Wednesday, September 4, 2019

Pintar Pelajaran Kebudayaan Lokal : Pengertian, Konsep, Ciri-Ciri, Contoh, Macam-Macam

Kebudayaan Lokal : Pengertian, Konsep, Ciri-ciri, Contoh, Macam-macam - Dari manakah kau berasal? Setiap kawasan tentu mempunyai kebudayaan sendiri. Jika berasal dari kawasan Jawa, kau mengenal beberapa tarian, lagu daerah, pakaian daerah, bahasa daerah, dan lain-lain dari kawasan kau berasal. Namun, ternyata kawasan Jawa juga mempunyai kekayaan budaya yang berbeda. Coba perhatikan, kawasan Yogyakarta dan Surakarta yakni dua kawasan yang saling berdekatan. Namun, mempunyai motif kain yang berbeda. Motif kain gaya Surakarta mempunyai latar warna cokelat, sedangkan motif kain gaya Yogyakarta mempunyai motif dengan latar kain berwarna putih. Hal tersebut dikarenakan keduanya melalui proses pembuatan yang berbeda. Kain gaya Surakarta sebelum dibatik, diketel terlebih dahulu hingga kain mempunyai latar warna cokelat. Sementara itu, kain yang bergaya Yogyakarta dikemplong terlebih dahulu. Dikemplong yakni proses yang dilakukan sebelum dibatik. Kain mori dipukul-pukul terlebih dahulu dengan palu yang terbuat dari kayu, sesudah itu pola digambar dengan memakai pensil, dan dilanjutkan dengan pembatikan dengan memakai malam (lilin). Begitu pun juga dengan Bali yang mempunyai kekhasan kain baik sendiri.

 Setiap kawasan tentu mempunyai kebudayaan sendiri Pintar Pelajaran Kebudayaan Lokal : Pengertian, Konsep, Ciri-ciri, Contoh, Macam-macam
Gambar 1. Batik Parang Kusumo Yogyakarta (thebatik.net)
 Setiap kawasan tentu mempunyai kebudayaan sendiri Pintar Pelajaran Kebudayaan Lokal : Pengertian, Konsep, Ciri-ciri, Contoh, Macam-macam
Gambar 2. Batik Solo Motif Sido Drajad (thebatik.net)
Dari ilustrasi tersebut sanggup kau bedakan bahwa daerah-daerah di Indonesia mempunyai kekayaan budaya yang beragam. Berkaitan dengan hal tersebut, sudahkah kau tahu wacana budaya lokal? (Baca juga : Budaya Asing)

1. Pengertian Budaya Lokal

Budaya lokal yakni nilai-nilai lokal hasil kebijaksanaan daya masyarakat suatu kawasan yang terbentuk secara alami dan diperoleh melalui proses berguru dari waktu ke waktu. Budaya lokal sanggup berupa hasil seni, tradisi, pola pikir, atau aturan adat. Indonesia terdiri atas 33 provinsi, alasannya yakni itu mempunyai banyak kekayaan budaya. Kekayaan budaya tersebut sanggup menjadi aset negara yang bermanfaat untuk memperkenalkan Indonesia ke dunia luar, salah satu di antaranya yakni Candi Borobudur.

Referensi Antropologi :


 Setiap kawasan tentu mempunyai kebudayaan sendiri Pintar Pelajaran Kebudayaan Lokal : Pengertian, Konsep, Ciri-ciri, Contoh, Macam-macam
Gambar 3. Arca Buddha dan stupa Borobudur. (Wikimedia Commons)
Kamadhatu melambangkan kaki. Hal ini yakni representasi dari dunia yang penuh dengan kama atau nafsu (keinginan) manusia. Rupadhatu melambangkan dunia yang masih terikat dengan rupa dan bentuk meskipun tidak bisa melepaskan dari hawa nafsu. Dunia ini yakni ”alam antara” yang membatasi Kamadhatu ’alam bawah’ dengan Rupadhatu ’alam atas’. Sementara itu, Arupadhatu melambangkan tempat bersemayamnya para Buddha yang berada di alam atas. Pada alam tersebut kebebasan akan hawa dunia yang masih mementingkan bentuk dan rupa telah tercapai. Kebebasan tersebut dilambangkan dengan tidak adanya relief sebagai tempat lenyapnya nafsu dunia. Relief ada bila disambung sanggup mencapai panjang 2.900 m (hampir mencapai 3 km) dengan 1.460 adegan dan relief dekoratif (hiasan) sebanyak 1.212 buah. Candi Borobudur mempunyai 505 buah arca. Itulah salah satu dari 7 keajaiban dunia. (Sumber: www.pikiran-rakyat.com)

