- Klik mendorong terjadinya individualisme lantaran rasa kepatuhan hanya dikembangkan secara pribadi (individual).
- Kadang-kadang timbul rasa iri hati dari anggota-anggota klik yang berasal dari keluarga kurang bisa terhadap mereka yang berasal dari keluarga yang berada.
- Kesetiaan terhadap klik adakala menimbulkan terjadinya kontradiksi dengan orangtua, saudara, atau kerabatnya.
- Klik merupakan suatu kelompok tertutup yang sulit sekali ditembus sehingga evaluasi terhadap sikap sikap anggotanya sukar dilakukan oleh pihak luar.
- Suatu klik mendorong anggota-anggotanya untuk menyerasikan diri dengan pola kehidupan yang sama latar belakangnya sehingga sulit untuk mengadakan pembiasaan dengan pihak-pihak yang berbeda latar belakangnya.
Kalau seorang remaja menjadi anggota klik tertentu, orangtua sebaiknya mempertimbangkan secara mantap terlebih dahulu sebelum memperlihatkan suatu keputusan. Kalau klik tersebut memang cenderung kurang baik sehingga mungkin akan berubah menjadi “gang”, remaja harus diberikan pengertian yang mendalam bahwa sebaiknya beliau tidak menjadi anggota klik tersebut dan lebih baik mencari teman-teman lain. Namun, bila ternyata klik tersebut lebih banyak menghasilkan hal-hal positif bagi motivasi dan perkembangan kepribadian anak, hendaknya si remaja dibiarkan menjadi anggota klik tersebut. Misalnya, menjadi anggota suatu kelompok berguru atau remaja masjid. Hal itu bukan berarti bahwa klik akan sanggup menggantikan peranan orangtua terhadap anak remajanya; kontak dan komunikasi dengan anak masih tetap harus dipelihara dan dikembangkan. Peranan orangtua terhadap anak (baik yang masih belum dewasa maupun remaja) tidak sanggup digantikan secara utuh oleh pihak-pihak lain. Oleh lantaran itu, bila salah seorang dari orangtua menikah lagi (karena pihak lain meninggal dunia atau lantaran perceraian), diharapkan suatu proses pembiasaan yang sangat mendalam.
Sikap toleransi dan hidup berkelompok merupakan sikap yang bisa menerapkan nilai-nilai sosiologi dalam pergaulan, menyerupai kemampuan melaksanakan interaksi, menghargai adanya perbedaan-perbedaan pada manusia, dan melaksanakan sosialisasi dengan sahabat sebaya yang sanggup memengaruhi kepribadiannya.
D. Penerapan Sosiologi dalam Kelompok Pendidik
Lingkungan pendidik bantu-membantu bukan hanya meliputi sekolah saja lantaran sekolah hanya menyelenggarakan pendidikan formal. Kelompok pendidik di sini akan dibatasi pada guru yang mengajar di sekolah, yang diharapkan membuat suatu suasana yang sangat mendorong motivasi dan keberhasilan studi anak didiknya. Pada sekolah-sekolah yang menyelenggarakan pendidikan awal, menyerupai taman kanak-kanak, sekolah dasar, dan sekolah lanjutan tingkat pertama, peranan guru sangat besar dan bahkan dominan.
Dengan demikian, hasil kegiatan guru tersebut akan tampak kasatmata pada pergaulan siswanya atau bahkan sanggup dilihat dari kadar motivasi dan keberhasilan studi pada taraf tersebut, yang mempunyai dampak sangat besar pada tahap-tahap pendidikan selanjutnya. Keadaan berubah sesudah anak (yang sudah menjadi remaja) memasuki sekolah lanjutan tingkat atas (SMA). Peranan guru di dalam membentuk dan mengubah sikap anak didik dibatasi dengan peranan anak didik itu sendiri di dalam membentuk dan mengubah perilakunya. Sudah tentu bahwa guru masih tetap berperan di dalam hal mendidik anak didiknya semoga mempunyai motivasi yang besar untuk menuntaskan studinya dengan benar dan baik. Setidak-tidaknya itulah yang menjadi peranan yang sangat diharapkan dari guru di tingkat SMA. Pada tahap ini, kepribadian para siswa yang terdiri atas para remaja yang sudah mempunyai sikap tertentu terhadap gurunya mulai terbentuk menuju kemandirian.
