Thursday, September 12, 2019

Pintar Pelajaran Etnografi, Antropologi, Pengertian, Metode, Penelitian, Contoh, Komunikasi, Definisi, Studi

Etnografi, Antropologi, Pengertian, Metode, Penelitian, Contoh, Komunikasi, Definisi, Studi -Kebudayaan merupakan sesuatu yang dinamis, selalu berkembang seiring dengan pola sikap insan yang terus menerus berubah. Perubahan-perubahan sikap manusia, baik disengaja atau tidak, telah membawa dampak terhadap banyak sekali aspek kehidupan insan termasuk didalamnya yakni kebudayaan insan itu sendiri. Jika kita renungkan sejenak mengenai bagaimana potret kehidupan masyarakat Indonesia pada masa lampau, sepuluh tahun yang kemudian misalnya, tentu sangat berbeda dengan pola kehidupan yang sekarang, bukan? Coba Anda teliti kira-kira apakah yang berubah pada kehidupan masyarakat di sekitar Anda selama sepuluh tahun terakhir?

Sebagai contoh, mungkin sepuluh tahun yang kemudian alat komunikasi yang dipergunakan masyarakat di sekitarmu tidak menyerupai yang sekarang? Mungkin juga, alat transportasi yang menjadi andalan masyarakat luas sepuluh tahun yang kemudian berbeda dengan yang sekarang, ataupun sistem pemerintahan yang diterapkan di dalam kehidupan bermasyarakat sepuluh tahun yang kemudian berbeda dengan sekarang, dan seterusnya.

Dari perbedaan-perbedaan tersebut, pada hakikatnya telah memperlihatkan terjadinya perubahan kebudayaan. Pengamatan yang kita lakukan untuk membandingkan kondisi kebudayaan masyarakat di sekitar kita sepuluh tahun yang kemudian dengan kebudayaan masyarakat yang kini merupakan contoh dari penelitian sederhana yang berkaitan dengan kebudayaan manusia.

Nah, tidak sulit kiranya bagi para siswa Sekolah Menengan Atas untuk melaksanakan penelitian yang berkaitan dengan kebudayaan. Hasil penelitian tersebut, jikalau dituangkan dalam bentuk karangan atau uraian merupakan deskripsi mengenai kebudayaan masyarakat yang disebut etnografi.

A. Pengertian Etnografi

Istilah etnografi berasal dari kata ethnos yang berarti bangsa dan graphy yang berarti tulisan. Jadi, pengertian etnografi yakni deskripsi ihwal bangsa-bangsa. Beberapa pendapat hebat antropologi mengenai pengertian etnografi sebagai berikut.
  1. Menurut pendapat Spradley dalam Yad Mulyadi (1999), etnografi yakni kegiatan menguraikan dan menjelaskan suatu kebudayaan.
  2. Menurut pendapat Spindler dalam Yad Mulyadi (1999), etnografi yakni kegiatan antropologi di lapangan.
  3. Menurut pendapat Koentjaraningrat (1985), isi karangan etnografi yakni suatu deskripsi mengenai kebudayaan suatu suku bangsa.

Cara untuk melaksanakan studi ihwal etnografi, bukanlah hal yang gampang lantaran berkaitan dengan sikap dan kebiasaan yang dilakukan oleh anggota suatu suku bangsa. Padahal ada suku bangsa yang anggotanya sangat banyak bahkan mencapai jutaan penduduk. Oleh lantaran itu, spesialis antropologi yang menulis ihwal sebuah etnografi tentu tidak bisa meliputi keseluruhan penduduk anggota dari suku bangsa yang besar tersebut dalam deskripsinya. Dalam penulisan etnografi, pada umumnya seorang peneliti membatasi objek penelitian dengan mengambil salah satu unsur kebudayaan yang diteliti pada sekelompok masyarakat tertentu.

Misalnya : meneliti sistem kesenian tradisional masyarakat daerah tertentu, meneliti ihwal macam-macam upacara adat yang berkembang dalam masyarakat di suatu daerah. Jika daerah yang dijadikan objek pengamatan terlalu luas pada umumnya peneliti membatasi dengan mengambil penggalan kecil dari daerah tersebut yang dianggap sanggup mewakili keadaan di seluruh daerah pengamatan. Misal: untuk mengamati adat istiadat masyarakat suku Jawa diambil daerah penelitian pada masyarakat pedesaan di wilayah Kabupaten Klaten – Surakarta yang dianggap sanggup mewakili keseluruhan sikap khas orang Jawa.

Pada zaman kini memang tidak gampang untuk memperoleh daerah yang penduduknya hanya dihuni oleh suku bangsa asli, apalagi jikalau penelitian dilakukan di kota besar atau desa yang memungkinkan hadirnya kaum pendatang menetap di daerah tersebut.

Dalam penyusunan sebuah karangan etnografi, kita sanggup memakai tahapan sebagai berikut.

1. Pemilihan lokasi penelitian

Menurut J.A. Clifton dalam bukunya yang berjudul Introduction to Cultural Anthropology, batasan lokasi yang akan dipergunakan sebagai penelitian sebagai berikut.

a. Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh satu desa atau lebih.
b. Kesatuan masyarakat yang terdiri atas penduduk yang mengucapkan satu bahasa atau satu logat bahasa yang sama.
c Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh garis batas suatu daerah politik-administratif.
d. Kesatuan masyarakat yang batasnya ditentukan oleh rasa identitas penduduknya sendiri.
e. Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh suatu wilayah geografi yang merupakan kesatuan daerah fisik.
f. Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh kesatuan ekologi.
g. Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang mengalami satu pengalaman sejarah yang sama.
h. Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang frekuensi interaksinya satu dan lainnya merata tinggi.
i. Kesatuan masyarakat dengan susunan sosial yang seragam atau homogen.

Dalam karangan etnografi, lokasi pe-nelitian yang telah ditentukan perlu di deskripsikan. Deskripsi lokasi penelitian mengenai hal-hal berikut.

a. Ciri-ciri geografis, yaitu mengenai iklim (misal: tropis, sedang, mediteran, dan kutub), sifat daerah (misal: pegunungan, dataran rendah, dataran tinggi, kepulauan, rawa-rawa, hutan tropikal, sabana, stepa, gurun, dan sebagainya), keadaan suhu rata-rata dan curah hujan.
b. Ciri-ciri geologi dan geomorfologi yang berkaitan dengan kondisi tanah.
c. Keadaan tanaman dan fauna.
d. Data demografi yang berkaitan dengan kependudukan. Misalnya mengenai: data jumlah penduduk, jenis kelamin, laju natalitas, mortalitas, dan data mengenai migrasi atau mobilitas penduduk.
e. Catatan ihwal asal mula sejarah terbentuknya suku bangsa (penduduk di lokasi pengamatan tersebut).

Untuk melengkapi deskripsi mengenai lokasi penelitian perlu dilengkapi dengan peta-peta yang memenuhi syarat ilmiah. Peta-peta tersebut melukiskan keadaan lokasi penelitian.

2. Menyusun kerangka etnografi

Setelah lokasi ditetapkan, maka langkah berikutnya yakni menentukan materi mengenai kesatuan kebudayaan suku bangsa di lokasi yang dipilih tersebut. Hal itu merupakan kerangka etnografi. Penelitian etnografi merupakan penelitian yang bersifat holistik atau menyeluruh, artinya penelitian etnografi tidak hanya mengarahkan perhatiannya kepada salah satu atau beberapa variabel tertentu saja. Hal itu didasarkan pada pandangan bahwa budaya merupakan keseluruhan sistem yang terdiri atas bagian-bagian yang tidak sanggup dipisahkan.

Unsur-unsur dalam kebudayaan suatu suku bangsa yang sanggup dijadikan sebagai kerangka etnografi sebagai berikut.

a. Bahasa. 
b. Sistem teknologi. 
c. Sistem ekonomi. 
d. Organisasi sosial.
e. Sistem pengetahuan.
f. Kesenian.
g. Sistem religi.

Keseluruhan unsur-unsur di atas bersifat universal, artinya semua kebudayaan suku bangsa niscaya terdapat unsur-unsur tersebut. Mengenai urutan mana yang menjadi prioritas penelitian dari keseluruhan unsur kebudayaan tersebut bergantung sepenuhnya kepada peneliti. Namun, sistem urutan yang biasa dipergunakan dalam studi etnografi diawali dari hal-hal yang bersifat konkret menuju ke hal-hal yang paling abstrak. Dalam hal ini unsur bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang paling konkret, lantaran hal pertama yang kita jumpai dalam penelitian terhadap penduduk di suatu daerah yakni bahasa pergaulan yang mereka gunakan sehari-hari.

Amat jarang kiranya seseorang eksklusif memakai bahasa isyarat ketika pertama bertemu dengan orang asing. Hal yang lazim dilakukan oleh orang ketika pertama bertemu dengan orang asing yakni mencoba mengajaknya berkomunikasi dengan bahasa lisan yang biasa ia gunakan.

Dengan mengamati interaksi sesama penduduk, sanggup ditemukan jenis bahasa lokal yang mereka gunakan sebagai komunikasi lisan sehari-hari. Dengan menjumpai pemakaian bahasa ini, peneliti sanggup menganalisis ihwal kedudukan bahasa lokal dikaitkan dengan bahasa resmi yang dipergunakan sebagai bahasa pengantar dalam komunikasi lisan antar penduduk suku bangsa yang berbeda.

Dengan mengamati sistem teknologi yang berkembang di dalam kehidupan penduduk, peneliti sanggup memfokuskan perhatiannya kepada benda-benda kebudayaan dan alat-alat kehidupan sehari-hari yang sifatnya konkret. Berkaitan dengan sistem ekonomi yang menjadi perhatian dalam penulisan etnografi, hal yang perlu mendapatkan perhatian dari peneliti yakni jenis mata pencaharian utama yang dilakukan penduduk dalam upaya memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Unsur kebudayaan menyangkut ihwal organisasi sosial. Unsur kebudayaan sebagai materi deskripsi kebudayaan, antara lain berkaitan dengan sistem kekerabatan yang dianut, sistem pemerintahan, pembagian kerja, ataupun acara sosial yang sifatnya kolektif dan mencerminkan suatu birokrasi.

Penulisan deskripsi kebudayaan yang menyangkut sistem pengetahuan yakni hal-hal yang berkaitan dengan upaya penduduk untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaannya, termasuk dalam hal ini yakni bagaimana penduduk berupaya melaksanakan pembiasaan terhadap lingkungan alam sekitarnya. Sebagai contoh, untuk meningkatkan produksi pertanian, penduduk mengembangkan sistem pertanian hidrophonik dengan memanfaatkan setiap jengkal tempat yang kosong untuk ditanami sayuran atau pun buah-buahan di dalam pot tanpa menggantungkan tersedianya lahan pertanian yang luas.

Deskripsi ihwal sistem kesenian yang ada dalam kehidupan masyarakat meliputi ihwal banyak sekali bidang seni yang memperlihatkan identitas khas masyarakat/suku bangsa tersebut. Bidang seni yang memperlihatkan identitas khas masyarakat/suku bangsa, antara lain seni bangunan, seni lukis, seni tari, seni musik tradisional, dan seni vokal.

Deskripsi ihwal sistem religi yang dianut masyarakat/ suku bangsa di daerah penelitian berkaitan dengan kepercayaan, gagasan, ataupun keyakinan-keyakinan yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat/suku bangsa tersebut. Oleh lantaran itu, peneliti harus tanggap terhadap unsur dalam sistem religi tersebut.


Studi etnografi tidak terlepas dari teknik yang dipergunakan dalam melaksanakan penelitian etnografi, lantaran etnografi merupakan sebuah pendekatan penelitian secara teoritis. Oleh lantaran itu, seorang peneliti di lapangan terlebih dahulu harus menguasai metode-metode yang terkait dengan kegiatan penelitiannya.

Banyak metode yang sanggup dipilih dalam melaksanakan studi etnografi. Metode yang paling sempurna digunakan, antara lain metode observasi dan metode interview.

a. Metode Observasi

Observasi atau pengamatan merupakan salah satu metode yang dipergunakan dalam penelitian. Dalam arti sempit, metode observasi dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki. Dalam arti luas, observasi merupakan proses yang kompleks dan tersusun dari banyak sekali proses biologis maupun psikologis. Dalam metode observasi yang terpenting yakni proses pengamatan dan ingatan.

Kemungkinan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam proses pengamatan sanggup diatasi dengan cara sebagai berikut.
  1. Menyediakan waktu yang lebih banyak biar sanggup melihat objek yang komplek dari banyak sekali segi secara berulang-ulang.
  2. Menggunakan orang ( petugas pengamat/observers) yang lebih banyak untuk melihat objeknya dari segi-segi tertentu dan mengintegrasikan hasil-hasil penyelidikan mereka biar diperoleh citra ihwal keseluruhan objeknya.
  3. Mengambil lebih banyak objek yang sejenis biar dalam jangka waktu yang terbatas sanggup disoroti objek-objek itu dari segi-segi yang berbeda-beda oleh penyelidik yang terbatas jumlahnya.
Untuk mengatasi keterbatasan ingatan dalam proses observasi sanggup diantisipasi dengan cara sebagai berikut.
  1. Mengadakan pencatatan biasa atau dengan memakai check list.
  2. Menggunakan alat-alat mekanik (mechanical device) menyerupai tape recorder, kamera, dan video. Alat-alat tersebut berfungsi mengabadikan fenomena yang sedang diamati.
  3. Menggunakan lebih banyak observers.
  4. Memusatkan perhatian pada data yang relevan.
  5. Mengklasifikasikan gejala-gejala secara tepat.
  6. Menambah materi apersepsi ihwal objek yang akan diamati.
Menurut Rummel, beberapa petunjuk yang sanggup diikuti dalam melaksanakan observasi sebagai berikut.
  1. Terlebih dahulu mencari informasi mengenai hal-hal yang akan diamati.
  2. Tetapkan tujuan- tujuan umum dan tujuan-tujuan khusus yang akan dicapai melalui observasi tersebut.
  3. Tetapkan suatu cara tertentu untuk mencatat hasil-hasil observasi.
  4. Lakukan pembatasan terhadap macam-macam tingkat kategori yang akan dipergunakan.
  5. Lakukan observasi secermat-cermatnya.
  6. Catatlah setiap tanda-tanda yang muncul secara terpisah.
  7. Pelajarilah secara baik dan kuasai cara pemakaian alat-alat pencatatan dan tata cara mencatat hasil pengamatan sebelum melaksanakan observasi.
Menurut Jehoda, observasi menjadi alat penelitian ilmiah, apabila:
  1. mengabdi kepada tujuan-tujuan penelitian yang telah dirumuskan,
  2. direncanakan secara sistematik, bukan terjadi secara tidak teratur,
  3. dicatat dan dihubungkan secara sistematik dengan proposisi-proposisi yang lebih umum, dan tidak hanya dilaksanakan untuk memenuhi rasa ingin tahu saja, dan
  4. dapat dicheck dan dikontrol validitas, reliabilitas, dan ketelitiannya sebagaimana data ilmiah lainnya.
Menurut Good, observasi dalam metodologi penelitian mengandung enam ciri sebagai berikut.
  1. Obervasi mempunyai arah yang khusus.
  2. Observasi ilmiah ihwal tingkah laris yakni sistematik.
  3. Observasi bersifat kuantitatif.
  4. Observasi mengadakan pencatatan dengan segera.
  5. Observasi menuntut adanya keahlian.
  6. Hasil-hasil observasi sanggup dicheck dan dibuktikan untuk menjamin reliabilitas dan validitasnya.
Untuk melaksanakan metode observasi, peneliti sanggup menentukan teknik-teknik observasi yang sempurna sesuai dengan situasi dan kondisi. Adapun teknik observasi yang sanggup dipilih, antara lain:
  1. observasi partisipan - observasi non partisipan;
  2. observasi sistematik - observasi non sistematik;
  3. observasi eksperimental - observasi non eksperimental.
Untuk memahami, marilah kita pelajari satu persatu:

