Sunday, November 17, 2019

Pintar Pelajaran Tingginya Kadar Co2, Penyebab Pemanasan Global Zaman Es Terakhir

Tingginya Kadar CO2, Penyebab Pemanasan Global Zaman Es Terakhir - Banyak ilmuwan telah usang menduga bahwa meningkatnya kadar karbon dioksida dan pemanasan global yang mengakhiri Zaman Es terakhir, entah bagaimana saling berhubungan,namun korelasi sebab-akibat yang terang antara pemanasan CO2 dan pemanasan global dari catatan geologi  tetap sulit dibuktikan. Sebuah studi terbaru yang dibiayai oleh National Science Foundation dan diterbitkan dalam jurnal Nature, mengidentifikasi korelasi ini dan menyediakan bukti yang  kuat bahwa kadar CO2 yang meningkat menyebabkan pemanasan global.

Jeremy Shakun, yang melaksanakan penelitian doktoralnya di Oregon State University  dan telah melaksanakan banyak penelitian terkait mengatakan,  kunci untuk memahami peranan CO2 yaitu dengan rekonstruksi perubahan suhu global rata-rata selama simpulan Zaman Es terakhir, hal tersebut berseberangan dengan upaya sebelumnya  yang hanya membandingkan   suhu lokal di Antartika dengan tingkat karbon dioksida.

“Karbon dioksida telah diduga sebagai faktor penting dalam mengakhiri Zaman Es terakhir, namun tugas pastinya belum  begitu terang lantaran peningkatan suhu  dalam inti es di Antartika telah terjadi sebelum meningkatnya kadar CO2,” kata Shakun.
 Penyebab Pemanasan Global Zaman Es Terakhir  Pintar Pelajaran Tingginya Kadar CO2, Penyebab Pemanasan Global Zaman Es Terakhir
Lapisan Es yang Meleleh di Greenland Bagian Barat. (Foto : Eric Rignot, NASA JPL).
“Tapi kalau Anda merekonstruksi suhu dalam skala global  dan tidak hanya mengamati suhu di Antartika, sangatlah terang bahwa sedikt perubahan tingkat CO2 menjadi pendahuluan dari pemanasan global. Hal ini berarti imbas rumah beling global memiliki tugas penting dalam menaikkan  suhu dunia dan membawa planet ini keluar dari Zaman Es terakhir, “tambah Shakun.

Berikut yaitu pemikiran dari para peneliti mengenai apa telah terjadi.

Perubahan kecil dalam orbit bumi mengelilingi matahari mempengaruhi jumlah sinar matahari yang mengenai belahan bumi cuilan  utara, hal tersebut sanggup  mencairkan lapisan es yang menutupi Kanada dan Eropa. Air tawar yang mengalir dari benua ke Samudera Atlantik, membentuk lapisan epilog di atas Atlantic meridional ( cuilan dari jaringan arus global yang membawa air hangat dari tempat tropis dan menciptakan Eropa tetap hangat meskipun terletak di lintang utara yang tinggi) dan memutarbalikkan sirkulasi arus.

Para peneliti mengatakan, sirkulasi bahari menghangatkan belahan bumi utara dengan mengorbankan belahan bumi selatan, tetapi ketika air tawar mengalir dari benua Eropa memasuki Atlantik Utara di simpulan Zaman Es terakhir, intinya sanggup menghambat arus dan menganggu pengiriman panas ke cuilan bumi utara.

“Pada ketika transport panas berhenti, belahan bumi utara akan lebih cuek dan panas terbentuk di belahan bumi selatan,” kata Shakun. ”Antartika akan dihangatkan dengan cepat, jauh lebih cepat daripada waktu yang diperlukan untuk mengeluarkan CO2 dari bahari dalam, di mana CO2 kemungkinan disimpan.

“Pemanasan di Samudra cuilan selatan kemungkinan telah merubah angin serta pelelehan es di bahari dan balasannya menarik keluar CO2 dari air dalam, utnuk lalu dilepaskan ke atmosfer,” kata Shakun. ”Hal tersebut, pada balasannya akan memperkuat pemanasan global.”

Para peneliti menciptakan  catatan suhu permukaan global dari  rekonstruksi suhu yang terjadi dengan meningkatnya kadar CO2. Kenaikan suhu tersebut terjadi sesudah peningkatan CO2

Peter Clark, seorang ilmuwan dari Oregon State University dan rekan penulis  mengatakan bahwa, perubahan radiasi matahari kemungkinan  merupakan pemicu  serangkaian imbas yang terjadi setelahnya. Penelitiannya pada tahun 2009 yang dipublikasikan di jurnal Science, mengkonfirmasi sebuah teori sebelumnya bahwa, goyangan pada sumbu bumi yang mengubah jumlah sinar matahari yang ditangkap oleh Bumi, menjadi penyebab pertama mencairnya lapisan es dalam jumlah besar di belahan bumi utara.

“Sudah usang diketahui bahwa goyangan kecil di bumi  terutama disebabkan  oleh imbas gravitasi planet-planet besar, menyerupai Jupiter dan Saturnus. Saat ini gaya gravitasi kedua planet tersebut terhadap  bumi sedikit berbeda selama masa ribuan tahun,” kata Clark, seorang profesor di OSU’s College of Earth, Ocean, and Atmospheric Sciences.

Shakun menyampaikan ada ”sejumlah besar” karbon yang diserap di bahari dalam. ”Samudra Selatan terhubung ke semua cekungan bahari dalam,” jelasnya, “sehingga kemungkinan ada prosedur penarikan karbondioksida dari bahari di permukaan menuju ke bahari dalam.”Para peneliti mengatakan, pertanyaannya kini yaitu bagaimana karbon dioksida   yang dihasilkan insan  akan mempengaruhi planet ini ketika tidak ada zaman es.

“CO2 memainkan tugas besar untuk membawa dunia keluar dari zaman es terakhir,” kata Shakun, “dan hal tersebut menghabiskan waktu sekitar 10.000 tahun untuk terjadi. Sekarang tingkat CO2 meningkat lagi tetapi kali ini peningkatannya terjadi hanya sekitar 200 tahun, dan ada gejala terang bahwa planet ini sudah mulai merespon. ”

“Sementara masih banyak rincian mengenai perubahan iklim di masa depan yang harus dipecahkan, penelitian kami mendukung pandangan  bahwa, peningkatan CO2  akan menyebabkan pemanasan global yang lebih hebat,” tambah Shakun.

Penulis lain yang terlibat pada penelitian ini adalah, Feng Dia dari University of Wisconsin-Madison;Shaun Marcott, Alan Mix, dan Andreas Schmittner dari Oregon State University; Zhengyu Liu dari University of Wisconsin-Madison dan Peking University; Bette Otto-Bliesner dari National Center for Atmospheric Research, dan Edouard Bard, CNRS-Universite Aix-Marseille.

Referensi Jurnal:

Jeremy D. Shakun, Peter U. Clark, Feng He, Shaun A. Marcott, Alan C. Mix, Zhengyu Liu, Bette Otto-Bliesner, Andreas Schmittner, Edouard Bard. Global warming preceded by increasing carbon dioxide concentrations during the last deglaciation. Nature, 2012; 484 (7392): 49 DOI: 10.1038/nature10915

Artikel ini merupakan terjemahan dari goresan pena ulang menurut materi yang disediakan Oregon State University via Science Daily. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

No comments:

Post a Comment