Oleh lantaran itu, para remaja mulai mengkritik keadaan sekolah yang adakala tidak memuaskan baginya. Lazimnya kritik tersebut dilancarkan terhadap hal-hal sebagai berikut.
- Guru-guru yang terlampau renta (konservatif) masih mengembangkan favoritisme terhadap murid-murid dan hanya melaksanakan kiprah mengajar sebagai pekerjaan rutin yang tidak berkembang. Kesenjangan pada usia yang terlalu jauh menimbulkan sosialisasi kurang terjalin dengan baik lantaran antara siswa dan gurunya mempunyai banyak perbedaan pandangan.
- Kebanyakan guru tidak mau mencari penyerasian nilai dengan anak didik, tetapi cenderung senantiasa membenarkan nilai-nilai yang dianut golongan tua. Dengan kata lain, adanya internalisasi nilai-nilai yang dilakukan guru terhadap siswanya.
- Mata pelajaran yang diajarkan kebanyakan merupakan mata pelajaran wajib sehingga tidak ada peluang untuk mengembangkan bakat. Sekolah bukanlah penjara yang membatasi kebebasan anak, tetapi merupakan forum sosial tempat anak melaksanakan sosialisasi dari nilai-nilai dan hal-hal yang tidak didapatkannya di rumah (dalam keluarga). Berikan pelajaran perhiasan yang sanggup menyalurkan minat dan bakatnya semoga siswa memperoleh keterampilan-keterampilan yang berkhasiat bagi bekalnya dalam kehidupan bermasyarakat.
- Di dalam proses berguru mengajar, lebih banyak digunakan metode ceramah sehingga kemungkinan mengadakan diskusi dengan guru sedikit sekali. Hal ini berarti membatasi interaksi siswa dengan gurunya lantaran agresi yang diberikan guru tidak memperlihatkan kesempatan kepada siswa untuk meresponsnya, siswa hanya melaksanakan interaksi pasif. Kurangnya interaksi sanggup menghambat perkembangan kepribadiannya.
- Kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk ikut serta mengelola sekolah hampir-hampir tidak diberikan. Padahal kesempatan ini sangat baik dalam rangka melatih siswa menghargai nilai kebendaan (fungsi sekolah) yang diserasikan dengan nilai konservatif dalam memelihara sekolahnya. Selain itu, juga sanggup melatih siswa dalam kehidupan berorganisasi serta mengembangkan kiprahnya pada lembaga-lembaga sosial menyerupai sekolah.
- Jarak antara guru dan siswa dipelihara sedemikian rupa sehingga yang lazim yaitu korelasi yang dilakukan secara formal. Adanya pemisahan jarak ini sanggup mengurangi relasi-relasi sosial antara superordinat dengan subordinat yang sanggup mengakibatkan jarak sosial semakin tinggi dan menggambarkan adanya kekurangpentingan bersama.
Melalui aneka macam kritikan tersebut diharapkan adanya perbaikan pada forum sekolah dalam rangka mengembangkan wawasan para siswa dalam menerapkan pengetahuan sosiologinya. Terlebih lagi, sekolah merupakan forum pendidikan formal yang tidak hanya memperlihatkan ilmu pengetahuan, tetapi lebih dari itu sebagai tempat pewarisan nilai-nilai yang sanggup membekali siswanya untuk mempersiapkan diri terjun ke lingkungan yang lebih kompleks, yaitu masyarakat.
E. Tinjauan Sosiologi terhadap Masalah di Indonesia Dewasa Ini
Karl Marx menganggap bahwa sejarah perkembangan masyarakat merupakan akhir dari adanya determinisme ekonomi. Marx menganggap bahwa materialisme merupakan proses penentu jalannya gerak sejarah. Jadi, materialisme dan ekonomi merupakan perpaduan yang kuat dalam memengaruhi masyarakat.
Menerapkan pengetahuan sosiologi secara simpel tidak hanya dilakukan di lingkungan keluarga dalam skala mikro, tetapi juga menyangkut korelasi antarsuku, agama, dan ras serta aneka macam aspek kehidupan yang lebih luas dalam skala makro. Terlebih lagi dalam menghadapi aneka macam persoalan sosial yang sering muncul akhir-akhir ini di Indonesia, peranan sosiologi sangat diharapkan.