Adat kesepakatan nikah secara tradisional yakni salah satu bentuk budaya lokal pula. Oleh alasannya yakni itu, bila ada sepasang pengantin yang berasal dari kawasan yang berlainan, seringkali mengenakan busana tradisional kesepakatan nikah bergantian sesuai dengan busana kawasan masing-masing mempelai. Demikian pula program tradisi upacara kesepakatan nikah diadakan dua kali, diubahsuaikan dengan upacara budbahasa masing-masing mempelai.

Bentuk lain dari budaya lokal yakni tarian tradisional. Tarian tradisional di Indonesia awalnya dipertunjukkan untuk kejadian tertentu menyerupai panen, kelahiran, pemakaman, dan pernikahan. Saat ini tradisi tersebut ada yang mengalami pergeseran, tarian dipertunjukkan untuk program komersial. Namun demikian, hal tersebut sanggup menjadi salah satu sarana untuk melestarikan budaya lokal, bahkan untuk memperkenalkan budaya lokal ke tingkat yang lebih halus.

Bahasa kawasan juga salah satu bentuk budaya lokal. Istilah-istilah yang berasal dari bahasa kawasan gotong royong sanggup menjadi suatu kontrol sosial bagi masyarakatnya. Hal ini akan dibahas pada belahan selanjutnya di dalam buku ini.

Bentuk budaya lokal yang lain yakni mitos. Mitos yakni suatu dongeng suci berupa simbol yang mengisahkan kejadian faktual atau imajiner mengenai perubahan alam dan asal undangan jagat raya, dewa-dewi, atau kepahlawanan seseorang.

Beberapa bentuk budaya lokal lain di antaranya yakni pakaian tradisional, folklor, musik tradisional, olahraga tradisional, permainan anak tradisional, kerajinan tangan, dan lain-lain. Menurut James Danandjaja (dalam Sulastrin Sutrisno, 1985:460), folklor yakni sebagian kebudayaan Indonesia yang tersebar dan diwariskan secara bebuyutan secara tradisional. Tradisi ini bisa berbeda-beda versinya baik dalam bentuk lisan, perbuatan, maupun alat-alat pembantu pengingat. Kebudayaan Indonesia yang berbentuk folklor mempunyai ciri-ciri khusus antara lain sebagai berikut: bersifat lisan, bersifat tradisional, versinya berbeda-beda, cenderung mempunyai bentuk berumus atau berpola, tidak diketahui siapa penciptanya, mempunyai fungsi dalam kehidupan kolektif yang memilikinya, berifat pralogis, menjadi hak milik bersama, dan bersifat polos atau spontan.

Secara garis besar folklor dikelompokkan menjadi tiga antara lain sebagai berikut (dikutip dari James Danandjaya, 1984).

a. Folklor Lisan

Yang tergabung ke dalam folklor lisan antara lain sebagai berikut.

1) Bahasa rakyat menyerupai logat, julukan, gelar, bahasa rahasia, dan sebagainya.
2) Ungkapan tradisional menyerupai peribahasa, pepatah, dan sebagainya.
3) Pertanyaan tradisional menyerupai teka-teki, cangkriman, dan sebagainya.
4) Puisi rakyat menyerupai pantun, syair, bidal, pemeo, dan lain-lain.
5) Cerita prosa rakyat menyerupai mite, legenda, dongeng, dan sebagainya.
6) Nyanyian rakyat

b. Folklor Sebagian Lisan

Yang tergabung dalam folklor sebagian lisan antara lain sebagai berikut.