1) Observasi Partisipan - Observasi Non partisipan

Observasi partisipan pada umumnya dipergunakan dalam penelitian yang sifatnya eksploratif, termasuk dalam menyusun karangan etnografi. Observasi partisipan yakni observasi yang dilakukan di mana observers atau orang yang melaksanakan observasi turut ambil penggalan dalam kehidupan masyarakat yang diobservasi. Sebagai contoh, untuk meneliti pola kehidupan kaum gelandangan maka observers turut membaur dalam kehidupan para gelandangan tersebut. Dalam memakai teknik observasi partisipan ini, seorang observers perlu memerhatikan masalah-masalah sebagai berikut.

a) Materi apa saja yang akan diobservasi. Untuk keperluan ini, observers sanggup menyiapkan daftar mengenai hal-hal yang akan diamati.
b) Waktu dan bentuk pencatatan. Saat pencatatan yang terbaik yakni model "on the spot", yaitu melaksanakan pencatatan segera ketika pengamatan berlangsung. Tiap pencatatan sanggup dilakukan dalam dua bentuk, yaitu bentuk kronologis dan bentuk sistematik. Bentuk kronologis didasarkan pada urutan kejadiannya, sedangkan bentuk sistematik, yaitu memasukkan tiap-tiap insiden dalam kategori-kategori masing-masing tanpa memerhatikan urutan kejadiannya.
c) Hubungan baik antara observers dengan objek yang diamati (observees). Untuk mewujudkan kekerabatan yang baik antara observers dengan observees sanggup dilakukan dengan cara:
  1. mencegah timbulnya kecurigaan-kecurigaan;
  2. mengadakan good raport, yaitu kekerabatan antarpribadi yang ditandai oleh semangat kerja sama, saling mempercayai, dan saling membantu antara observers dengan observees;
  3. menjaga biar situasi dalam masyarakat yang diamati tetap dalam situasi yang wajar.
d) Intensi dan ekstensi keterlibatan observers dalam partisipasi, yaitu sejauh mana keterlibatan observers dalam observasi partisipan. Dalam hal ini observers sanggup mengambil penggalan dalam kegiatan observasi, yaitu dengan cara sebagai berikut.
  1. Peneliti (observers) mengikuti kegiatan objek yang diamati (observees) hanya pada saat-saat tertentu saja yang oleh peneliti dianggap penting. Hal itu sering disebut sebagai partisipasi sebagian (partial participation)
  2. Peneliti (observers) mengikuti seluruh kegiatan objek yang diamati (observees) dari awal hingga simpulan kegiatan penelitian tersebut. Hal itu sering disebut sebagai partisipasi penuh (full participation).
Adapun sejauh mana tingkat keterlibatan atau partisipasi peneliti (observers) dalam setiap kegiatan pengamatan yakni sebagai berikut.
  1. Peneliti (observers) semaksimal mungkin turut terlibat atau mengikuti setiap kegiatan yang dilakukan oleh objek yang diamati (observees). Dalam hal ini peneliti terlibat secara intensif (intensive participation).
  2. Peneliti (observers) hanya sedikit ambil penggalan dalam kegiatan objek yang diamati. Dalam hal ini peneliti tidak sepenuhnya terlibat, hanya sekilas saja (surfice participation). Penentuan tersebut sepenuhnya ada pada kemauan observers.
Adapun observasi non partisipan yakni observasi yang dilakukan di mana observers sama sekali tidak ikut terjun dalam kegiatan objek yang diamati.

2) Observasi Sistematik - Observasi Non Sistematik

Observasi sistematik sering disebut sebagai observasi berstruktur (structured observation). Observasi sistematik yakni observasi yang dilakukan berdasarkan kerangka pengamatan yang telah disiapkan sebelumnya. Di dalam kerangka pengamatan tersebut memuat hal-hal sebagai berikut.

a) Materi yang akan diobservasi. Materi yang akan diobservasi pada umumnya telah dibatasi, sehingga observers tidak mempunyai kebebasan dalam melaksanakan pengamatan.
b) Cara-cara pencatatan hasil observasi. Cara pencatatan hasil observasi dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan atau permasalahan yang telah dirumuskan terlebih dahulu, sehingga memudahkan untuk mengadakan kuantifikasi terhadap hasil pengamatan. Pembuatan daftar ini diawali dengan kegiatan sebagai berikut.
  1. Observasi pendahuluan.
  2. Perumusan sementara (konsep).
  3. Adanya uji coba (try out) terhadap konsep yang telah disusun.
  4. Perbaikan dari hasil uji coba.
  5. Dilakukan uji coba lagi - diperbaiki - diuji cobakan, dan seterusnya hingga diperoleh rumusan yang final.
c) Hubungan antara observers dengan observees.

Dalam hal ini, perlu adanya kolaborasi yang baik antara observers dengan observees, sehingga pengamatan sanggup berlangsung dalam situasi yang sewajarnya/tidak dibuat-buat.

Adapun observasi non sistematik yakni observasi yang berlangsung secara spontan/bebas tanpa adanya kerangka pengamatan. Observasi ini sering disebut sebagai observasi tak berstruktur.

3) Observasi Eksperimental - Observasi Non Eksperimental

Observasi Eksperimental sering disebut sebagai observasi dalam situasi tes. Ciri-ciri observasi eksperimen sebagai berikut.

a) Observers dihadapkan pada situasi perangsang yang dibuat seseragam mungkin untuk semua observees.
b) Situasi dibuat sedemikian rupa untuk memungkinkan variasi timbulnya tingkah laris yang akan diamati oleh observers.
c) Situasi dibuat sedemikian rupa, sehingga observees tidak mengetahui maksud yang gotong royong dari kegiatan observasi tersebut.
d) Observers membuat catatan-catatan dengan teliti mengenai cara-cara observees mengadakan aksireaksi, bukan hanya jumlah aksi-reaksi semata.

Observasi eksperimental dipandang sebagai cara penyelidikan yang relatif murni untuk menilik dampak kondisi-kondisi tertentu terhadap tingkah laris manusia. Dalam hal ini, faktor-faktor yang sanggup mempengaruhi tingkah laris observees telah dikontrol secermat-cermatnya, sehingga tinggal satu atau dua faktor untuk diamati sejauh mana pengaruhnya terhadap dimensi-dimensi tertentu dari tingkah laku.

Melalui observasi eksperimental, observers mempunyai kesempatan/peluang untuk mengamati sifatsifat tertentu yang jarang sekali muncul dalam situasi normal. Sebagai contoh, ketidakjujuran, keberanian, dan reaksi terhadap frustrasi. Observasi eksperimental merupakan observasi yang distandardisasi secermatcermatnya.

Dengan demikian, hasil observasi sanggup dipergunakan untuk menilai reaksi-reaksi khusus atau sikap istimewa dari setiap orang. Adapun observasi non eksperimental merupakan kebalikan dari observasi eksperimental. Hal yang paling utama dalam kegiatan observasi yakni terkumpulnya hasil observasi sebagai materi utama yang dipergunakan untuk menyusun kesimpulan terhadap hasil penelitian. Agar hasil observasi sanggup diperoleh secara optimal, dibutuhkan beberapa alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data hasil pelaksanaan observasi. 

Beberapa alat yang dipergunakan dalam kegiatan observasi sebagai berikut.
  1. Catatan anekdot (anecdotal record)
  2. Catatan berkala
  3. Daftar pengamatan (check list)
  4. Skala pengukuran (rating scale)
  5. Peralatan penunjang (mechanical devices)
Untuk memahaminya marilah kita pelajari satu persatu:

1) Catatan anekdot (anecdotal record)

Catatan anekdot (anecdotal record) sering disebut sebagai daftar riwayat kelakuan. Catatan anekdot (Anecdotal record) merupakan catatan-catatan yang dibuat oleh observers selama pengamatan berlangsung mengenai kelakuan-kelakuan yang dianggap luar biasa. Catatan tersebut dibuat secepat-cepatnya sesudah terjadi insiden yang dianggap istimewa. Hal yang dicatat yakni kronologis atau bagaimana insiden tersebut berlangsung dan bukan mengenai pendapatnya terhadap insiden tersebut. Penggunaan catatan anekdot (anecdotal record) memerlukan waktu yang sangat panjang, sehingga dinilai tidak efektif.

2) Catatan berkala

Catatan bersiklus dilakukan observers pada waktu tertentu saja secara periodik. Selanjutnya observers menuliskan kesan/pendapatnya.

3) Daftar pengamatan (check list)

Daftar pengamatan (check list) yakni suatu daftar berisi nama-nama subjek dan faktor-faktor yang akan diselidiki. Pembuatan daftar pengamatan (check list) bermaksud biar pengamatan berlangsung secara sistematis.

4) Skala pengukuran (rating scale)

Skala pengukuran (rating scale) yakni pencatatan tanda-tanda berdasarkan tingkatan-tingkatannya. Skala pengukuran (rating scale) pada umumnya terdiri atas suatu daftar yang berisi ciri-ciri tingkah laris yang harus dicatat secara bertingkat. Skala pengukuran (rating scale) ini menyerupai dengan daftar pengamatan (check list), lantaran observers tinggal menawarkan tanda-tanda tertentu atau mengececk tingkatan tingkah laris tertentu selama pengamatan berlangsung.

Penggunaan skala pengukur (rating scale) dalam kegiatan observasi mempunyai kelemahan. Kelemahan tersebut dalam bentuk munculnya penyimpangan-penyimpangan sebagai berikut.

a) Hallo effects error yakni bentuk penyimpangan yang terjadi lantaran observees terpikat dengan kesan-kesan umum yang baik/menyenangkan dari observers, padahal observers tidak sedang menilik kesan umum tersebut. Sebagai contoh, orang menawarkan nilai baik pada orang yang berpenampilan rapi dan menawarkan nilai kurang pada orang yang berpenampilan kurang baik. Padahal penampilan rapi belum tentu memperlihatkan sifat yang baik dan sebaliknya penampilan yang kurang menarik belum tentu orangnya bersifat jelek/bodoh.
b) Generosity effects yakni bentuk penyimpangan yang terjadi lantaran adanya keinginan untuk berbuat baik yang tiba dari pihak observers. Dalam situasi yang mewaspadai kadangkala pihak observers cenderung menawarkan evaluasi yang menguntungkan kepada pihak yang dinilai.
c) Carry-over effects yakni bentuk penyimpangan yang muncul lantaran observers dalam menawarkan pencatatan terhadap tanda-tanda yang muncul terpengaruh oleh pencatatan terhadap tanda-tanda yang muncul sebelumnya.

5) Peralatan penunjang (mechanical devices)

Peralatan penunjang (mechanical Devices) yakni pemakaian peralatan hasil kemajuan iptek yang memungkinkan seorang observers bisa mengabadikan segala sikap observees selama pengamatan berlangsung. Sebagai contoh, pemakaian video untuk merekam sikap observees selama pengamatan berlangsung, pemakaian tape recorder untuk merekam wawancara dengan observees, dan pemakaian kamera untuk mengabadikan suatu peristiwa.

Keuntungan penggunaan peralatan penunjang (mechanical devices) ini adalah:

a) sanggup diputar kembali sewaktu-waktu, jikalau diperlukan;
b) sanggup diamati hasilnya secara cermat;
c) sanggup dipergunakan sebagai tumpuan dalam menyusun materi penelitian yang akan datang;
d) sanggup dipergunakan untuk merevisi atau memperbaiki hasil penelitian biar lebih cermat/teliti.

Tinggi rendahnya kadar ilmiah yang terkandung dalam sebuah hasil observasi sangat ditentukan oleh banyak sekali hal. Beberapa faktor yang sanggup mempengaruhi kecermatan hasil observasi sebagai berikut.

a) Adanya prasangka-prasangka dan keinginan-keinginan tertentu yang bersumber dari observers.
b) Terbatasnya kemampuan panca indra dan kemampuan daya ingatan manusia.
c) Terbatasnya wilayah pandang. Kenyataan memperlihatkan bahwa beberapa insiden lebih sering muncul dalam perhatian observers dibandingkan dengan kejadian-kejadian lainnya.
d) Kemampuan insan untuk menangkap kekerabatan sebab-akibat atau kejadian-kejadian yang berturutturut
tergantung sekali kepada keadaan.
e) Ketangkasan dalam mempergunakan alat-alat pencatatan.
f) Kadar ketelitian pencatatan hasil-hasil observasi.
g) Ketepatan alat yang dipergunakan dalam observasi.
h) Pengertian observer ihwal gejala-gejala yang diobservasi.

Penggunaan metode observasi dalam kegiatan penelitian mempunyai beberapa keunggulan sekaligus kelemahan. Keunggulan pemakaian metode observasi sebagai berikut.
  1. Observasi merupakan alat yang eksklusif untuk menilik banyak sekali macam gejala. Banyak aspekaspek sikap insan yang hanya sanggup diselidiki melalui jalan observasi secara langsung.
  2. Tidak menuntut banyak kepada observees atau subjek yang diamati, lantaran pengamatan bisa dilakukan tanpa menghentikan acara objek yang diamati.
  3. Memungkinkan pencatatan yang serempak dengan terjadinya suatu gejala.
  4. Tidak bergantung pada self report.
  5. Banyak kejadian-kejadian penting yang hanya sanggup diamati melalui pengamatan langsung.
Kelemahan pemakaian metode observasi sebagai berikut.
  1. Tidak semua insiden sanggup diamati secara langsung, misal ihwal kehidupan pribadi seseorang atau adanya perasaan yang dirahasiakan sehingga tidak nampak dalam sikap secara konkret.
  2. Kemungkinan sikap yang ditunjukkan observees tidak gotong royong (pura-pura) lantaran tahu sedang diamati/diteliti.
  3. Kadangkala timbulnya insiden sulit diramalkan, sehingga sering muncul insiden tanpa diketahui atau tanpa kehadiran observers.
  4. Kemungkinan adanya gangguan yang menghalangi proses pengamatan, misal gangguan cuaca.
  5. Berlangsungnya suatu insiden yang waktunya tidak menentu, kadang sangat cepat kadang juga memerlukan waktu yang amat lama.
b. Metode Interview

GW Allport, seorang peneliti mengemukakan bahwa metode interview merupakan bentuk metode tanya jawab yang dipergunakan untuk menilik pengalaman, perasaan, motif serta motivasi rakyat. Adapun berdasarkan Sutrisno Hadi, pakar metode penelitian di Indonesia menyatakan bahwa interview yakni suatu proses tanya jawab lisan di mana dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik (face to face), yang satu melihat muka yang lain dan mendengarkan dengan indera pendengaran sendiri suaranya.