Beberapa persoalan sosial yang dihadapi Indonesia sampaumur ini di antaranya menyangkut persoalan nilai-nilai, persoalan penegakan hukum, persoalan korelasi antarsuku bangsa, dan modernisasi. Bagaimana menerapkan pengetahuan sosiologi dalam menghadapi masalah-masalah tersebut akan diuraikan sebagai berikut.
5.1. Masalah Nilai-Nilai
Mengenai nilai-nilai yang ada di Indonesia sampaumur ini, terdapat kecenderungan masyarakat menganut nilai-nilai yang dianggap negatif oleh potongan terbesar warga masyarakat, tetapi secara terpaksa harus dianut juga (padahal secara logis dan benar, seharusnya dihindari). Misalnya, dalam bidang hakikat hidup ada kecenderungan yang sangat kuat untuk menekankan nilai keakhlakan atau spiritualisme semata, atau sebaliknya pada nilai kebendaan atau materialisme. Kecenderungan untuk berpedoman pada nilai keakhlakan semata terdapat pada golongan masyarakat yang secara relatif dirugikan oleh keadaan.
Pada golongan masyarakat yang lain, terdapat kecenderungan untuk memperlihatkan tekanan yang sangat kuat pada nilai kebendaan sehingga ada anggapan kuat bahwa hidup ini dikendalikan oleh materialisme semata. Pengaruh dari nilai tersebut sangat terasa pada nilai-nilai lainnya, menyerupai ada kecenderungan kuat untuk berkarya demi mendapatkan kedudukan dengan atribut-atribut yang konsumtif yang kemudian disusul dengan nilai yang berorientasi pada masa kini. Hal ini kemudian tidak memperhatikan kelestarian alam dan mempunyai dampak besar terhadap pergaulan sosial yang dilandasi pada faktor kebendaan semata-mata.
Tekanan pada nilai kebendaan mempunyai suatu akhir bahwa di dalam pergaulan hidup yang sangat dipentingkan yaitu status atau kedudukan. Sebagaimana dikatakan di awal, hal ini merupakan salah satu ciri masyarakat sederhana. Padahal, proses perubahan terjadwal yang sampaumur ini dilakukan mempunyai tujuan mencapai suatu masyarakat modern, di mana peranan (role) sangat di pentingkan. Misalnya, seseorang yang diberikan jabatan tertentu bukanlah bergantung pada gelar kesarjanaan, akan tetapi pada prestasi objektifnya di dalam menjalankan fungsi dalam jabatan tersebut.
Hal-hal yang dijelaskan tersebut banyak terjadi dalam sistem masyarakat Indonesia sampaumur ini dan menyerupai sudah melembaga yang sukar untuk diubah. Nilai kebendaan tersebut bahkan sanggup dijumpai kecenderungannya dalam bidang lain, menyerupai politik, ekonomi, sosial, hukum, dan lainnya. Ketimpangan dalam kehidupan insan akan terus terjadi bila tekanan hanya diletakkan pada satu nilai saja. Misalnya, bila orang lebih mementingkan nilai kebendaan dan melupakan nilai keakhlakan atau sebaliknya.
5.2. Masalah Penegakan Hukum
Proses penegakan aturan merupakan suatu penyerasian antara nilai-nilai, norma-norma, dan perikelakuan kasatmata dalam masyarakat. Apabila terjadi ketidakserasian, timbullah persoalan di dalam proses penegakan hukum, baik dalam skala kecil maupun besar, terutama yang menyangkut korelasi interpersonal antara penegak-penegak aturan yang mempunyai dampak timbal balik dan lembaga-lembaga aturan yang berdasarkan GBHN harus diserasikan.