1) Kepercayaan atau takhayul
2) Permainan dan hiburan rakyat
3) Teater rakyat menyerupai wayang orang (Jawa Tengah), ludruk (Jawa Timur), lenong (Jakarta), arja (Bali)
4) Adat kebiasaan menyerupai khitanan, gotong royong, dan lain-lain.
5) Upacara-upacara yang dilaksanakan dalam siklus hidup manusia
6) Tari rakyat menyerupai Srimpi (Jawa Tengah), tari Tor-tor (Batak), tari doger (Jakarta).
7) Pesta rakyat menyerupai selamatan

c. Folklor Bukan Lisan

Folklor bukan lisan lain sebagai berikut.

1) Arsitektur menyerupai bentuk rumah budbahasa dan lumbung padi
2) Hasil kerajinan rakyat menyerupai batik, patung, keris
3) Pakaian dan embel-embel menyerupai pakaian adat
4) Obat-obatan rakyat menyerupai jamu tradisional
5) Makanan dan minuman tradisional menyerupai rendang Padang, gudeg Yogyakarta
6) Alat musik tradisional menyerupai angklung, gamelan
7) Peralatan dan senjata menyerupai alat-alat rumah tangga, senjata untuk berburu
8) Mainan menyerupai boneka, alat musik, dan lain-lain.

Dalam sebuah folklor biasanya terkandung nilai, petuah, nasihat, dan pelajaran yang bisa dijadikan cermin bagi orang yang membaca atau mendengarnya. Agar lebih terperinci silakan kau baca pola folklor berikut ini.

Nyi Pohaci

Alkisah Nyi Pohaci terlahir dari sebutir telur yang berasal dari air mata Dewa Naga Anta. Dewa Naga Anta menangis alasannya yakni dimarahi oleh Batara Narada. Sesungguhnya Dewa Naga Anta ingin membantu pembangunan istananya Dewa Guruingin, namun alasannya yakni Dewa Naga Anta tidak mempunyai tangan, maka tidak sanggup dilakukannya. Tiga tetas air mata Naga Anta berubah menjadi menjadi tiga butir telur dan digigitnya perlahan untuk dibawa kepada Dewa Guru.

Dalam perjalanan, ia tidak menjawab sapaan Elang alasannya yakni mulutnya penuh dengan telur. Karena tidak menjawab sapaan, Elang kemudian menyambar Naga Anta sehingga dua telur terjatuh ke bumi berubah menjadi menjadi dua ekor babi hutan yang berjulukan Kakabuat dan Budug Basu. Sebutir telur yang selamat balasannya hingga ke hadapan Dewa Guru dan diperintahkannya Naga Anta untuk mengerami telur tersebut. Setelah menetas, muncullah seorang bayi bagus yang diberi nama Nyi Pohaci. Bayi yang bagus tersebut balasannya disusui oleh Dewi Umah; istri Dewa Guru. Setelah Nyi Pohaci beranjak dewasa, Dewa Guru berniat menyuntingnya. Namun, Nyi Pohaci jatuh sakit dan wafat. Nyi Pohaci dimakamkan di bumi. Dari makamnya muncul beraneka tumbuhan yang dibutuhkan masyarakat Sunda. Kepala Nyi Pohaci berubah menjadi menjadi pohon kelapa, mata kanannya menjadi padi putih, mata kiri menjadi padi merah, hatinya menjadi ketan, paha kanan menjadi bambu aur, paha kiri menjadi bambu tali, betisnya menjadi pohon enau, ususnya menjadi akar tunjang, dan rambutnya menjadi rerumputan.

Sayangnya, Kalabuat dan Budug Basu sering merusak tanaman-tanaman tersebut. Untuk menjaga tanaman-tanaman tersebut, Yang Maha Wenang membuat Jaka Sadana (Sulanjana), Sri Sadana, dan Rambut Sadana yang berasal dari tiga tetes air mata Yang Maha Wenang. Selain itu, untuk memperbanyak tanaman-tanaman tersebut di Kerajaan Pajajaran, Dewa Guru juga memerintah Batara Semar. (Sumber: www.mail-archive.com)

Pada awal pembentukan disiplin antropologi di Indonesia, para jago etnografi berusaha untuk mendeskripsikan banyak sekali macam kebudayaan yang tersebar luas di tanah air. Penelitian tersebut ditulis dalam buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia karangan Koentjaraningrat yang berisi esai atau kumpulan goresan pena mengenai laporan etnografi kebudayaan suku bangsa di Indonesia.