Metode interview merupakan alat pengumpul informasi yang eksklusif menawarkan beberapa jenis data sosial, baik yang terpendam (latent) maupun yang nampak. Metode interview kurang sempurna untuk menilik agresi reaksi orang dalam bentuk perilaku, namun interview merupakan alat yang sangat baik untuk mengetahui tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi serta proyeksi seseorang terhadap masa depannya. 

Melalui interview sanggup digali pengalaman masa kemudian seseorang serta rahasia-rahasia yang dimiliki dalam hidupnya, sekaligus menangkap ekspresi seseorang. Oleh lantaran itu, dibutuhkan keahlian khusus bagi si pewawancara (interviewer atau information hunter) untuk memperoleh data yang lengkap dan cermat dari narasumber (interviewee atau information supplyer). Data yang akurat sangat penting peranannya dalam menghasilkan penelitian yang objektif. Pada hakikatnya fungsi interview atau wawancara dalam suatu penelitian sanggup digolongkan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.
  1. Sebagai metode primer, inteview digunakan sebagai metode pokok dan satu-satunya alat pengumpul data yang dibutuhkan dalam suatu penelitian. Bagi seorang jurnalis interview merupakan metode primer.
  2. Sebagai metode pelengkap, hasil interview dimaksudkan untuk melengkapi data hasil pengamatan yang telah dilakukan sebelumnya. Bagi seorang peneliti seringkali interview dilakukan untuk melengkapi data yang telah dikumpulkan dari hasil pengamatan.
  3. Sebagai kriterium, interview dilakukan untuk menguji kebenaran dan kemantapan suatu data yang telah diperoleh dengan cara lain. Dalam hal ini interview berperan sebagai alat pengukur sah tidaknya data yang telah diperoleh sebelumnya. Teknik cek-ricek interview dengan narasumber merupakan contoh pemakaian interview sebagai kriterium.
Untuk memperoleh data yang seobjektif mungkin, dalam proses interview harus terjalin suasana kekerabatan yang serasi dalam bentuk kekerabatan kolaborasi antara pihak pewawancara (interviewer) dengan pihak narasumber atau yang diwawancarai (interviewee). Suasana yang baik yang dibutuhkan dalam proses interview yakni suasana yang saling mempercayai, kerja sama, dan saling menghargai antara interviewer dengan interviewee. 

Oleh lantaran itu, kiprah seorang interviewer bukan sekedar sebagai pencari informasi (information getting) saja, melainkan juga harus berperan sebagai motivator bagi terbentuknya suasana interview yang sebaik-baiknya.

Peran interviewer sebagai motivator dalam proses interview sanggup dilakukan dengan cara sebagai berikut.
  1. Partisipasi, yaitu interviewer turut aktif dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh narasumber.
  2. Identifikasi, yaitu interviewer memperkenalkan diri sebagai "orang dalam" dan meyakinkan narasumber bahwa ia yakni sahabat, atau penggalan dari mereka dan bekerja untuk membantu mereka.
  3. Persuasi, yaitu interviewer dengan sikap yang sopan dan ramah tamah, menerangkan maksud dan keperluan kedatangannya dan meyakinkan kepada narasumber mengenai pentingnya informasi yang dibutuhkan darinya.
  4. Menggunakan "key person" atau tokoh pengantar, yaitu interviewer mengajak seseorang tokoh yang dikenal baik oleh narasumber. Tokoh tersebut sebagai pengantar sekaligus meyakinkan narasumber biar bersedia menawarkan informasi yang dibutuhkan secara jujur.
Agar terjalin kekerabatan baik antara interviewer dengan narasumber (interviewee), maka seorang interviewer harus bersedia mengorbankan sebagian waktu interviewnya untuk mengantarkan interaksinya ke dalam situasi interview yang diharapkan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam upaya membuat kekerabatan baik antara interviewer dengan interviewee sebagai berikut.
  1. Perlu diadakan pembicaraan-pembicaraan pemanasan atau berupa basa-basi yang mencerminkan keramah-tamahan pada awal interview.
  2. Kemukakan tujuan dari penelitian yang dilakukan dengan memakai bahasa yang sederhana, gampang dipahami oleh narasumber, dan dikemukakan dengan sikap rendah hati dan bersahabat.
  3. Hubungkan pokok-pokok pembicaraan dengan perhatian narasumber dan tariklah ke arah pokok-pokok permasalahan yang akan ditanyakan kepada narasumber.
  4. Ciptakan suasana yang bebas, sehingga narasumber tidak merasa tertekan dengan pertanyaan yang diajukan interviewer. Dalam keadaan menyerupai itu, narasumber secara leluasa sanggup menawarkan jawaban/informasinya.
  5. Bagi interviewer, jangan memperlihatkan sikap tergesa-gesa, sikap kurang menghargai jawaban atau kurang percaya pada narasumber. Apa pun jawaban narasumber harus ditanggapi oleh interviewer dengan perhatian yang penuh.
  6. Berilah dorongan kepada narasumber biar ia mempunyai perasaan sebagai orang yang dibutuhkan kolaborasi dan bantuannya untuk membantu pelaksanaan penelitian.
Lancar tidaknya suatu proses wawancara sangat bergantung pada keahlian interviewer dalam melontarkan pertanyaan dan memancing jawaban yang sejujur-jujurnya dari narasumber. Oleh lantaran itu, untuk sanggup menjadi seorang interviewer yang handal perlu adanya latihan-latihan, terutama dalam menjalin komunikasi dengan orang lain.

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh interviewer untuk meningkatkan kecakapannya dalam menjalankan kiprah wawancara sebagai berikut.

1) Pertanyaan-pertanyaan pembukaan 

Untuk membuat suasana dan kekerabatan yang baik dibutuhkan keahlian dari pihak interviewer dalam menjalin interaksi sosial. Pada awal wawancara diajukan pertanyaan-pertanyaan yang netral, ringan dan menarik minat narasumber. Hindarkan kesan awal yang seram, tegang, penuh tekanan atau berkesan menyelidiki/curiga. Dengan demikian, narasumber akan menjawab dengan hangat dan akrab.

2) Gaya bicara

Gaya bicara sangat menentukan suasana wawancara sekaligus memengaruhi kekerabatan interviewer dengan narasumber. Berbicaralah terus terang, secara sederhana serta hindari pembicaraan yang berbelit-belit dan tidak terang akar permasalahannya.

3) Nada dan irama

Suasana rileks dalam proses wawancara ditentukan pula oleh nada dan irama pembicaraan yang diucapkan oleh interviewer. Hindari nada bunyi yang monoton, membentak-bentak, kasar, dan cenderung menginterogasi. Hal tersebut akan menimbulkan suasana tegang dan tidak menyenangkan, sehingga sanggup menimbulkan narasumber tidak mau diwawancarai. Irama pertanyaan pun perlu diatur, jangan terlalu lamban atau terlalu cepat, sehingga narasumber sanggup memahami apa yang diinginkan interviewer.

4) Sikap bertanya

Suasana yang menyenangkan dalam wawancara yakni suasana yang rileks. Proses pembicaraan, menyerupai berbicara dengan teman dan tidak kaku. Sikap interviewer yang perlu dihindari dalam interview sebagai berikut.

a) Sikap menyerupai seorang hakim yang sedang menginterogasi terdakwa. 
b) Sikap menyerupai guru besar sedang memberi kuliah mahasiswanya.
c) Sikap hirau dan kurang menghargai narasumber.
d) Sikap tidak mempercayai narasumber sehingga sering menyela jawaban atau bahkan mencelanya.

5) Mengadakan paraphrase

Kadangkala narasumber kurang mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan perasaannya dalam bentuk kata-kata yang sempurna atau kalimat yang runtut. Untuk itu, dibutuhkan kiprah interviewer untuk membantu merumuskan kalimat yang sempurna yang dikehendaki narasumber. Dalam hal ini, interviewer berperan seolah sebagai penterjemah bebas. Akan tetapi, jangan hingga paraphrasing ini diartikan sebagai bentuk menarik kesimpulan dari apa yang diungkapkan narasumber. Paraphrasing bukan merupakan bentuk kesimpulan tetapi sekedar membantu menerjemahkan isi hati narasumber.

6) Mengadakan prodding atau probing

Prodding atau probing artinya mengadakan penggalian yang lebih dalam atau melaksanakan penyelidikan secara menyeluruh dan saksama. Interviewer harus bisa memancing narasumber dengan pertanyaan-pertanyaan yang sempurna biar narasumber bersedia menawarkan penjelasan/informasi sedalam mungkin.

7) Mengadakan pencatatan

Mencatat hasil wawancara merupakan penggalan yang penting dari suatu proses wawancara. Jika memungkinkan, cara yang terbaik yakni melaksanakan pencatatan sesegera mungkin untuk menghindari kesesatan-kesesatan recording. Oleh lantaran itu, interviewer perlu mengembangkan kecakapan mencatat on the spot. Di era kini ini pencatatan hasil wawancara bisa dikesampingkan mengingat adanya sarana perekam yang cukup canggih. Namun kadangkala narasumber merasa tidak nyaman, jikalau dalam pelaksanaan wawancara disertai dengan adanya alat perekam, sehingga dalam mengemukakan pendapat atau memberikan informasi bisa terlalu hati-hati atau bahkan terkesan dibatasi.

Melakukan pencatatan seketika ketika wawancara sedang berlangsung memang mengandung unsur kelemahan. Kelemahan pencatatan seketika ketika wawancara sedang berlangsung yakni sebagai berikut.

a) Kemungkinan kelancaran pembicaraan bisa terganggu lantaran lawan bicaranya sibuk mencatat.
b) Kemungkinan interviewer tidak bisa menulis cepat, sehingga kerap kali narasumber harus mengulang pembicaraannya.
c) Kewajaran dalam proses wawancara ikut terganggu lantaran narasumber terpengaruh untuk menawarkan informasi yang pantas dicatat saja.

Akan tetapi, jikalau pencatatan hasil wawancara tidak dilakukan sesegera mungkin atau tidak secara on the spot, maka akan terjadi kelemahan sebagai berikut.

a) Kemampuan/daya ingat interviewer yang terbatas akan mengalami kesulitan untuk mengingat hasil wawancara menunggu hingga wawancara berakhir.
b) Ekspresi narasumber ketika menawarkan informasinya sulit diingat/direkam.
c) Memungkinkan munculnya kesalahan informasi akhir penundaan pencatatan yang menimbulkan lupa pada bagian-bagian tertentu.

8) Menilai jawaban

Ketelitian pencatatan dan paraphrase sangat bergantung pada ketetapan evaluasi interviewer terhadap jawaban/informasi dari narasumber. Demikian halnya perlu tidaknya mengadakan prodding atau sempurna tidaknya suatu probing sangat bergantung pada baik buruknya interviewer menilai jawaban narasumber. Validitas hasil wawancara merupakan fungsi dari kebenaran evaluasi jawaban. Agar evaluasi jawaban sanggup dilakukan secara tepat, interviewer perlu memerhatikan hal-hal berikut ini.

a) Adanya sikap phenomenologik, yaitu kesediaan untuk meninggalkan segala bentuk prasangka maupun motif-motif subjektif lainnya.
b) Adanya sikap factual, artinya tidak terkurung oleh alur pemikirannya sendiri dan tidak menarik kesimpulan tanpa dilandasi fakta yang objektif.

Penerapan metode interview dalam upaya mengumpulkan data untuk penelitian etnografi dibutuhkan persiapan yang matang, terutama bagi seorang pemula. Persiapan yang perlu dilakukan sebelum melaksanakan wawancara (interview) sebagai berikut.

1) Menentukan topik wawancara

Topik interview diubahsuaikan dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai. Dalam hal ini peneliti sebagai calon interviewer harus bisa menyusun kisi-kisi yang memuat jabaran ihwal data yang akan dibutuhkan dalam upaya mencapai tujuan penelitian.

2) Menentukan orang-orang yang akan diwawancarai

Untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat, maka dibutuhkan narasumber yang tepat. Misal: seorang peneliti ingin mengetahui berapa tingkat kelulusan siswa setiap tahun di suatu kabupaten, maka narasumber yang cocok yakni pejabat di dinas pendidikan dan bukannya mencari data ke kelurahan. Sebaliknya jikalau ingin mengetahui sejauh mana tingkat mobilitas warga desa, narasumber yang paling sempurna yakni pejabat yang berwenang di kantor kelurahan, bukan di kantor dinas kesehatan. Oleh lantaran itu, dibutuhkan kejelian peneliti untuk mengaitkan data dengan narasumber yang tepat.

3) Mengatur waktu dan tempat pelaksanaan wawancara

Dalam merencanakan waktu dan tempat wawancara, pihak interviewer harus berpedoman bahwa ia sebagai interviewer harus secara maksimal melayani apa kemauan narasumber. Kesibukan narasumber yang mungkin sangat padat, maka jauh-jauh hari sebelumnya perlu adanya kesepakatan kapan dan di mana bisa mengadakan wawancara. Sebagai pihak yang berperan dalam pembuatan kesepakatan ini yakni narasumber, sedangkan inteviewer sepenuhnya bergantung pada kesediaan narasumber saja. Oleh lantaran itu, ketepatan waktu interviewer ini harus dijaga, di samping kesabaran lantaran kemungkinan besar pihak narasumber lantaran kesibukannya bisa mengalami keterlambatan.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bakir balig cukup akal ini memungkinkan setiap ketika interviewer mengecek kesiapan dan kesediaan narasumber untuk melaksanakan interview sesuai kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya.

4) Menyusun interview guide atau pedoman wawancara

Sebagai langkah terakhir dalam persiapan proses interview yakni menyusun pedoman wawancara atau interview guide yang berisi daftar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada narasumber.

Fungsi penyusunan interview guide sebagai berikut.

a) Sebagai pedoman atau panduan ihwal pokok pembicaraan biar tidak menyimpang dari tujuan penelitian.
b) Menghindarkan kemungkinan terjadinya pembicaraan yang tidak relevan, sehingga interviewer cepat-cepat mengalihkan ke tujuan pokok.
c) Meningkatkan fungsi interview sebagai metode yang hasilnya memenuhi prinsip komparabilitas.