Secara konvensional, yang dianggap penegak aturan yaitu hakim, jaksa, polisi, pengacara, dan petugas-petugas forum pemasyarakatan. Hakim, jaksa, dan polisi, contohnya oleh peraturan perundang-undangan yang ada ditempatkan pada kedudukan atau status yang sederajat, padahal peranannya berbeda-beda. Akan tetapi, pada kenyataannya, mereka lebih diorientasikan pada status sehingga tidak jarang kiprah masing-masing diabaikan demi menjaga prestise korpsnya masing-masing. Keadaan yang tidak menguntungkan dari pencari keadilan tersebut juga ditambah dengan kurangnya kemudahan dan taraf kesadaran serta kepatuhan aturan yang relatif rendah dari warga masyarakatnya. Misalnya, ada hakim atau jaksa yang gampang disogok atau masyarakat yang dibodohi oleh hukum.
Masalah tersebut tidak sanggup dilepaskan dari nilai-nilai yang dianut padahal di dalam hal-hal tertentu malahan harus dihindari. Di dalam proses penegakan aturan di Indonesia, ada suatu kecenderungan yang kuat untuk menekankan pada nilai ketertiban, kepastian, kepentingan umum, dan kebendaan. Padahal, para pencari keadilan juga memerlukan ketenteraman, kesebandingan, dan kepentingan pribadi, ataupun keakhlakan.
5.3. Masalah Hubungan Antarsuku Bangsa
Masalah ini bisa terjadi pada masyarakat sederhana, madya, ataupun modern. Hal ini mungkin harus dibedakan dari persoalan yang terjadi antara golongan pribumi dan nonpribumi. Mengenai korelasi antarsuku bangsa, mungkin saja timbul persoalan yang bersumber pada hal-hal sebagai berikut.
- Suatu suku bangsa tertentu ingin memaksakan unsur-unsur kebudayaan khusus yang dianutnya pada suku bangsa lain, baik secara kasatmata maupun tidak.
- Suatu suku bangsa tertentu mencoba memaksakan unsur-unsur agama yang dianutnya terhadap suku bangsa lain yang berbeda agamanya.
- Suatu suku bangsa tertentu ingin atau mencoba mendominasi suku bangsa lain secara politis.
- Suku-suku bangsa tertentu bersaing keras untuk mendapatkan lapangan mata pencaharian yang sama dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar.
- Adanya potensi konflik yang terpendam.
Di Indonesia sebagai masyarakat majemuk, permasalahannya sudah jelas, yaitu setiap suku bangsa mempunyai kebudayaan khusus dan sistem sosial yang berbeda-beda. Secara sosiologis, perlakuannya juga harus berbeda sehingga timbul persoalan bagaimana mengadakan pengaturan yang diskriminatif dan adil. Diskriminasi dan keadilan seringkali dianggap sebagai dua nilai yang berlawanan sehingga pada pengertian diskriminasi senantiasa diberikan pengertian negatif. Padahal kedua pengertian tersebut merupakan nilai-nilai yang berpasangan yang tidak jarang bertentangan sehingga harus diserasikan.
5.4. Modernisasi
Seringkali dikatakan bahwa modernisasi tidaklah identik dengan westernisasi. Anggapan tersebut timbul lantaran modernisasi di masyarakat Barat mempunyai akibat-akibat yang negatif. Walau demikian, terdapat aneka macam aspek modernisasi yang sanggup dinilai baik untuk pembangunan masyarakat Indonesia sehingga perlu ditiru. Perkembangan modernisasi selanjutnya tidak terbatas pada industrialisasi dan demokratisasi saja, tetapi menyangkut pula aneka macam bidang kehidupan lainnya yang saling bekerjasama sehingga kemajuan suatu bidang kehidupan akan diikuti oleh bidang-bidang kehidupan yang lain, seperti:
- kemajuan ilmu pengetahuan maka akan diikuti oleh teknologi;
- kemajuan material atau kebendaan yang digunakan oleh setiap insan harus dimbangi oleh sikap mental untuk mengikuti keadaan dengan benda yang dimilikinya, bila tidak, akan dianggap sebagai orang yang ketinggalan zaman atau ketinggalan kebudayaan.
Setiap perubahan yang terjadi di masyarakat tentu saja ada sisi baik dan sisi buruknya. Hal ini bergantung pada masyarakat sendiri dalam menafsirkan modern. Akan tetapi, bila kata modern ditafsirkan secara salah, akan menimbulkan sikap masyarakat yang tidak sesuai dengan budaya atau kepribadian bangsa, menyerupai menjiplak gaya penyanyi atau bintang film supaya dianggap modern. Padahal modern dan tidaknya bukan dengan jalan menjiplak kehidupan gaya Eropa atau Amerika, melainkan sikap dan sikap sebagai orang modern.