1. Konsep Budaya Lokal


Budaya lokal biasanya didefinisikan sebagai budaya orisinil dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Menurut J.W. Ajawaila, budaya lokal yakni ciri khas budaya sebuah kelompok masyarakat lokal. Akan tetapi, tidak gampang untuk merumuskan atau mendefinisikan konsep budaya lokal. Menurut Irwan Abdullah, definisi kebudayaan hampir selalu terikat pada batas-batas fisik dan geografis yang jelas. Misalnya, budaya Jawa yang merujuk pada suatu tradisi yang berkembang di Pulau Jawa. Oleh alasannya yakni itu, batas geografis telah dijadikan landasan untuk merumuskan definisi suatu kebudayaan lokal. Namun, dalam proses perubahan sosial budaya telah muncul kecenderungan mencairnya batas-batas fisik suatu kebudayaan. Hal itu dipengaruhi oleh faktor percepatan migrasi dan penyebaran media komunikasi secara global sehingga tidak ada budaya lokal suatu kelompok masyarakat yang masih sedemikian asli.

Menurut Geertz (1981) dalam bukunya Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia, di Indonesia dikala ini terdapat lebih 300 dari suku bangsa yang berbicara dalam 250 bahasa yang berbeda dan mempunyai karakteristik budaya lokal yang berbeda pula. Wilayah Indonesia mempunyai kondisi geografis dan iklim yang berbeda-beda. Misalnya, wilayah pesisir pantai Jawa yang beriklim tropis hingga wilayah pegunungan Jayawijaya di Provinsi Papua yang bersalju. Perbedaan iklim dan kondisi geografis tersebut besar lengan berkuasa terhadap kemajemukan budaya lokal di Indonesia.

Pada dikala nenek moyang bangsa Indonesia tiba secara bergelombang dari kawasan Cina Selatan sekitar 2000 tahun sebelum Masehi, keadaan geografis Indonesia yang luas tersebut telah memaksa nenek moyang bangsa Indonesia untuk menetap di kawasan yang terpisah satu sama lain. Isolasi geografis tersebut menjadikan penduduk yang menempati setiap pulau di Nusantara tumbuh menjadi kesatuan suku bangsa yang hidup terisolasi dari suku bangsa lainnya. Setiap suku bangsa tersebut tumbuh menjadi kelompok masyarakat yang disatukan oleh ikatan-ikatan emosional serta memandang diri mereka sebagai suatu kelompok masyarakat tersendiri. Selanjutnya, kelompok suku bangsa tersebut berbagi kepercayaan bahwa mereka mempunyai asal-usul keturunan yang sama dengan didukung oleh suatu kepercayaan yang berbentuk mitos-mitos yang hidup di dalam masyarakat.

Kemajemukan budaya lokal di Indonesia tercermin dari keragaman budaya dan budbahasa istiadat dalam masyarakat. Suku bangsa di Indonesia, menyerupai suku Jawa, Sunda, Batak, Minang, Timor, Bali, Sasak, Papua, dan Maluku mempunyai budbahasa istiadat dan bahasa yang berbeda-beda. Setiap suku bangsa tersebut tumbuh dan berkembang sesuai dengan alam lingkungannya. Keadaan geografis yang terisolir menimbulkan penduduk setiap pulau berbagi pola hidup dan budbahasa istiadat yang berbeda-beda. Misalnya, perbedaan bahasa dan budbahasa istiadat antara suku bangsa Gayo-Alas di kawasan pegunungan Gayo-Alas dengan penduduk suku bangsa Aceh yang tinggal di pesisir pantai Aceh.

Menurut Soekmono (1998) dalam Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I, masyarakat awal pada zaman praaksara yang tiba pertama kali di Kepulauan Indonesia yakni ras Austroloid sekitar 20.000 tahun yang lalu. Selanjutnya, disusul kedatangan ras Melanosoid Negroid sekitar 10.000 tahun lalu. Ras yang tiba terakhir ke Indonesia yakni ras Melayu Mongoloid sekitar 2500 tahun SM pada zaman Neolithikum dan Logam. Ras Austroloid kemudian bermigrasi ke Australia dan sisanya hidup di di Nusa Tenggara Timur dan Papua. Ras Melanesia Mongoloid berkembang di Maluku dan Papua, sedangkan ras Melayu Mongoloid menyebar di Indonesia belahan barat. Ras-ras tersebut tersebar dan membentuk banyak sekali suku bangsa di Indonesia. Kondisi tersebut juga mendorong terjadinya kemajemukan budaya lokal banyak sekali suku bangsa di Indonesia.