Interview guide tidak harus dalam bentuk lembaran kertas yang terpampang di depan narasumber atau secara demonstratif digunakan sebagai panduan selama proses wawancara berlangsung, akan tetapi bisa dihafal sebelumnya. Kadangkala bagi peneliti pemula yang belum terbiasa melaksanakan interview, pedoman wawancara bisa dibuat dalam bentuk garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. Pedoman wawancara tersebut setiap ketika bisa dilihat kembali oleh interviewer selama proses wawancara untuk mengetahui mana yang telah ditanyakan dan mana yang belum ditanyakan kepada narasumber.

Untuk menyusun pedoman wawancara yang baik dan lengkap, peneliti perlu mempersiapkan kisi-kisi yang menjabarkan data-data yang akan dibutuhkan dalam penelitian untuk ditanyakan kepada narasumber. Misal: peneliti memerlukan data ihwal natalitas (angka kelahiran) penduduk, maka hal yang ditanyakan antara lain mencakup:

a) jumlah kelahiran setiap tahun;
b) jumlah penduduk keseluruhan;
c) jumlah kematian setiap tahun;
d) jumlah puskesmas;
e) jumlah bidan;
f) dan sebagainya yang berkaitan dengan masalah kelahiran, secara lengkap sehingga dari hasil wawancara tersebut peneliti sanggup menganalisis data yang berkaitan dengan data pokok yang dibutuhkan.

Dalam metode interview beberapa teknik yang sanggup digunakan oleh peneliti sebagai berikut.

1) Teknik interview terpimpin

Interview terpimpin sering disebut sebagai guides interview, structured interview, controlled interview atau directed interview. Dalam interview terpimpin, pihak interviewer berfungsi bukan sekedar sebagai pengumpul data saja melainkan sebagai pengumpul data yang relevan dengan maksud-maksud penelitian yang telah dipersiapkan secara masak sebelum kegiatan wawancara dilaksanakan. Dalam pelaksanaan interview terpimpin, ada hipotesis yang dibawa ke lapangan untuk dibuktikan benar tidaknya, dan ada kerangka pokok permasalahan yang akan ditanyakan berkaitan dengan upaya pembuktian hipotesis tersebut. Jadi, interview terpimpin merupakan interview yang dilakukan dengan memakai pedoman yang telah ditetapkan secara tegas. Dengan demikian pihak interviewer seolah hanya sekedar membacakan apa yang harus dijawab oleh narasumber.

Pelaksanaan wawancara dengan teknik interview terpimpin mempunyai kelemahan, antara lain sebagai berikut.

a) Proses wawancara berlangsung kaku, kurang sanggup diubahsuaikan dengan suasana yang ada.
b) Hubungan antara interviewer dengan narasumber berlangsung sangat formal.
c) Data yang diperoleh kurang mendalam, lantaran hanya terbatas pertanyaan yang telah disiapkan dan tidak menawarkan kesempatan interviewer untuk mengembangkan materi pertanyaan meskipun kemungkinan terbuka peluang untuk menggali informasi lebih dalam dari narasumber.
d) Situasi yang terjadi selama proses wawancara cenderung mengarah ke suasana interogasi layaknya kekerabatan hakim dengan terdakwa di persidangan.

Namun demikian pelaksanaan teknik interview terpimpin mempunyai keunggulan, antara lain sebagai berikut.

a) Adanya uniformitas (keseragaman) pertanyaan memungkinkan pengkomparasian (perbandingan) hasil penelitian menjadi lebih mudah.
b) Pemecahan problematika atau pembuktian hipotesis akan lebih gampang diselesaikan.
c) Memungkinkan analisis kuantitatif dan analisis kualitatif.
d) Menghasilkan kesimpulan yang reliabel.

2) Teknik interview tak terpimpin

Berbeda dengan teknik interview terpimpin yang telah tersedia pedoman khusus untuk mengarahkan proses wawancara. Dalam pelaksanaan teknik interview tak terpimpin ini ditandai dengan tidak adanya kesengajaan dari pihak interviewer untuk mengarahkan wawancara ke pokok-pokok permasalahan yang menjadi titik fokus dari kegiatan penyelidikan.

Teknik interview tak terpimpin sering disebut sebagai nondirective interview atau unguided interview. Teknik interview tak terpimpin merupakan bentuk wawancara yang berlangsung spontan, banyak dikuasai oleh keinginan atau kecenderungan interviewer tanpa dikendalikan oleh suatu pedoman interview, sehingga cenderung mengarah kepada pembicaraan bebas atau free talk.

Pelaksanaan teknik interview tak terpimpin mempunyai sejumlah kelemahan sebagai berikut.

a) Kadar ilmiahnya sangat rendah.
b) Mengakibatkan kegiatan penelitian menjadi sangat insidental.
c) Tidak sanggup dipergunakan untuk keperluan pengecekan secara efisien.
d) Memakan waktu yang terlalu banyak, memboroskan tenaga, dan biaya.
e) Hanya cocok untuk penelitian-penelitian tipe eksploratif.

Meskipun demikian pelaksanaan teknik interview tak terpimpin ini mempunyai kebaikan. Kebaikan pelaksanaan teknik interview tak terpimpin sebagai berikut.

a) Merupakan teknik interview yang cocok digunakan pada tahap penelitian awal.
b) Tidak menuntut keahlian yang cukup mendalam bagi seorang interviewer.
c) Tingkat kewajaran pembicaraan sangat optimal lantaran kondisinya dalam suasana pembicaraan bebas (free talk).
d) Memungkinkan diperoleh data yang khusus dan mendalam, lantaran suasana yang bebas menimbulkan narasumber merasa leluasa untuk mengungkapkan apa yang ada dalam isi hatinya tanpa ragu.

3) Teknik interview bebas-terpimpin

Teknik interview bebas-terpimpin pada hakikatnya merupakan campuran dari bentuk teknik interview terpimpin dan teknik interview tak terpimpin. Dalam pelaksanaan teknik interview bebas-terpimpin, suasana bebas terlihat dalam proses pelaksanaan wawancara, antara lain wawancara yang wajar, tidak dibuat-buat, dan tidak kaku, sehingga narasumber bisa mengungkapkan isi hatinya. Data yang diperoleh pun menjadi lebih mendalam akhir penciptaan suasana wawancara yang bebas tersebut. Adapun unsur terpimpin dipertahankan dalam bentuk persiapan panduan wawancara atau interview guide yang berfungsi sebagai pengarah topik pembicaraan. Dengan mempertahankan unsur terpimpin ini diharapkan hasil wawancara tersebut bisa memenuhi prinsip-prinsip komparabilitas dan reliabilitas.

Panduan wawancara yang disiapkan dalam pelaksanaan teknik interview bebas-terpimpin berupa daftar pokok pertanyaan yang mengarah pada upaya pembuktian hipotesis penelitian yang sedang dilakukan. Pokok-pokok pertanyaan yang disiapkan tersebut akan menjadi kriteria pengontrolan relevan tidaknya isi interview. Adapun suasana kebebasan yang diciptakan selama proses wawancara berlangsung akan menawarkan kesempatan untuk mengendalikan kekakuan selama proses interview berlangsung. Oleh lantaran itu, interview bebas-terpimpin ini sering disebut sebagai interview terkontrol atau controlled interview.

Dalam kegiatan-kegiatan penelitian sosial, teknik interview bebas terpimpin paling banyak dipilih, terutama untuk mengungkap sikap-sikap sosial dari objek penelitian. Merton dan Kendall menyebut teknik interview bebas-terpimpin ini sebagai "Focussed Interview" artinya wawancara yang difokuskan pada penghayatan pribadi seseorang dalam menghadapi suatu situasi yang khusus.

Merton dan Kendall yakin bahwa focussed interview merupakan jenis interview yang serba guna, lantaran dengan menerapkan teknik ini, peneliti dapat:

a) mengetes validitas suatu hipotesis yang bersumber pada suatu analisis dan teori sosial psikologis;
b) memperoleh respon-respon yang tak diduga terhadap situasi tertentu, sehingga muncul hipotesishipotesis gres yang masih segar.

Jika ditinjau dari jumlah interviewee (narasumber) yang dihadapi, teknik interview sanggup dibedakan menjadi dua yakni interview pribadi dan interview kelompok.

a) Interview pribadi atau personal interview yakni wawancara yang dilakukan secara berhadap-hadapan atau face to face antara interviewer dengan interviewee. Pelaksanaan interview pribadi ini menawarkan suasana privacy yang maksimal, sehingga kemungkinan untuk memperoleh data yang intensif sangatlah besar. Selain itu ketelitian dan kemantapan hasil interview sanggup diperoleh secara maksimal, jikalau pada ketika wawancara berlangsung dilakukan cecking. Interviewer sanggup secara gampang mengawasi segala bentuk gerak-gerik narasumber, sehingga interviewer gampang menawarkan evaluasi terhadap jawaban-jawaban yang diberikan oleh narasumber. Berdasarkan evaluasi jawaban itu, interviewer sanggup memutuskan perlu tidaknya melaksanakan probing atau tidak, melaksanakan paraphrasering ataukah tidak.
b) Interview kelompok atau group interview yakni wawancara yang dilakukan oleh interviewer terhadap beberapa orang interviewee (narasumber) sekaligus. Penerapan interview kelompok ini sangat berkhasiat sebagai alat pengumpulan data yang sekaligus difungsikan sebagai proses check-cross check. Di mana para anggota sanggup saling mengontrol jawaban rekan-rekannya, melengkapi mana yang kurang dan lebih menjelaskan mana yang nampak masih samar-samar.

Dalam melaporkan hasil interview kadangkala terjadi banyak kesalahan. Adapun sumber kesalahan tersebut antara lain sebagai berikut.

1) Error of Recognition

Error of Recognition yakni kesalahan yang disebabkan lantaran ingatan interviewer yang tidak bekerja sebagaimana mestinya. Hal itu terjadi, jikalau interviewer yakni seorang yang pelupa, sulit mengingat dan merekonstruksi kembali jawaban narasumber, jarak antara pelaksanaan wawancara dengan pencatatan hasil wawancara cukup lama, adanya keinginan yang besar dari interviewer untuk memasukkan hasil pemikiran atau pendapatnya ke dalam hasil jawaban narasumber, atau penyebab lain yang mengakibatkan kemampuan mengingat interviewer rendah.

2) Error of Omission

Error of Omission yakni kesalahan hasil pertanyaan yang disebabkan oleh adanya hal-hal yang seharusnya dilaporkan atau dicatat tetapi justru dilewatkan begitu saja oleh interviewer. Hal itu bisa terjadi jikalau pencatatan hasil wawancara secara on the spot, sehingga terburu-buru dan banyak yang terlewatkan.

3) Error of Addition

Error of Addition yakni kesalahan yang terjadi lantaran interviewer terlalu berlebihan dalam memasukkan pendapatnya atau terlalu berlebihan dalam mengolah hasil jawaban narasumber, sehingga justru mengaburkan informasi yang sebenarnya. Hal itu terjadi lantaran interviewer ingin menjadikan hasil jawaban narasumber sebagai sesuatu yang lain, misal lebih didramatisir untuk menarik minat pembaca.

4. Error of Substitution

Error of Substitution yakni kesalahan yang terjadi lantaran interviewer mengganti jawaban narasumber yang sulit diingatnya. Hal itu terjadi lantaran ada hal-hal yang terlupa pada hasil wawancara tersebut dan diganti dengan pendapat interviewer. Penggantian terhadap hal-hal yang terlupakan interviewer memakai kata yang menurutnya padanan dari kata yang terlupakan, atau lantaran interviewer tidak mengerti makna istilah yang diucapkan oleh narasumber dan diganti dengan istilah lain yang justru tidak tepat, bahkan mengaburkan makna yang sesungguhnya.

5) Error of Transpotition

Error of Transpotition yakni kesalahan yang terjadi lantaran ingatan interviewer tidak bisa mereproduksi urutan insiden berdasarkan waktu atau sesuai kekerabatan antara fakta-fakta menyerupai apa adanya, tetapi interviewer menuliskan urutan atau kekerabatan tersebut yang tidak sesuai apa adanya. Hal itu terjadi jikalau interviewer tidak memahami kronologis suatu insiden dan mencoba untuk merangkai sendiri berdasarkan pemahamannya, padahal itu tidak benar.

Berbagai kesalahan dari hasil laporan wawancara tersebut sanggup ditekan serendah mungkin dengan memakai alat-alat bantu audio visual yang mendokumentasikan proses wawancara. Penerapan metode interview dalam mengumpulkan data untuk penelitian mempunyai kebaikan dan kelemahan.

Kebaikan-kebaikan metode interview sebagai berikut.
  1. Merupakan salah satu metode terbaik yang dipergunakan untuk menilai keadaan pribadi.
  2. Tidak dibatasi oleh tingkatan umur dan tingkatan pendidikan subjek yang diteliti.
  3. Dalam penelitian-penelitian sosial, metode interview merupakan metode komplemen yang selalu dipergunakan.
  4. Dengan unsur fleksibilitas/keluwesan yang dimilikinya, metode interview cocok sekali dipergunakan sebagai kriterium atau alat verifikasi terhadap data yang diperoleh dengan metode lain.
  5. Dapat dilaksanakan sambil melaksanakan observasi.
Adapun kelemahan metode interview sebagai berikut.
  1. Tidak efisien, memboroskan waktu, biaya, dan tenaga.
  2. Sangat bergantung pada kesediaan, kemampuan dan situasi yang ada pada interviewee (narasumber), sehingga informasi yang diperoleh ketelitiannya kurang.
  3. Proses dan isi interview sangat gampang dipengaruhi oleh keadaan-keadaan sekitar yang menawarkan tekanantekanan yang mengganggu.
  4. Diperlukan interviewer yang bisa menguasai bahasa interviewee atau bisa berkomunikasi dengan baik.
  5. Hanya sesuai untuk interviewee yang terbatas, alasannya yakni jikalau interviewee dalam jumlah banyak dan heterogen dibutuhkan banyak interviewer.
C. Penelitian Etnografi Tentang Persebaran Bahasa Lokal

Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang dimiliki setiap suku bangsa. Bahasa sanggup dijadikan sebagai salah satu aspek yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian etnografi. Apalagi dalam kehidupan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari unsur bahasa. Sejumlah insan yang mempunyai ciri-ciri ras tertentu yang sama belum tentu mempunyai bahasa induk yang termasuk satu keluarga bahasa, apalagi mempunyai satu kebudayaan yang tergolong satu daerah kebudayaan. Sebagai contoh: bangsa Muang Thai, bangsa Khmer, dan bangsa Sunda, ketiganya merupakan satu kelompok ras yang sama, yakni dari kelompok ras Paleo-Mongoloid.

Namun bahasa induk masing-masing orang tadi termasuk keluarga bahasa yang berlainan. Bahasa orang Muang Thai yakni bahasa Sino-Tibetan, bahasa Khmer termasuk dalam keluarga bahasa Austro-Asia, sedangkan bahasa Sunda termasuk keluarga bahasa Austronesia. Demikian halnya kebudayaan dari ketiga suku bangsa tersebut tidaklah sama. Kebudayaan Thai dan Khmer terpengaruh dalam kebudayaan Buddha, sedangkan kebudayaan Sunda terpengaruh kebudayaan Islam.

