Friday, November 22, 2019

Pintar Pelajaran Perkembangan Indonesia Pada Kala Thomas Stanford Raffles : Land Rente System (1811-1816)

Artikel dan Makalah perihal Perkembangan Indonesia pada Masa Thomas Stanford Raffles : Land Rente System (1811-1816) - Perluasan kekuasan Perancis pasca Revolusi Perancis mendorong Inggris menduduki kembali koloni Belanda. Tanjung Harapan berhasil diduduki Inggris pada 1806, disusul Maluku pada 1810. Di bawah pimpinan Lord Minto, armada Inggris menyerang Batavia sehingga Gubernur Jenderal VOC, Jan Willem Janssens yang gres saja menggantikan Daendels tahun 1811, terpaksa mengungsi ke Semarang. Janssens terpaksa menandatangani surat perjanjian pada 18 September 1811. (Baca juga : Penjajahan Inggris di Indonesia)

Perjanjian atau kapitulasi tersebut berisi penyerahan tanpa syarat semua koloni Belanda. Kerajaan Inggris kemudian mengangkat Thomas Stanford Raffles sebagai letnan gubernur untuk wilayah koloni VOC. Ia berkuasa dari tahun 1811 sampai 1816. Selanjutnya Raffles mengirim para pejabat Inggris ke aneka macam wlayah untuk mengambil alih pemerintahan. Untuk Makassar dan Daerah Taklukannya dikirim Richard Phillips yang memerintah pada 1812-1814. Setelah itu residen Makassar yang baru, Richard Phillpis, membuka Makassar untuk semua pedagang dari koloni-koloni bangsa Eropa lainnya. Philips berusaha menyejahterakan rakyat Makassar, contohnya dengan menghapus dan meringankan pajak gerobak angkutan dan kuda beban serta mengurangi pajak candu menjadi lima persen dari nilai jual.

Memang, Raffles dalam masa pemerintahannya ingin menerapkan pemerintahan yang bersifat liberal ibarat yang dilakukan Inggris di India yang menurut pada sistem yang dikenal dengan istilah Land Rente System (Sistem Sewa Tanah). Dia menginginkan kebijakan yang dilaksanakan tidak bersifat paksaan. Oleh alasannya ialah itu Raffles menghapuskan sistem kerja rodi, menghapuskan Pelayaran Hongi di Maluku, pengawasan tanah eksklusif oleh pemerintah dan akhirnya eksklusif dipungut oleh pemerintah tanpa melalui mediator bupati, dan penyewaan tanah di beberapa tempat menurut kontrak dan terbatas waktunya.

Sistem sewa tanah ini tidak diberlakukan di Batavia dan Priangan, alasannya ialah di daerah-daerah sekitar Batavia umumnya ialah milik swasta, sedangkan Priangan merupakan tempat wajib penanaman kopi yang memberi laba yang besar bagi pemerintah kolonial. Sistem sewa tanah ini tidak berhasil dengan baik, alasannya ialah perubahan sistem ini tidak dibarengi dengan perubahan mental dan kultur dari unsur-unsur pemerintahan yang umumnya masih hidup dalam alam tradisional dan feodalisme. Ditambah dengan tidak tersedianya tenaga-tenaga yang terlatih dan berpengalaman.

Dengan politik sewa tanahnya yang diilhami dari imbas paham liberal, rakyat Indonesia belum paham sepenuhya dengan sistem ekonomi uang. Oleh alasannya ialah itu, Sistem Sewa Tanah dianggap mengalami kegagalan, alasannya ialah rakyat masih terbiasa dengan sistem ekonomi tertutup, di mana pembayaran pajak belum sepenuhnya dengan uang tetapi in natura atau barter. Faktor utama lainnya yang dianggap sebagai biang kegagalan liberalisasi ekonomi ialah masih kuatnya praktik budaya feodalisme di Indonesia.

Pemerintahan Raffles di Indonesia hanya berlangsung lima tahun. Perubahan politik di Eropa mengakhiri pemerintahannya. Pada 1814 Napoleon Bonaparte mengalah kepada Inggris dan sekutunya. Menurut Perjanjian London, status Indonesia kemudian kembali pada masa sebelum perang, yaitu di bawah kekuasaan Belanda.

Isi Perjanjian London tahun 1816
  1. Pemerintah Inggris menyerahkan kembali tanah jajahannya kepada Belanda sebagaimana yang disepakati dalam Kapitulasi Tuntang.
  2. Inggris menerima kan Sailan dan Tanjung Harapan dari Belanda sebagai imbalan mempertahankan tempat itu dari serangan Prancis.
Anda kini sudah mengetahui Perkembangan Indonesia pada Masa Thomas Stanford Raffles: Land Rente System. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Referensi :

Suwito, T. 2009. Sejarah : Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA) Kelas XI. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 368.

No comments:

Post a Comment