Menurut James J. Fox, di Indonesia terdapat sekitar 250 bahasa daerah, kawasan aturan adat, aneka ragam kebiasaan, dan budbahasa istiadat. Namun, semua bahasa kawasan dan dialek itu gotong royong berasal dari sumber yang sama, yaitu bahasa dan budaya Melayu Austronesia. Di antara suku bangsa Indonesia yang banyak jumlahnya itu mempunyai dasar persamaan sebagai berikut.

a. Asas-asas yang sama dalam bentuk komplotan masyarakat, menyerupai bentuk rumah dan budbahasa perkawinan.
b. Asas-asas persamaan dalam aturan adat.
c. Persamaan kehidupan sosial yang menurut asas kekeluargaan.
d. Asas-asas yang sama atas hak milik tanah.

2. Ciri Budaya Lokal


Ciri-ciri budaya lokal sanggup dikenali dalam bentuk kelembagaan sosial yang dimiliki oleh suatu suku bangsa. Kelembagaan sosial merupakan ikatan sosial bersama di antara anggota masyarakat yang mengoordinasikan tindakan sosial bersama antara anggota masyarakat. Lembaga sosial mempunyai orientasi sikap sosial ke dalam yang sangat kuat. Hal itu ditunjukkan dengan orientasi untuk memenuhi kebutuhan anggota forum sosial tersebut. Dalam forum sosial, hubungan sosial di antara anggotanya sangat bersifat langsung dan didasari oleh loyalitas yang tinggi terhadap pemimpin dan gengsi sosial yang dimiliki. Bentuk kelembagaan sosial tersebut sanggup dijumpai dalam sistem gotong royong di Jawa dan di dalam sistem banjar atau ikatan budbahasa di Bali. Gotong royong merupakan ikatan hubungan tolong-menolong di antara masyarakat desa. Di kawasan pedesaan pola hubungan gotong royong sanggup terwujud dalam banyak aspek kehidupan. Kerja bakti, higienis desa, dan panen bersama merupakan beberapa pola dari acara gotong royong yang hingga kini masih sanggup ditemukan di kawasan pedesaan. Di dalam masyarakat Jawa, kebiasaan gotong royong terbagi dalam banyak sekali macam bentuk. Bentuk itu di antaranya berkaitan dengan upacara siklus hidup manusia, menyerupai perkawinan, kematian, dan panen yang dikemas dalam bentuk selamatan.

Tokoh Antropologi :

Clifford Geertz
 Setiap kawasan tentu mempunyai kebudayaan sendiri Pintar Pelajaran Kebudayaan Lokal : Pengertian, Konsep, Ciri-ciri, Contoh, Macam-macam
Clifford Geertz (ccs.research.yale.edu)
Clifford Geertz, seorang antropolog dari Amerika Serikat yang banyak menulis mengenai kebudayaan Bali dan Jawa menguraikan citra program selamatan dalam masyarakat Jawa dalam karya monumentalnya The Religion of Java (Abangan, Santri, dan Priyayi). Karya ini menunjukkan citra bahwa salah satu aspek dari kebudayaan masyarakat Jawa yang tak lekang dimakan usia yakni budaya selamatan. Sampai sekarang, kita masih bisa menemukan program selamatan meskipun dalam kemasan yang berbeda di kawasan perkotaan dan pedesaan. Karyanya mengenai kebudayaan Bali yang begitu detail dan kaya akan data lapangan serta interpretasi yang mengagumkan ditulis dalam buku NEGARA The Theatre State in Nineteenth Century Bali (Negara Teater: Kerajaan-Kerajaan di Bali Abad Sembilan Belas).