Akan tetapi ada pula suku bangsa yang berbeda ras namun mempunyai bahasa induk yang berasal dari satu keluarga bahasa. Misal: orang Huwa yang tinggal di pedalaman Madagaskar, orang Jawa di pulau Jawa, dan orang Bgu di pedalaman Papua. Ketiganya dari ras yang berlainan, yakni orang Huwa dari ras Negroid dengan unsur ras Kaukasoid-Arab, orang Jawa termasuk ras Mongoloid dan orang Bgu termasuk ras Melanesoid. Namun, ketiganya memakai bahasa yang berasal dari satu induk keluarga bahasa yang sama yaitu keluarga bahasa Austronesia.

Memmerhatikan fakta di atas, makin menegaskan bahwa penelitian mengenai bahasa yang dipergunakan suatu suku bangsa menarik untuk diteliti terutama berkaitan dengan proses persebaran bahasa. Seperti dalam kehidupan remaja Indonesia bakir balig cukup akal ini, kemajuan iptek terutama dalam bidang informasi menjadikan bahasa Betawi menjadi salah satu ragam bahasa yang amat digemari di kalangan pergaulan remaja. Perhatikan saja, bagaimana remaja di pelosok tanah air khususnya yang tinggal di perkotaan berkomunikasi, mereka terbiasa memakai istilah: lu, gue, ntar, dong, yang merupakan kosa kata dalam bahasa Betawi. Mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa bahasa Betawi yang ada di pusat ibu kota Republik Indonesia bisa sedemikian gampang di jumpai di kota Jayapura yang ribuan kilometer jauhnya? Hal itu merupakan fenomena yang menarik untuk dijadikan materi penelitian ihwal persebaran bahasa lokal (dalam hal ini bahasa Betawi) menjadi bahasa pergaulan belum dewasa di seluruh Indonesia.

Pertanyaan tersebut sanggup diangkat sebagai tema utama dalam penelitian singkat mengenai etnografi khususnya ihwal persebaran bahasa lokal. Adapun bahasa lokal yang sanggup diangkat sebagai pokok masalah dalam penelitian etnografi ini tidak terbatas pada bahasa Betawi yang notabene sebagai bahasa pergaulan remaja saja, melainkan juga bahasa-bahasa lokal di banyak sekali daerah yang gotong royong amat kaya dan bervariatif, sehingga menarik untuk diteliti.

Pada umumnya persebaran bahasa lokal disebabkan oleh faktor sebagai berikut.
  1. Tingginya arus migrasi atau perpindahan penduduk, baik melalui urbanisasi, transmigrasi maupun emigrasi. Unsur-unsur bahasa lokal sebagai alat komunikasi lisan tetap mewarnai dalam interaksi sosiai masyarakat pendatang di tempat yang baru.
  2. Peran media massa, khususnya media elektronik yang banyak menayangkan pemakaian bahasa tutur (dialog) yang dipergunakan para panutan masyarakat (public figure) sehingga banyak ditiru oleh masyarakat luas menembus batas suku bangsa dan wilayah.
  3. Kebijakan pemerintah. Di era otonomi daerah ini pemerintah daerah berusaha untuk menonjolkan identitas wilayahnya di antaranya dengan mensosialisasikan pemakaian bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari yang perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan.
Dalam pelaksanaan penelitian, beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh peneliti sebagai berikut.
  1. Unsur atau masalah apa yang akan dijadikan objek penelitian. Misal ihwal persebaran bahasa lokal, perlu dibatasi mengenai apa yang akan disoroti, antara lain ihwal logat, kosakata, persamaan atau perbedaannya, dan faktor yang menentukan persebaran. Dalam menentukan unsur yang terkandung dalam permasalahan ini perlu didiskusikan dengan bimbingan guru yang berkompeten. Sebagai contoh, peneliti ingin menentukan topik ihwal persebaran bahasa, maka perlu bimbingan khusus dari guru bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah.
  2. Menentukan metode yang akan digunakan. Dalam hal ini dipilih metode yang sempurna untuk memperoleh data sesuai dengan unsur-unsur yang akan diteliti.
  3. Menentukan daerah penelitian. Sesuai dengan tema, yaitu mengenai persebaran bahasa lokal, maka daerah yang dijadikan objek penelitian terutama daerah-daerah yang memakai bahasa lokal tersebut, termasuk daerah lain yang berbatasan dengan daerah yang masyarakatnya memakai bahasa lokal tersebut.
  4. Menyusun kerangka dasar penelitian yang digunakan sebagai pola dalam kegiatan pengumpulan data.
  5. Melaksanakan kegiatan penelitian.
  6. Menyusun laporan.
Dari keseluruhan urutan kegiatan tersebut sebelumnya disusun proposal atau progam kerja yang dilengkapi dengan jadwal kegiatan atau "schedule" pelaksanaan kegiatan. Dengan tersusunnya jadwal kerja, siswa sanggup melaksanakan kegiatan sesuai alokasi waktu dan sasaran yang telah ditetapkan. Penyusunan laporan merupakan tahap simpulan dari rangkaian kegiatan penelitian. Kegiatan penelitian ditutup dengan presentasi, yaitu penyajian hasil penelitian. Adapun penyajian hasil penelitian sanggup dipaparkan dalam lembaga diskusi yang diikuti seluruh siswa di kelas maupun khusus dipertanggungjawabkan di depan tim penguji.

Dalam presentasi tersebut dibuka kesempatan bagi para peserta diskusi atau tim penguji untuk menyanggah, menawarkan saran ataupun kritikan terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan siswa.

D. Format Laporan Hasil Penelitian

Langkah terakhir dari keseluruhan rangkaian proses penelitian yakni menyusun laporan. Hasil laporan penelitian merupakan upaya mengomunikasikan hasil penelitian dari peneliti kepada khalayak umum. Melalui laporan penelitian, masyarakat luas sanggup memetik hasil dari suatu penelitian dan sekaligus memenuhi salah satu syarat penelitian ilmiah, yaitu bersifat terbuka.

Penyusunan laporan harus ditulis berdasarkan tata tulis penulisan ilmiah. Banyak variasi tata tulis penulisan ilmiah, namun secara garis besar sebuah laporan penelitian ilmiah memuat hal-hal berikut.

1. Bagian awal, berisi tentang:

a. Halaman judul: judul ditulis dengan kalimat pernyataan secara ringkas dengan memakai bahasa yang baku.
b. Halaman kata pengantar, memuat kalimat singkat yang mengantarkan pembaca untuk menikmati hasil laporan, disertai ucapan terima kasih kepada pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian dan impian serta kritikan dari pembaca.
c. Halaman daftar isi, memuat judul tiap bab/subbab dan di halaman mana bab/subbab tersebut berada.
d. Halaman daftar tabel; adakalanya laporan penelitian memuat label hasil pengamatan /pengumpulan data. Tabel diberi nomor urut serta judul tabel.
e. Halaman daftar gambar: jikalau dalam laporan tersebut terdapat gambar perlu diberi nomor urut dan diberi judul gambar.
f. Halaman lampiran, memuat daftar lampiran yang mendukung laporan tersebut. Adapun bukti fisik lampiran diletakkan di halaman penggalan akhir.

2. Bagian inti, berisi tentang:

a. Latar belakang masalah: memuat ihwal alasan mengapa peneliti menentukan topik penelitian tersebut.
b. Tujuan penelitian, memuat ihwal tujuan penelitian.
c. Penelaahan kepustakaan, memuat ihwal perkiraan dasar yang mendukung/berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian tersebut.
d. Hipotesis, berupa dugaan atau kesimpulan sementara yang akan dibuktikan kebenarannya dalam penelitian tersebut. (Bagian ini tidak mutlak ada, lantaran ada penelitian yang tidak memerlukan hipotesis)
e. Metodologi, mengungkapkan pendekatan dan metode yang dipergunakan dalam penelitian tersebut.
f. Hasil pengumpulan data: memaparkan secara rinci hasil penelitian.
g. Interpretasi hasil pengolahan data: memuat ihwal proses pengolahan data dan hasil kesimpulan dari penelitian berdasarkan hasil pengolahan data. Dalam penggalan ini adakalanya dipaparkan ihwal implementasi hasil penelitian dalam kehidupan sehari-hari maupun bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

3. Bagian akhir, berisi tentang:

a. Daftar kepustakaan: memuat daftar tumpuan atau literatur yang dipergunakan sebagai pola dalam penelitian tersebut. Penulisan daftar kepustakaan memuat: nama pengarang, tahun penerbitan, judul buku, penerbit, dan kota tempat penerbitan buku tumpuan tersebut.
b. Lampiran-lampiran: semua bukti fisik lampiran yang mendukung penelitian baik dalam bentuk kelengkapan manajemen (perizinan) maupun lampiran yang dipergunakan dalam penelitian tersebut.

Penyajian laporan tersebut sanggup berupa:
  1. makalah;
  2. paper/kertas kerja;
  3. gambar-gambar hasil dokumentasi;
  4. artikel.
Rangkuman :

a. Studi etnografi sanggup dilakukan dengan urutan sebagai berikut.
  1. Menentukan lokasi penelitian.
  2. Menyusun kerangka penelitian.
  3. Menentukan metodologi penelitian.
  4. Melaksanakan penelitian.
  5. Menyusun laporan.
  6. Mengomunikasikan hasil penelitian.
b. Metode penelitian etnografi yang utama yakni metode observasi dan metode interview.

c. Teknik penerapan metode observasi sebagai berikut.
  1. Teknik observasi partisipan-nonpartisipan.
  2. Teknik observasi sistematik-nonsistematik
  3. Teknik observasi eksperimentalnoneksperimental
c. Alat observasi meliputi catatan anekdot (anecdotal record), catatan berkala, daftar pengamatan (check list), skala pengukur (rating scale), dan peralatan penunjang (mechanical devices).

d. Hal-hal yang perlu dikuasai oleh peneliti dalam pelaksanaan metode interview sebagai berikut.
  1. Menyusun pertanyaan-pertanyaan pembukaan.
  2. Gaya bicara.
  3. Nada dan irama dalam berbicara.
  4. Sikap bertanya.
  5. Mengadakan paraphrase.
  6. Mengadakan prodding dan probing.
  7. Mengadakan pencatatan.
  8. Menilai jawaban.
e. Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam melaksanakan metode interview sebagai berikut.
  1. Menentukan orang yang hendak di interview.
  2. Mengatur waktu dan tempat interview.
  3. Membuat pedoman interview.
  4. Melaksanakan interview.
f. Teknik-teknik yang sanggup dipergunakan dalam melaksanakan metode interview sebagai berikut.
  1. Interview terpimpin
  2. Interview tak terpimpin
  3. Interview bebas-terpimpin
g. Menurut jumlah interviewee, proses interview sanggup dibedakan dalam: interview pribadi dan interview kelompok.

h. Hal-hal yang perlu disiapkan dalam pelaksanaan penelitian etnografi yakni sebagai berikut.
  1. Menentukan lokasi penelitian.
  2. Menentukan metode pengumpulan data.
  3. Menyusun kerangka penelitian.
  4. Melaksanakan penelitian.
  5. Menyusun pelaporan.
  6. Mempresentasikan hasil pelaporan.
i. Format penyusunan laporan penelitian sebagai berikut.

– Bagian awal, berisi :
  1. Halaman Judul
  2. Halaman Kata Pengantar
  3. Halaman Daftar Isi
  4. Halaman Daftar Tabel (jika ada)
  5. Halaman Daftar Gambar (jika ada)
  6. Halaman Lampiran (jika ada)
– Bagian inti, berisi:
  1. Latar Belakang Masalah
  2. Tujuan Penelitian
  3. Penelaahan kepustakaan
  4. Hipotesis
  5. Metodologi
  6. Hasil pengumpulan data
  7. Interpretasi hasil pengolahan data
– Bagian akhir, berisi:
  1. Daftar Kepustakaan
  2. Lampiran-lampiran (jika ada)
j. Hasil laporan penelitian sanggup berbentuk makalah, kertas kerja, gambar hasil dokumentasi, dan artikel.

E. Mengkomunikasikan Hasil Studi Antropologi

1. Contoh-Contoh Aneh di Sekitar Kita

Ada dua orang bertemu yang berasal dari suku bangsa yang berbeda. Mereka berdua saling menilai. Yang satu berpikir, kok orang ini beda sekali dengan saya, bicaranya lantang dengan dialek yang tegas dan kuat. Kalau bicara sangat keras menyerupai orang marah, bicaranya terus terang dan tidak peduli pada perasaan orang lain. Dari mana asal orang ini? Yang lainnya berpikir pula, orang ini kok beda sekali dengan saya, bicaranya pelan dan lembut hampir tidak terdengar, sangat hati-hati dan setiap kalimat diatur sedemikian rupa. Dari mana asal orang ini, kok beda dengan saya? Karena perbedaan keduanya bersikap saling hati-hati, bahkan muncul rasa takut yang pada akhirnya membuahkan permusuhan. Seandainya mereka berguru hasil studi Antropologi, khususnya mengenai studi Ethnologi, tentu mereka akan sanggup saling mendapatkan dan bersahabat dengan baik.

Masih banyak orang Indonesia yang masih heran ketika orang melihat suku Baduy Dalam yang lebih suka berjalan kaki pada masa dimana begitu tersedia banyak sarana transportasi, balasannya banyak pandangan negatif terhadap mereka. Orang juga masih sering heran dan galau ketika melihat suku bangsa Asmat memakai koteka, pada masa dimana banyak sekali masyarakat sudah memakai busana. Hal itu akan bisa dipahami bila kita mempelajari hasil studi Ethnografi yang berafiliasi dengan orang Baduy dan Asmat, yang akan sanggup digunakan untuk mempercepat perkembangan kebudayaan mereka.

Setiap hari salah satu saluran televisi selalu menyiarkan ramalan cuaca. Adakah kita mempedulikannya. Menurut ramalan cuaca, suatu daerah akan dilanda hujan yang hebat, tetapi kita tidak mempedulikannya, bila ada kepentingan, meskipun sanggup ditunda, kita tetap pergi ke daerah itu. Herannya lagi, belum dewasa remaja ditengah hujan lebat yang diserta petir tetap saja asik bermain sepak bola di lapangan. Tidak usang kemudian tersiar kabar sedih cita, seorang anak remaja tewas tersambar petir ketika bermain sepak bola di lapangan. Mengapa penyesalan selalu tiba terlambat?

2. Apa Penyebabnya ?

Apa penyebabnya masih ada orang yang tidak sanggup merendahkan kebudayaan suku bangsa lain? Apa sebabnya masih timbul rasa heran, takut, tidak bersahabat dan merasa berbeda bila kita bertemu dengan orang-orang di luar suku bangsa kita? Mengapa terkadang masih sering muncul sikap anti pati terhadap kebudayaan suku bangsa lain meskipun kita sesama bangsa Indonesia?

