Artikel dan Makalah perihal Majas Ironi (Sindiran), Pengertian, Contoh, Macam-macam / Jenis - sebaliknya dari apa yang ingin dikatakannya, jadi disini terdapat satu penanda dengan dua kemungkinan petanda. Ironi mengandung antonimi atau oposisi antara kedua tataran isi. Ironi juga mengandung kesenjangan yang cukup besar lengan berkuasa antara makna harfiah dan makna kiasan. Maka di dalam ironi terdapat keharusan yang sering bertumpu pada makna inversi semantis, baik secara keseluruhan maupun sebahagian. Hal ini menjadi ciri ironi. Apabila dilihat dari wilayah maknanya, ironi tidak banyak berbeda dengan majas kontradiksi lainnya. Namun dalam ironi salah satu bentuk (penanda) tidak hadir, jadi bersifat implisit. Perlu diingat bahwa dalam ironi selalu ada sasaran (bulan-bulanan), yaitu yang dituju oleh ujaran ironis tadi Selain itu, pemahaman ironi sangat tergantung dari konteks (bahkan beberapa andal bahasa membedakan ironi dari majas lainnya, lantaran hal tersebut). Apabila konteks tidak mendukung ironi, maka ujaran yang mengandung ajukan sanggup menjadi pujian.
Contoh: - “Wah, pemerintah kini memang sukses, ya!”
- “Benarkah pendapatmu demikian?”
- “Ya, sukses menaikkan harga-harga.”
Di sini, tampak ada dua petanda. Kata sukses biasanya mengandung komponen makna positif, tetapi kadang kala juga sanggup memiliki makna negatif apabila konteks mendukungnya. Pada ujaran pertama, kata sukses masih mengandung kemungkinan bermakna konkret (sebagaimana lazimnya), namun pada ujaran yang ke-3 kata itu diikuti frasa menaikkan harga-harga yang secara konotatif memiliki makna negatif.
Oposisi makna ini mengatakan adanya ironi. Di sini, sasaran telah ada dalam konteks yang bersifat tekstual (yaitu menaikkan harga-harga), sehingga tampak bahwa ironi ini merupakan ejekan, mustahil ada makna pujian. Ujaran yang mengandung gagasan positif, sanggup menyembunyikan makna yang negatif. Berikut ini dikemukakan denah wilayah makna ironi:
Seperti juga paradoks, ironi perlu ditempatkan di dalam konteks, yang di sini ditampilkan dengan bentuk persegi panjang yang melingkupi denah wilayah makna. Di dalam konteks itu terdapat tanda bulatan kecil yang mewakili adanya sasaran, sedangkan kedua bulatan menampilkan makna. Jadi, makna pertama dari kata (bentuk lain) yang diujarkan, ditujukan pada sasaran, dan berkat adanya sasaran itu, makna sanggup berubah.
Itulah sebabnya maka di dalam denah ini, sasaran dimasukkan ke dalam konteks, yang sanggup bersifat tekstual, sanggup juga situasional Sebenarnya, hampir semua majas memerlukan konteks, baik tekstual maupun situasional. Meskipun demikian, ironi selalu terdiri dari unsur pragmatika khusus: mengujarkan sesuatu dengan ironis selalu kurang lebih ditujukan pada sasaran (bulan-bulanan). Dikatakan bahwa ironi seringkali dipakai untuk mengolok-olok. Menyampaikan sesuatu dengan ironis yakni memakai kosakata yang seakan meninggikan nilai padahal merendahkannya.
Contoh lain: - “Memang pandai kau, ya!”
Ujaran ini sanggup berarti betul-betul memuji, jadi bukan ironi (apabila tidak ada oposisi makna dengan petanda yang tersembunyi dalam konteks). Namun, ujaran itu sanggup juga merupakan ironi, dan berarti “Kau kurang pintar sekali!” atau “Kau ini licik.” Oposisi makna ini bersifat implisit. Di sini, konteks bersifat situasional, tak
tampak dalam ujaran. Makara pemahamannya tergantung dari situasi pengujaran.
Referensi :
Zaimar, O. K. S. 2002. Majas dan Pembentuknya. Makara. Sosial Humaniora, 6 (2) : pp. 45-57.
Referensi :
Zaimar, O. K. S. 2002. Majas dan Pembentuknya. Makara. Sosial Humaniora, 6 (2) : pp. 45-57.
No comments:
Post a Comment