Modernisasi merupakan perubahan sosial dari keadaan yang tradisional atau pra-industri ke arah modernitas melalui transisi (peralihan). Dalam kehidupan masyarakat tradisional sanggup dikatakan bahwa seluruh masyarakat mempunyai jiwa yang tradisional. Akan tetapi, pada masyarakat peralihan terdapat masyarakat yang mempunyai jiwa berlainan, yaitu tradisional, transisi, dan telah modern yang mengakibatkan masyarakat tersebut sanggup berbaur. Dengan demikian, sikap antar sifat-sifat masyarakat satu sama lain akan tampak sekali perbedaannya, menyerupai berikut ini.
- Masyarakat yang berjiwa tradisional akan menganggap setiap perubahan sanggup mendatangkan dampak bagi kehidupan masyarakat dan sanggup mengakibatkan kerugian. Setiap perubahan akan ditentang lantaran mereka lebih mementingkan kemampuan wilayahnya dalam setiap kehidupan masyarakat.
- Masyarakat transisi akan senantiasa memperhitungkan perubahan yang datang, tetapi mereka kadangkala salah menafsirkan konsep modern sehingga setiap yang tiba dan berasal dari luar (terutama berasal dari masyarakat Barat dan Eropa/Amerika) kadangkala dianggap modern.
- Masyarakat yang berjiwa modern akan mendapatkan setiap perubahan yang bernilai positif dan menolak dampak yang bersikap negatif lantaran penting sekali bagi perkembangan kehidupan masyarakat, walaupun datangnya dari luar.
Modernisasi ditandai dengan perubahan masyarakat dari pertanian menjadi industri, dan dari industri beralih ke bidang jasa.
Proses perubahan ke arah yang lebih maju dari sebelumnya yang ditunjang oleh sikap dan sikap masyarakat untuk mendapatkan perubahan-perubahan tersebut merupakan suatu proses ke arah modern yang dinamakan modernisasi. Dengan demikian, modernisasi sanggup diartikan sebagai suatu sikap pikiran yang mempunyai kecenderungan untuk pendahuluan sesuatu yang gres daripada yang bersifat tradisi, dan satu sikap pikiran yang hendak menyesuaikan soal-soal yang sudah menetap menjadi kebutuhan-kebutuhan yang baru.
Modernisasi umumnya dihubungkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk suatu kemajuan masyarakat secara positif, begitu pula masyarakat secara terbuka mendapatkan perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam modernisasi memainkan peranan yang sangat penting di aneka macam bidang kehidupan. Oleh lantaran itu, insan sebagai pelaku modernisasi dituntut untuk selalu siap mendapatkan perubahan-perubahan ke arah kemajuan yang positif.
Perubahan-perubahan tersebut, misalnya:
- sikap masyarakat akan pentingnya pendidikan sekolah;
- keinginan untuk hidup lebih baik;
- adanya perjuangan untuk mengejar ketinggalan dari masyarakat lain;
- menghargai pendapat orang lain;
- tidak menganggap pendapatnya lebih baik daripada orang lain;
- memandang bahwa kehidupan hari esok harus lebih baik daripada hari ini; dan lain-lain.
Rangkuman :
a. Sosiologi sebagai ilmu kemasyarakatan harus mempunyai manfaat dalam mengkaji korelasi antar insan dan proses yang timbul dari korelasi tersebut, sehingga ilmu yang terdapat dalam sosiologi sanggup diterapkan di kehidupan masyarakat.
b. Sesuai dengan tujuannya untuk meningkatkan daya atau kemampuan insan dalam mengikuti keadaan dengan lingkungan hidupnya, sosiologi harus sanggup mengembangkan pengetahuan yang objektif mengenai gejala-gejala kemasyarakatan yang sanggup dimanfaatkan secara efektif untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
Anda kini sudah mengetahui Sosiologi Terapan dan Penerapan Sosiologi. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
Referensi :
Waluya, B. 2009. Sosiologi 1 : Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat untuk Kelas X Sekolah Menengah Atas / Madrasah Aliyah. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 138.
No comments:
Post a Comment