Jawaban yang alasannya yakni pertama untuk semua pertanyaan itu yakni ketidaktahuan terhadap hasil-hasil studi Antropologi. Seandainya setiap orang Indonesia mengetahui secara umum hasil studi ethnologi Indonesia, tentu mereka akan mengetahui keragaman budaya sehingga tidak akan heran ketika bertemu banyak sekali jenis orang dari banyak sekali suku bangsa. Mereka akan sanggup saling mendapatkan dan bersahabat dengan mesra.

3. Bagaimana Cara Mengatasinya?

Bagaimana cara memastikan biar orang tahu hasil penelitian sosial budaya? Tindakan yang harus dilakukan yakni mengkomunikasikan hasil studi Antropologi untuk memastikan bahwa semua orang mengenal keanekaragaman suku bangsa dan budaya Indonesia. Mengkomunikasikan dilanjutkan dengan Sosialisasi studi Antropologi. Sosialisasi hasil studi

Antropologi diartikan sebagai proses penanaman hasil studi Antropologi kepada masyarakat. Sosialisasi hasil penelitian sosial budaya sanggup dilakukan melalui banyak sekali saluran sosialisasi, seperti: sekolah, surat kabar, bulletin, media elektronik, kelompok teman sebaya, pejabat-pejabat pemerintah yang tersebar diseluruh daerah Indonesia dan kegiatan khusus yang dibuat untuk mensosialisasikan hasil penelitian sosial budaya dimaksud. Dengan demikian mereka diharapkan sanggup mendapatkan keanekaragaman dan hidup berdampingan bersama guna membangun peradaban dan kebudayaan insan yang lebih maju.

Komunikasi yakni inti dari kehidupan manusia. Komunikasi melahirkan persamaan makna antara semua pihak yang terlibat. Komunikasi sanggup diwujudkan dengan pembicaraan, gerak-gerik fisik ataupun perasaan. Pada prinsipnya komunikasi yakni penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain. Keberhasilan komunikasi sangat tergantung pada ada tidak pemahaman saling pengertian antara si pengirim pesan dan si akseptor pesan. Komunikasi yakni kegiatan individu dan kelompok mengenai tukar menukar data, fakta dan ide. Atas dasar pengertian ini, fungsi komunikasi meliputi :

a. Informasi; Mengumpulkan, menyimpan, memproses, penyebaran berita, data, gambar, hasil studi, pesan, opini dan komentar yang dibutuhkan biar sanggup dimengerti dan beraksi secara terang terhadap orang lain sehingga sanggup mengambil keputusan yang tepat.
b. Sosialisasi; menanamkan data, fakta, nilai-nilai hasil studi Antropologi kepada orang lain sehingga mengetahui, bersikap dan berperilaku sesuai dengan hasil studi Antropologi.
c. Motivasi; menjelaskan tujuan, manfaat dan kegunaan hasil studi. Antropologi dalam kehidupan masyarakat dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dan memotivasi orang menentukan pilihan dan keinginannya untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan hasil studi Antropologi.
d. Perdebatan dan Diskusi; hindari mengkomunikasikan hasil studi Antropologi melalui upaya paksa, lakukan melalui diskusi dan perdebatan yang diwarna oleh penyajian data dan fakta untuk memungkinkan persetujuan bersama terhadap pentingnya mengetahui dan menerapkan hasil penelitian sosial dan budaya.
e. Pendidikan; proses pengalihan hasil studi Antropologi yang mendorong pelaksanaan penelitian selanjutnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
f. Memajukan Kebudayaan; mengembangkan hasil studi Antropologi bermaksud untuk melestarikan warisan masa lalu, mengembangkan kebudayaan dan membangun imajinasi dan mendorong kreativitas dan kebutuhan estetikanya.
g. Hiburan; hasil studi Antropologi mengandung aspek hiburan, menyerupai permainan, olah makna, dan sebagainya. Penyebaran hasil studi Antropologi juga berarti mengandung unsur hiburan, kesenangan dan bagi komunikator dan komunikan.
h. Integrasi; hasil studi Antropologi berisi banyak sekali pesan, apabila menimbulkan pemahaman bersama di masyarakat akan mendorong terwujudnya sikap saling mengerti yang mendorong terwujudnya persatuan dan kesatuan.

4. Cara Mengkomunikasikan Studi Antropologi

Bagaimana cara mengkomunikasikan studi Antropologi biar hingga kepada semua orang. Sangat mungkin untuk mengkomunikasikannya dari ekspresi ke ekspresi tetapi hasilnya tidak akan maksimal, orang yang tahu hanya sedikit saja. Bagaimana caranya biar semua orang tahu? Caranya yakni menuliskan hasil studi Antropologi itu dalam banyak sekali bentuk karya ilmiah, menyerupai makalah, artikel dan karya foto, kemudian menyebarkannya melalui banyak sekali sarana komunikasi, menyerupai radio, televisi, surat kabar, majalah, dan sebagainya.

a. Makalah

Setiap makalah setidaknya harus memuat 4 (empat) penggalan utama, yaitu pendahuluan, perumusan masalah, pembahasan masalah dan penutup. Pada prinsipnya keempat penggalan itu merupakan satu kesatuan. Pendahuluan akan menentukan perumusan masalah, perumusan masalah akan menggiring pembahasan masalah yang selanjutnya akan dengan Pendahuluan. Kemudian ke Perumusan Masalah, melaju ke Pembahasan Masalah kemudian ke penggalan simpulan Makalah, yaitu Penutup.

1) Judul

Temukan judul menarik yang berafiliasi dengan studi Antropologi dalam kehidupan peradaban manusia. Judul memperlihatkan citra umum mengenai permasalahan yang akan dibahas. Susunlah dengan kata-kata yang baik sehingga gampang dimengerti. Contoh judul :

MAHALNYA BIAYA PENDIDIKAN SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

(Suatu Tinjauan Analitis Terhadap Mahalnya Biaya Pendidikan
Berdasarkan Hukum dan Birokrasi)

2) Pendahuluan

Pendahuluan berisi fakta-fakta kehidupan budaya insan yang menjadi latar belakang suatu pemilihan judul makalah. Pemaparan sanggup digunakan dengan cara berpikir induktif dan deduktif, kalian boleh menentukan salah satunya sesuai dengan selera masing-masing. Pendahuluan juga memaparkan adanya pertentangan-pertentangan dalam kebudayaan insan yang layak dipermasalahkan untuk mengembangkan kebudayaan insan itu sendiri.

3) Perumusan Masalah

Perumusan masalah yakni kelanjuta dari pendahuluan. Perumusan masalah sanggup diawali oleh penguatan terhadap kontradiksi yang terjadi pada kebudayaan masyarakat, kemudian tentukan dam rumuskan masalahnya. Perhatikan controh di bawah ini.

Kesenjangan yang terjadi dalam dunia pendidikan itu, penulis tuangkan dalam perumusan masalah sebagai berikut :

a)
Apa penyebab terjadinya biaya pendidikan yang mahal pada sekolah menengah atas?
b)
Adakah andil birokrasi pendidikan dalam menimbulkan biaya pendidikan mahal pada sekolah menengah atas?

4) Pembahasan Masalah

Setelah ditemukan masalahnya tentu saja harus dibahas untuk menemukan penyebab dan jalan keluar dari masalah yang dikemukakan. Pembahasan masalah sangat tergantung pada tipe studi yang dilakukan. Pada tipe studi kuantitatif, selain didukung oleh landasan teoritis, juga harus dilengkapi dengan banyak sekali angket (daftar pertanyaan yang harus di isi responden yang sanggup dipilih dengan acak) dan kuesioner (daftar isian yang harus diisi oleh responden yang sanggup ditentukan dengan pasti), atau wawancara, kemudian hasil jawaban diolah dengan statistik dengan memakai rumus-rumus tertentu. Pada tipe studi kualitatif, selain didukung oleh landasan teoritis, orang yang melaksanakan studi harus terjun eksklusif ke lapangan untuk mengamati dan melihat secara eksklusif kehidupan masyarakat yang berkaitan dengan permasalahan. Harus diadakan pengamatan berhari-hari, bahkan bila perlu tinggal bersama dengan masyarakat yang akan diteliti.

Hasil pengamatan ini menawarkan deskripsi dan paparan yang menyeluruh mengenai kehidupan masyarakat yang bersangkut untuk menemukan sebab-sebab permasalahan guna mencari dan menemukan jalan keluar yang terbaik. Perhatikan contoh pembahasan masalah di bawah ini.



1. Hukum Pendidikan Indonesia

Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: "Indonesia yakni negara hukum". Konsep negara aturan sudah mengalami perkembangan yang panjang. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim (1973 : 156): "Ada dua tipe negara hukum, yaitu negara aturan dalam arti sempit (negara aturan klasik) dan negara aturan dalam arti luas (negara aturan dalam arti luas). Tugas negara pada negara aturan dalam arti sempit hanya menjaga biar hak-hak rakyat jangan dilanggar, negara tidak boleh campur tangan mengenai urusan kemakmuran rakyat. Tugas negara pada negara aturan modern, selain menjamin hak-hak rakyat juga mewujudkan kesejahteraan rakyat."

Setidaknya ada 4 (empat) teori tujuan negara, yaitu teori tujuan kekuasaan, teori tujuan perdamaian dunia, teori tujuan jaminan atas hak dan kebebasan warga negara serta teori modern. Menurut teori tujuan modern yang dikemukakan oleh Kranenburg, tujuan negara yakni mewujudkan kesejahteraan rakyat (Parlindungan Siahaan, 2000 : 4). Dapat dikatakan bahwa tujuan simpulan suatu negara yakni membuat kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common weal) (Abdul Rozak, 2000 : 54).

Apakah tipe negara aturan dan teori tujuan negara yang dianut negara republik Indonesia? Menurut alenia 4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tujuan negara Indonesia yakni :

a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
b. Memajukan kesejahteraan umum
c. Mencerdaskan kehidupan bangsa
d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian kekal dan keadilan sosial.

Dari tujuan negara demikian, sanggup disimpulkan bahwa tipe negara aturan yang dianut negara republik Indonesia yakni negara aturan dalam arti luas. Teori tujuan negara yang dianut negara republik Indonesia yakni teori modern, yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat (social service state / welfare state).

Indonesia yakni negara hukum. Hukum yang saya maksud pada makalah ini yakni aturan positive. Kaum positivisme beropini bahwa aturan yakni undang-undang, tidak ada aturan di luar undang-undang. Stufenbau theori Hans Kelsen mengajarkan suatu sistem aturan merupakan susunan hierarkhis hukum, dimana suatu ketentuan aturan tertentu bersumber pada ketentuan aturan lainnya yang lebih tinggi.

Hukum yang tertinggi disebut Grundnorm (norma dasar). Stufenbau theori dianut Indonesia. Menurut Ketetapan MPR nomor III tahun 2000, tata urutan peraturan perundang-undang RI terdiri dari:

a. Undang-Undang Dasar 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang
d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
e. Peraturan Pemerintah
f. Keputusan Presiden
g. Peraturan Daerah

Untuk mewujudkan konsep negara aturan modern dan tujuan negara negara, negara Indonesia mengeluarkan banyak sekali peraturan perundang-undangan dalam banyak sekali bidang kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan. Hukum negara Indonesia dalam bidang pendidikan sanggup dipahami dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan pemerintah negara Indonesia mewujudkan tujuan nasional, diantaranya yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Pasal 28C ayat 1 menegaskan: "setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak menerima pendidikan dan memperoleh manfaat ….dst". Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 berisi "setiap warga negara berhak menerima pendidikan". Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan "setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Pasal 31 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya menggariskan: "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta adab mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang".

Undang-undang nomor 20 tahun 2003 menegaskan bahwa sistem pendidikan nasional harus bisa menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan. Jaminan pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia dituang dalam penggalan VIII UU nomor 20 tahun 2003 ihwal sistem pendidikan nasional. Agar terwujud pemerataan pendidikan, maka pemerintah harus menjamin adanya pendidikan yang murah bagi semua orang.

Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 mengenal istilah pendidikan berbasis masyarakat. Pasal 55 ayat 3 menuliskan: "dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat sanggup bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku". Pasal ini menjadi landasan bagi tumbuhnya pemahaman bahwa masyarakat, khususnya orang bau tanah peserta didik wajib berguru harus bertanggung jawab terhadap pendanaan penyelenggaraan pendidikan.

Memang di satuan sekolah menengah atas tertentu diperkenalkan juga istilah subsidi silang. Orang bau tanah peserta didik yang kaya menanggung lebih banyak biaya pendidikan untuk mensubsidi biaya pendidikan peserta didik dari orang bau tanah yang kurang beruntung secara ekonomi. Orang bau tanah peserta didik menanggung biaya pendidikan berdasarkan kemampuannya. Orang bau tanah yang sangat kaya menanggung berdasarkan kemampuannya. Orang bau tanah kaya menanggung berdasarkan kemampuannya dan orang bau tanah miskin menanggung berdasarkan kemiskinannya. Tetapi setahu penulis, masih belum ada sekolah menengah atas yang memberlakukan subsidi silang ini, yang berlaku yakni semua anak menanggung biaya pendidikan yang sama kuantitasnya.

2. Birokrasi Pendidikan Indonesia

Kata birokrasi berasal dari kata "bureau" dan "kratein". "Bureau" berarti meja tulis atau sebagai sempurna para pejabat bekerja. "Kratein" bermakna mengatur (Martin Albrow, 2005 : 2). Dapat disimpulkan, birokrasi yakni meja tulis tempat para pejabat bekerja untuk mengatur. Apa yang diatur? Tentu saja bidang pekerjaannya masing-masing. Bila Ia seorang birokrat pendidikan Indonesia maka yang diatur yakni masalah pendidikan untuk mewujudkan idealisme pendidikan sebagai tertulis dalam aturan (peraturan perundang-undangan) pendidikan Indonesia.

Birokrasi meliputi pembagian kiprah dalam lingkup fungsi yang secara relatif berbeda. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua tubuh atau lebih (Martin Albrow (2005 : 49). Tugas birokrasi yakni mencegah terjadinya kesewenang-wenang dari pejabat negara, kekuasaan pejabat yang besar bukanlah masalah, persoalannya yakni metoda dan mekanisme standar dalam melaksanakan kekuasaan itu yang disebut dengan birokrasi.

Birokrasi sangat penting untuk mencegah terjadi kesewenang wenangan. Lord Acton berkata "orang yang berkuasa cenderung menyalahgunakan kekuasaannya" (Meriam Budiarjo, 1986 : 15). Kekuasaan yang dimiliki Sekolah Menengah Atas untuk mengelola penyelanggaraan pendidikan bukan masalah.

Persoalannya yakni birokrasinya, yaitu metode dan mekanisme standar untuk melaksanakan kekuasaan yang dimiliki Sekolah Menengan Atas untuk menyelenggarakan pendidikan sehingga peserta didik dan orang tuanya terhindar dari tindakan sewenang-wenang. Ketika birokrasi Sekolah Menengah Atas gagal menyerap dan melaksanakan aspirasi warga maka sesungguhnya birokrasi sekolah tersebut mengalai kegagalan dalam mewujudkan tujuannya, yaitu pendidikan yang efesien dan murah dalam rangka encerdaskan kehidupan bangsa (disarikan dari Martin Albrow, 2005 : 145).