Di dalam masyarakat Jawa, pelaksanaan selamatan ada yang dilakukan secara individual ataupun secara kolektif. Tujuannya yakni untuk memperkuat ikatan sosial masyarakat yang dilakukan oleh suatu kelompok sosial tertentu. Misalnya, keraton Yogyakarta dan Surakarta yakni kelompok masyarakat yang paling sering melaksanakan ritual selamatan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, menyerupai gerebeg, sedekah bumi, upacara apeman, dan gunungan yang masih dilaksanakan hingga sekarang.

Di kawasan Bali, beberapa bentuk kebudayaan lokal masih dilaksanakan hingga dikala ini. Misalnya, mebanten atau membuat sesaji setiap hari sebanyak tiga kali oleh masyarakat Bali sebagai perwujudan rasa syukur, hormat, dan penyembahan kepada Tuhan. Konsep kepercayaan masyarakat Bali yang menjadi budaya yakni budbahasa untuk melilitkan kain berwarna hitam dan putih pada batang pohon yang besar, tiang, dan bangunan di setiap kawasan di Pulau Bali. Selain itu, pola budaya lokal yakni upacara Ngaben yang dikala ini menjadi tontonan para wisatawan yang tiba ke Bali.

Ngaben yakni upacara tradisi membakar mayit orang yang sudah meninggal sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang sudah meninggal. Salah satu acara masyarakat Bali yang diikat oleh prinsip kebudayaan lokal yakni sistem pengairan di Bali yang disebut Subak. Subak yakni salah satu bentuk gotong royong atau sistem pengelolaan air untuk mengairi lahan persawahan berbentuk organisasi yang anggotanya diikat oleh pura subak. Di dalam sistem subak terdapat pembagian kerja menurut hak dan kewajiban sebagai anggota subak. Oleh alasannya yakni itu, apabila ada warga yang tidak menjadi anggota maka ia tidak berhak atas jatah air untuk mengairi sawahnya dan mengurus pura serta bebas dari semua kewajiban di sawah dan pura.

Budaya lokal di Indonesia mempunyai banyak sekali perbedaan. Suku-suku bangsa yang sudah banyak bergaul dengan masyarakat luar dan bersentuhan dengan budaya modern, menyerupai suku Jawa, Minangkabau, Batak, Aceh, dan Bugis mempunyai budaya lokal yang berbeda dengan suku bangsa yang masih tertutup atau terisolasi menyerupai suku Dayak di pedalaman Kalimantan atau suku bangsa Wana di Sulawesi Tengah. Perbedaan budaya tersebut bisa menimbulkan konflik sosial akhir adanya perbedaan sikap yang dilandasi nilai-nilai budaya yang berbeda. Oleh alasannya yakni itu, diharapkan konsep budaya yang mengandung nilai kebersamaan, saling menghormati, toleransi, dan solidaritas antar warga masyarakat yang hidup dalam komunitas yang sama. Misalnya, para mahasiswa yang tinggal di rumah indekos di Yogyakarta. Para mahasiswa tersebut berasal dari banyak sekali kawasan di Indonesia yang mempunyai budaya dan budbahasa istiadat yang berbeda-beda. Perbedaan budaya tersebut bisa menimbulkan konflik sosial dalam kehidupan sehari-hari apabila tidak dikelola dengan baik. Oleh alasannya yakni itu, diharapkan rasa toleransi dan saling menghormati antar penghuni rumah indekos. Sikap toleransi antar penghuni rumah indekos tersebut akan muncul apabila didasari prinsip relativisme budaya yang memandang bahwa setiap kebudayaan tersebut berbeda dan unik serta tidak ada nilai-nilai budaya suatu kelompok yang dianggap lebih baik atau jelek dibanding kelompok lainnya.

Anda kini sudah mengetahui Budaya Lokal. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Referensi :

Dyastriningrum. 2009. Antropologi : Kelas XI : Untuk Sekolah Menengan Atas dan MA Program Bahasa. Pusat Perbukuan Departemen Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 90.

Geertz, H. 1981. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.

Lies, S. dan Budiarti, A. C. 2009. Antropologi Jilid 1 : Untuk Kelas XI Sekolah Menengan Atas dan MA. Pusat Perbukuan Departemen Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 137.

Soekmono.1998. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta: PT Kanisius.

No comments:

Post a Comment