Beranjak dari uraian di atas, disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan birokrasi pendidikan (Sekolah Menengah Atas) adalah:

a. Para pejabat pendidikan yang mengatur Sekolah Menengah Atas, yaitu:
  1. Menteri Pendidikan Nasional
  2. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah
  3. Kepala Dinas Pendidikan Propinsi
  4. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten
  5. Kepala Sekolah beserta Staf Kepala Sekolah
  6. Komite Sekolah
b. Prosedur dan metode yang digunakan dalam melaksanakan kekuasaan yang dimiliki pejabat pendidikan (Sekolah Menengah Atas) dalam menyelenggarakan pendidikan di Sekolah Menengah Atas. Tujuan birokrasi pendidikan yakni mewujudkan demokratisasi pada dunia pendidikan (Sekolah Menengah Atas).

Birokrasi harus dijalankan berdasarkan kehendak secara umum dikuasai warga sekolah, bila tidak demikian maka sanggup dikatakan bahwa birokrasi mengalami kegagalan. Birokrasi pendidikan bertujuan juga mewujudkan efesiensi dalam penyelenggaran Sekolah Menengah Atas dengan biaya yang murah, bila tidak demikian maka birokrasi itu mengalami kegagalan.

Adakah prinsip-prinsip yang sanggup diterapkan sehingga birokrasi dijalankan berdasarkan tujuannya? Tentu ada. Dalam hal ini penulis merujuk pada 10 prinsip mewirausahakan birokrasi dari David Osborne dan Ted Gaebler, yaitu:

a. Pemerintahan katalis; mengarahkan ketimbang mengayuh
b. Pemerintahan milik masyarakat; memberi wewenang ketimbang melayani
c. Pemerintahan yang kompetitif; menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan
d. Pemerintahan yang digerakkan oleh misi; mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan
e. Pemerintah yang berorientasi hasil; membiayai hasil, bukan masukan
f. Pemerintahan berorientasi pelanggan, memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi
g. Pemerintahan wirausahan, menghasilkan ketibang membelanjakan
h. Pemerintahan antisipatif, mencegah daripada mengobati
i. Pemerintahan desentralisasi
j. Pemerintahan berorientasi pasar; mendongkrak perubahan melalui pasar.

3. Penyebab Mahalnya Biaya Pendidikan Sekolah Menengan Atas dan Birokrasinya

Pada ketika seorang peserta didik hendak masuk Sekolah Menengah Atas, Ia dikenakan biaya siswa baru, besarnya berkisar lima ratus ribu rupiah hingga satu juta rupiah. Bagi anak dengan orang bau tanah mampu, biaya menyerupai itu bukanlah masalah, tetapi bagi orang bau tanah yang tidak mampu, terang biaya sebesar itu yakni masalah besar. Jangankan uang lima ratus ribu rupiah, maka sehari-hari saja terancam. Para orang bau tanah berkomentar; "bukankah para guru digaji negara, untuk apa saja biaya sebanyak itu? " Sebagian besar pernyataan dibalik pertanyaan itu mengandung kebanaran.

Pada umumnya untuk siswa baru, Sekolah Menengah Atas memungut biaya dengan perincian:

a. Biaya seragam sekolah
b. Biaya pembangunan
c. Biaya iuran sekolah
d. Biaya ekstrakurikuler

Setelah menjalani pendidikan di Sekolah Menengah Atas, para peserta didik juga masih harus membayar uang buku (LKS) dan study wisata.

a. Biaya Seragam Sekolah

Pada akhir-akhir ini ada kecenderungan, bukan hanya siswa gres Sekolah Menengan Atas yang diwajibkan membeli seragam sekolah, tetapi juga siswa kelas XI dan XII. Para siswa gres diwajibkan membeli materi seragam sekolah dengan biaya antara Rp. 65.000 s.d Rp. 100.000, meliputi:
  1. 1 stel materi seragam putih abu-abu
  2. 1 stel materi seragam pramuka
  3. 1 stel materi seragam identitas sekolah.
Untuk kelas XI dan XII diwajibkan membeli materi seragam identitas sekolah, dengan harga berkisar antara Rp. 30.000 s.d Rp. 45.000. Sepintas semua beralan masuk akal saja, 3 stel materi seragam Sekolah Menengan Atas dibeli dengan harga Rp. 65.000 - Rp. 100.000. Tetapi bila dibandingkan dengan kualitas bahannya dan dibandingkan dengan harga pasar maka timbul keanehan.

Ternyata bila dibandingkan dengan harga pasar, harga materi itu sangat mahal, harga materi seragam sekolah yang dijual sekolah hanya berharga Rp. 40.000 - Rp. 60.000 tetapi anak harus membayarnya dengan harga Rp. 65.000 - Rp. 100.000. Dengan demikian terjadi mark up (penggelembungan harga).

b. Biaya Pembangunan

Setiap siswa gres pada umumnya juga dikenai biaya pembangunan untuk melaksanakan pembangunan fisik sekolah. Besarnya antara Rp. 200.000 s.d Rp. 500.000. Setiap tahun selalu ada jenis pungutan dan sekolah tidak pernah berhenti melaksanakan pembangunan fisik. Ada-ada saja alasan ihwal materi yang akan dibangun. Cara menentukan besarnya uang pembangunan juga sangat demokratis. Biasa berdasarkan rapat orang bau tanah siswa yang dipimpin oleh pengurus koite sekolah dengan dihadiri pejabat SMA. Biasa para orang bau tanah yang keberatan pada awalnya menyatakan keberatan, tetapi usang kelamaan pada akhirnya mereka juga menyetujui undangan dana pembangunan, meskipun sesudah usai rapat para orang bau tanah yang tidak bisa itu pusing memikirkan biaya sekolah dan kecewa dalam hati.

c. Biaya Iuran Sekolah

Sudah masuk akal apabila siswa gres juga dikenakan iuran sekolah. Untuk Sekolah Menengan Atas di kabupaten Karanganyar yang digunakan yakni prinsip sama rata. Setiap peserta didik dikenakan biaya iuran sekolah yang sama jumlahnya tanpa memperhatikan kemampuan ekonomi orang tuanya. Cara menentukan besarnya biaya iuran sekolah juga sangat demokratis. Biasa berdasarkan rapat orang bau tanah siswa yang dipimpin oleh pengurus komite sekolah dengan dihadiri pejabat SMA. Biasanya lagi, para orang bau tanah yang keberatan dengan biaya pada akhirnya harus mendapatkan keputusan rapat. Terjadi Diktator mayoritas.

d. Biaya Ekstrakurikuler

Dengan alasan muatan lokal, sekolah mengadakan pendidikan ekstrakurikuler, menyerupai pendidikan komputer, musik dan keterapilan lainnya. Tentu saja biayanya dibebankan kepada peserta didik. Biasanya berkisar antara Rp. 5.000 s.d Rp.15.000 perbulannya. Cara penetuan pilihan jenis pendidikan muatan lokal yang diberikan uga sangat demokratis demikian juga dalam penentuan biayanya. Tetapi anehnya, para peserta didik mengikutinya dengan setengah hati, sehingga pendidikan muatan lokal ini juga tidak efektif.

e. Tinjauan Dari Prinsip-Prinsip Mewirausahakan Birokrasi

Ditinjau dari birokrasinya, keputusan untuk mewajibkan anak membeli materi seragam sekolah sangat demokratis, lantaran keputusan itu diambil dengan persetujuan Komite Sekolah dan Rapat Orang Tua Siswa. Lalu apa yang salah? Yang salah yakni birokrasi pengadaan materi seragam sekolah menengah atas, setidaknya tidak menerapkan prinsip:
  1. Pemerintahan milik masyarakat; memberi wewenang ketimbang melayani. Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, (2000 : 29-35) sekolah semestinya lebih berperan sebagai katalisator dan fasilitator. Semestinya sekolah cukup menguraikan banyak sekali kebutuhan peserta didik, sesudah itu sekolah harus lebih menawarkan wewenang kepada para orang bau tanah dan peserta didik dalam memenuhi kebutuhannya berdasarkan kemampuannya. Bukan menyerupai sekarang, sekolah mendikte peserta didik dan orang tuanya dan kurang merespon apa kata orang bau tanah peserta didik.
  2. Pemerintahan yang kompetitif, menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan. Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, 2000 : 94) laba paling nyata dari persaingan yakni efesiensi yang lebih besar. Pengadaan materi seragam sekolah diadakan secara monopoli, harga ditentukan sekolah dan toko materi seragam yang ditunjuk sekolah. Begitu juga halnya dalam pemberian jenis pelanan lainnya seperti; study wisata dan kegiatan ekstrakurikuler. Akibatnya tidak ada persaingan dan efesiensi tidak sanggup diwujudkan.
  3. Pemerintahan yang digerakkan oleh misi; mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan. Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, 2000 : 133), organisasi yang digerakkan oleh misi lebih efesien, efektif dan inovatif ketimbang organisasi yang digerakkan oleh peraturan. Sekolah sebaiknya hanya memberikan apa misi sekolah, sedang ihwal bagimana cara mewujudkan misi sekolah, diserahkan kepada masingasing peserta didik untuk tumbuh dan berkembang berdasarkan kekuatannya sendiri. Hal ini belum berlangsung di Sekolah Menengah Atas hingga ketika ini pada banyak sekali jenis pelayanan.
  4. Pemerintahan berorientasi pelanggan, memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi. Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, 2000 : 210), sistem yang berorientasi pelanggan memberi kesempatan kepada orang untuk menentukan diantara banyak sekali macam pelayanan. Pada sekolah menengah atas, para pejabat sekolah mengabaikan hal ini, tidak ada alternatif bagi kebijakan yang diambil. Harus beli seragam sekolah yang sejenis dan sama bagi setiap peserta didik. Harus mengadakan study wisata ke kota tertentu. Harus mengikuti jenis kegiatan ekstrakurikuler tertentu. Tidak ada alternatif. Sekolah lebih mengutamakan kepentingannya dari pada bunyi pelanggan yaitu peserta didik dan orang tuanya.
  5. Pemerintahan antisipatif, mencegah daripada mengobati. Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, 2000 : 253), pencegahan lebih memecahkan masalah ketimbang menawarkan jasa. Para pejabat pendidikan, khususnya Sekolah Menengah Atas, tidak pernah mengadakan analisis mengapa biaya pendidikan sangat mahal. Mungkin perlu diadakan langkah-langkah pencegahan, seperti, pemberian jasa pengadaan materi seragam, pelaksanaan pembangunan fisik sekolah dan study wisata sudah saatnya dihentikan. Tetapi apa mungkin hal ini terwujud, lantaran akan hilang laba ekonomi birokrat pendidikan yang selama ini diperoleh.
  6. Pemerintahan berorientasi pasar; mendongkrak perubahan melalui pasar. Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, 2000 : 323), pemerintahan berorientasi pasar sanggup berjalan apabila ada penawaran, permintaan, aksebilitas, informasi, peraturan dan penjagaan. Prinsip ini tidak berjalan dengan baik di Sekolah Menengan Atas lantaran hampir dalam semua pemberian pelayanan, tidak ada penawaran yang memadai, yang ada penawaran monopoli, undangan tidak didasarkan atas kemampuan peserta didik tetapi berdasarkan penyamarataan, tidak ada aksebilitas dimana peserta didik tidak gampang dalam mengakses penjual secara langsung, peserta didik juga tidak mempunyai informasi yang cukup mengenai pelayanan jasa yang diperolehnya. Peraturan memang sudah ada, tetapi kurang dalam penjagaan biar peraturan itu berjalan sesuai dengan tujuannya.
4. Andil Birokrasi Pendidikan Pada Biaya Pendidikan SMA

Pasal 55 ayat 1 UU nomor 20 tahun 2003 menentukan masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat (school / community based management) pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan dasar berbasis masyarakat yakni pendidikan dasar yang berakar pada masyarakatnya, yang dibangun berdasarkan karakteristik masyarakatnya. Pada masyarakat petani sudah seharus dibangun pendidikan dasar yang sesuai dan menunjang pertanian. Pada masyarakat nelayan sudah sewajarnya dibangun dan dibina pendidikan dasar yang sesuai dan menunjang pembangunan masyarakat nelayan, dan sebagainya.

Pasal 55 ayat 3 UU nomor 20 tahun 2003 memutuskan dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat sanggup bersumber dari penyelenggara masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dihubungkan dengan prinsip otonomi sekolah pada pendidikan, maka pasal ini banyak ditafsirkan bahwa sekolah sanggup memungut uang dari para orang bau tanah peserta didik.

Berapapun besarnya uang ditarik tidaklah menjadi soal selama dilakukan berdasarkan mekanisme demokratis dan bukankah sumber pendanaan pendidikan dasar yakni masyarakat, khususnya orang bau tanah peserta didik?

Pendidikan dasar berbasis pada masyarakat dihubungan dengan otonomi sekolah diberi makna bahwa sekolah harus dibangun sesuai dengan kemampuan masyarakatnya, sekolah akan memberi beban biaya pada setiap peserta didik dari berdasarkan kemampuannya masing-masing. Sayangnya hingga kini masih banyak orang yang mengartikan pendidikan dasar berbasis pada masyarakat sebagai keleluasaan menarik dana pendidikan dari masyarakat sebesar-besarnya. Iuran sekolah Sekolah Dasar boleh saja Rp. 500.000 perbulan asal orang bau tanah peserta didik menyetujuinya melalui suatu mekanisme demokrasi. Berbagai jenis uang pungutan, dari dana pembangunan, uang sergam sekolah, uang gizi anak, iuran pelajaran tambahan sanggup saja diadakan dan ditarik, sekali lagi asal disetujui oleh orang bau tanah melalui mekanisme demokrasi. Dan hingga ketika ini, banyak sekali jenis pungutan sanggup digoalkan melalui rapat Komite Sekolah, dimana para pengurus Komite Sekolah berhasil menggalang opini orang tuanya dengan mengerahkan segala kemampuannya.

Untuk menjembatani antara keinginan pengelola sekolah dengan masyarakat (orang bau tanah peserta didik) dibentuklah komite sekolah. Tugas komite sekolah yakni menawarkan pertimbangan, kode dan dukungan tenaga, sarana, prasarana, serta pengawasan pendidikan. Melihat lebih jauh pada penyelenggaraan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah, ternyata komite sekolah lebih cenderung bertugas sebagai lembaga yang menggiring pemikiran orang bau tanah peserta didik untuk menyetujui undangan pengelola satuan pendidikan. Akhirnya berapapun biaya yang dibebankan pengelola sekolah kepada para orang tua, sesudah melalui proses demokrasi pada akhirnya harus ditanggung oleh orang tua.

Komite Sekolah sebagai lembaga yang terdiri dari unsur orang bau tanah dan guru seharusnya sanggup memberi pertimbangan objektif berdasarkan kemampuan perekonomian orang bau tanah terhadap banyak sekali undangan pengelola sekolah yang berafiliasi dengan pendanaan pendidikan. Dapat mengidentifikasi kemampuan setiap orang bau tanah peserta didik, kemudian menawarkan kode dalam menentukan kebijakan sekolah terhadap besarnya iuran sekolah dan biaya lainnya yang harus ditanggung oleh setiap peserta didik. Bila hal ini sanggup dijalankan maka dimungkinkan saja adanya peserta didik yang gratis dan dibebaskan dari banyak sekali iuran sekolah.

Setelah ditetapkan jumlah uang iuran sekolah dalam rapat Komite Sekolah yang dihadiri para orang bau tanah peserta didik. Banyak para orang bau tanah merasa berat bahkan tidak mampu. Diantara mereka tidak mau bersuara lantaran merasa aib atau merasa bahwa usahanya akan sia-sia. Ada juga yang berani menyatakan keberatannya, tetapi pada akhirnya bunyi itu dikalahkan melalui bunyi terbanyak. Sepertinya semua berjalan sangat demokratis, tetapi hasilnya tidak mencerminkan keadilan sosial. Bila kemudian ditemukan ada peserta didik yang putus sekolah lantaran tidak bisa membayar iuran sekolah, Komite Sekolah juga tidak mau tahu, yang penting hanya satu, semua keputusan hasil rapat Komite Sekolah harus dilaksanakan, bila tidak sanggup mematuhinya, iya jangan bersekolah.

Kebutuhan sekolah tidak terbatas, sementara kemampuan warga sekolah sangat terbatas. Komite Sekolah harus bisa mengendalikan keinginan sekolah, bahkan bila perlu menolak undangan sekolah apabila dianggap tidak subtanstif. Tidak harus tiap tahun membangun fisik sekolah. Tidak tidak tahun mengadakan piknik keluarga. Tidak tiap harus tahun mengadakan pembelian seragama, dan sebagainya. Bila hal ini terwujud maka keberadaan Komite Sekolah akan sangat mendukung pelaksanaan wajib berguru pendidikan dasar sembilan tahun. Realitasnya pada ketika ini, Komite Sekolah belum sanggup menjalankan kiprah idealnya, mereka cenderung hanya berfungsi sebagai stempel baiklah terhadap semua keinginan pengelola sekolah. Tidak jauh beda dengan keadaan dewan perwakilan rakyat RI dan MPR RI pada masa orde baru.



5) Penutup

Penutup yakni kelanjutan dari pembahasan masalah. Penutup berisi kesimpulan dan saran, lebih baik lagi bila disertai dengan implikasi. Dalam epilog temukan dan tuliskan beberapa kesimpulan yang berupa intisari makalah dari pendahuluan, perumusan masalah hingga pembahasan masalah. Berdasarkan kesimpulan itu buatlah saran sebagai jalan keluar yang ditawarkan terhadap permasalahan yang dibahas. Kumudian sanggup juga dilengkapi dengan implikasi, yaitu penerapan dari keseimpulan dan saran yang diajukan dalam kehidupan sehari-hari sebagai penguat untuk mencegah terjadinya masalah sejenis di kemudian hari.

Perhatikan contoh epilog di bawah ini.

Pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 memperlihatkan bahwa Indonesia yakni negara aturan dan demokrasi. Bila dikaji lebih lanjut, ternyata negara aturan yang dianut Indonesia yakni negara aturan modern dan negara demokrasi yang diterapkan Indonesia yakni negara demokrasi modern. Indonesia sebagai negara aturan dan demokrasi modern menampakkan diri sebagai welfare state atau social service state.

Salah satu perwujudan Indonesia sebagai negara kesejahteraan tercermin dari adanya pendidikan murah yang sanggup dinikmati dan diperoleh setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pasal 31 ayat 1 - 3 Undang-Undang Dasar 1945. Dan dipertegas lebih lanjut dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 ihwal sistem pendidikan nasional. Sampai ketika ini, pendidikan murah dan terjangkau yakni suatu idealisme yang patut diperjungkan. Disebut idealisme lantaran konsep tersebut masih merupakan dunia cita (das sein) dan berbeda jauh dari realitas pendidikan (das sollen). Patut diperjuangkan lantaran konsep tersebut sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan nilai-nilai demokrasi serta welfare state.

Pembahasan terhadap mahalnya biaya pendidikan Sekolah Menengah Atas pada makalah ini melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang sekaligus merupakan jawaban terhadap permasalahan. Kesimpulan dimaksud yakni sebagai berikut:
  1. Penyebab terjadinya biaya pendidikan yang mahal pada Sekolah Menengah Atas yakni diterapkannya banyak sekali keputusan yang dalam proses pembuatannya terlihat sangat demokratis, melalui penggiringan yang dilakukan oleh para pejabat Komite Sekolah yang pada akhirnya mengesampingkan aspirasi orang bau tanah peserta didik dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Disamping itu proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan pada Sekolah Menengah Atas tidak memperhatikan prinsip-prinsip mewirausahakan birokrasi yang diajukan oleh David Osborne dan Ted Gaebler. Akibatnya; timbul birokrasi Sekolah Menengah Atas yang bersifat inefesiensi organisasi.
  2. Dapat dipastikan bahwa birokrasi pada Sekolah Menengah Atas turut andil dalam mewujudkan biaya pendidikan mahal. Seperti diuraikan sebelumnya, tata cara pengabilan setiap keputusan pada Sekolah Menengah Atas dilakukan secara demokratis dengan mengikutsertakan orang bau tanah peserta didik. Dalam proses demokrasi itu nampak bahwa Komite Sekolah leih berpihak kepada birokrat sekolah (kepala sekolah) daripada orang bau tanah dari peserta didik, khususnya yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Intinya birokrasi sekolah (Komite Sekolah) lebih berpihak kepada keinginan kepala sekolah dan pejabat sekolah lainnya dari pada lebih menanggapi dan merespon keinginan orang bau tanah peserta didik. Singkatnya; birokrasi sekolah yakni alat bagi pejabat sekolah yang mengabdi kepada kepada birokrat sekolah, bukan kepada pelanggan (orang bau tanah peserta didik). Mahalnya biaya sekolah pada Sekolah Menengah Atas mempunyai ratifikasi dan diproses secara demokratis oleh birokrat sekolah, dalam hal ini yakni Kepala Sekolah dan Komite Sekolah.
Untuk mencegah adanya birokrasi sekolah yang bersifat inefesien, yang mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan pada Sekolah Menengah Atas, Penulis mengajukan saran sebagai berikut :
  1. Usaha secara terus menerus perlu dilakukan, setidaknya untuk mengingatkan kiprah dan fungsi Komite Sekolah dalam menjembati keinginan birokrat sekolah dengan orang bau tanah peserta didik. Komite Sekolah harus selalu sanggup mendengar bunyi kedua belah pihak, kemudian mengambil keputusan dengan mengacu kepada keadilan dan kepatutan yang hidup dan berkembang pada warga sekolah. Sehingga pada akhirnya muncul sosok Komite Sekolah yang yang berorientasi pelanggan, pasar dan selalu menyuntikkan persaingan.
  2. Melalui uraian di atas, nampak dengan terang bahwa birokrasi sekolah sama sekali tidak melaksanakan 10 prinsip mewirausahakan birokrasi yang dikemukakan oleh David Osborne dan Ted Gaebler. Mungkin hal itu dikarenaka para pejabat sekolah dan anggota Komite Sekolah belum mengetahuinya. Oleh lantaran itu perlu diperkenalkan dan disosialisasikan kepada mereka prinsip-prinsip dimaksud. Bila mereka sudah mengetahui, tetapi belum melaksanakan, maka mereka perlu diingatkan, didorong dan dikawal dalam melaksanakan prinsip mewirausahakan birokrasi. Pada akhirnya, perlu diadakan birokrasi yang efesien dalam mewujudkan tujuan Sekolah Menengah Atas, untuk dirasakan kebutuhan untuk melaksanakan gerakan secara menyeluruh untuk melaksanakan prinsip-prinsip mewirausahakan birokrasi.
6) Daftar Pustaka

Daftar Pustaka berisi materi bacan yang menjadi pola dalam menentukan dan membahasas masalah. Daftar Pustaka selalu dimulai dengan menulis nama penulis dan pengarang buku, kemudian judul buku, nama penerbit, Kota penerbit dan tahun penerbitannya. Penulisan daftar Pustaka mempunyai norma tersendiri, yang tergambar pada contoh di bawah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Albrow Martin. 2005. Birokrasi. PT. Tiara Wacana, Yogyakarta. C.E. Beeby. 1981. Pendidikan di Indonesia, Penilaian dan Pedoman Pelaksanaan. LP3ES, Jakarta,

David Osborne dan Ted Gaebler. 2000. Mewirausahakan Birokrasi, Reinventing Government, Mentransformasi Semangat Wirausaha Ke Dalam Sektor Publik, diterjemahkan oleh Abdul Rosyid. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.

H. Subandi Al. Marsudi. 2001. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Paradigma Reformasi. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi. 2004. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. 1983. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia Pusat Studi Hukum Tata Negara. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta

Jacqueline Charbaud. 1984. Mendidik dan Memajukan Wanita. Gunung Agung, Jakarta.

b. Artikel

Menurut Wahyu Wibowo (2006) artikel yakni goresan pena atas nama pribadi, yang ciri khasnya memang mencantumkan nama pribadi penulisnya, di dalam media massa cetak. Artikel yakni goresan pena berbentuk ringkas, padat yang ditulis dalam media massa cetak berdasarkan opini penulisnya dengan tujuan menerangkan, menjelaskan atau memberitahukan pembacanya akan sesuatu hal. Artikel dalah tulisna atas nama pribadi yang ditulis di media massa cetak, dengan ciri-ciri:
  1. Ekspositoris - argumentatif (menjelaskan dan disertai argumentasi).
  2. Berpeluang mendatangkan pencerahan.
  3. Topiknya dipicu dari hal yang aktual.
  4. Mencerminkan pantulan pribadi penulisnya.
  5. Memecahkan persoalan.
  6. Bentuknya ringkas dan padat.
  7. Gaya dan nada penulisannya kebanyakan tegas, lugas dan serius.
Artikel Antropologi goresan pena seseorang mengenai masalah-masalah konkret Antropologi, yang mencantumkan nama pribadi penulis dan dimuat di surat kabar (media massa). Artikel yakni sarana yang efektif dan efesien dalam mengkomunikasikan hasil studi Antropologi kepada masyarakat.

Disebut efektif lantaran dengan menulis artikel, sanggup dipastikan bahwa banyak orang yang membacanya dan mengetahui hasil studi antropologi. Disebut efesien lantaran dengan satu kali menulis artikel, hasil studi Antropologi sanggup dikomunikasikan secara luas kepada masyarakat, tidak perlu pergi keberbagai tempat dan berbicara kepada banyak orang, tulis satu kali artikel dan niscaya banyak orang yang membacanya. Sangat efesienkan?

Menurut Wahyu Wibowo, (2006) secara teoritis struktur artikel terdiri atas teras (lead), tubuh (body) dan epilog (ending). Seperti halnya dengan makalah, teras beris kalimat pembukaan sanggup berisi latar belakang singkat untuk membawa pembacanya memasuki pokok permasalah. Tubuh berisi uraian mengenai permasalahan, penyebab dan akibatnya. Penutup berisi kesimpulan dan jalan keluar yang ditawarkan. Artikel tidaklah sepanjang lebar makalah, artikel jauh lebih singkat, padat dan eksklusif menuju sasaran. Dapat memakai cara berpikir deduktif maupun induktif, sanggup juga memakai studi kuantitatif maupun kualitatif. Syarat-syarat yang sebaik dipenuhi dalam menulis artikel adalah:
  1. Keharmonisan atau kesimbangan antara gagasan (konsep) dan struktur bahasa yang dipakai, menentukan efektif tidak sebuah kalimat, ciri-cirinya subjek dan prediketnya jelas; tidak mengandung subjek ganda, dan cermat dalam memakai kata sambung.
  2. Kepararelan yaitu kesejajaran atau kesederajatan unsur pembentuk kata atau klausa yang digunakan dalam kalimat.
  3. Ketegasan yaitu upaya sipenulis dalam menonjolkan gagasan gres dan pandangan gres pokok kalimatnya. Tujuannya, memberi ketegasan bahwa pandangan gres pokoknya itu merupakan sesuatu yang penting diketahui pembaca. Tunjukkan pandangan gres pokok dengan menuliskannya di awal kalimat, gunakan rumus dimana, siapa, kapan, mengapa, apa dan siapa. Urutkan kejadi secara logis, lakukan pengulangan kalimat yang ingin ditegaskan dan lakukan kontradiksi terhadap pandangan gres yang ditegaskan itu.
  4. Kehematan yakni tidak memakai kata, frase atau bentuk lain yang dianggap tidak diperlukan.
  5. Kecermatan, yakni cermat memakai kata-kata dalam kalimat, sehingga kalimat tersebut tidak menimbulkan tafsir ganda.
  6. Kelogisan yakni logis dalam megemukakan pandangan gres kalimat. Contoh kalimat tidak logis: "Untuk mempersingkat waktu, marilah kita teruskan jadwal ini dengan mengundang kehadiran Bapak Kepala Bidang ke atas podium". (seharusnya, "untuk menghemat waktu", lantaran waktu tidak sanggup dipersingkat.
  7. Kevariasian, gunakan kata dan kalimat secara bervariasi, jangan monoton. (Wahyu Wibowo, 2006).
Untuk melengkapi pemahaman yang menyeluruh terhadap artikel, berikut ini dikutipkan satu contoh artikel dari buku "berani menulis artikel" karya Wahyu Utomo yang diterbitkan tahun 2006.

Contoh artikel :

Makin terang Cina semenjak eranya Deng Xiaoping (1980) dengan keterbukaan tempat Timur, tidak mau sembarangan didikte oleh Amerika Serikat. Ketegasan itu makin nyata oleh penerusny, yakni Ziang Zemin / Zhu Rongji (1992-2002, dan kini generasi keempat kepemimpinan Hu Jintao / Wen Jiabao. Mentor dari Ziang / Zhu dan Hu / We semenjak 1980-an yakni Deng Xiaoping. Deng Xiaoping merintis Cina gres yang sangat berbeda dengan Cinanya Mao Zedong (1949-1976). Eranya Mao dikenal sebagai era tertutup konfrontatif terhadap Amerika Serikat dan dunia luar yang tidak sepaham Mao. Era Tirai Bambu kurang disukai oleh dunia luar (termasuk saya sebagai pemerhati ekonomi/bisnis Cina), lantaran kurangnya informasi yang mengalir ke luar tirai itu. Pada zaman Mao, AS dengan gencar menjelek-jelekkan Cina dari luar, melalui susunan komunikasi pers maupun radio (waktu itu belum ada TV).

Ketika Deng Xiaoping muncul tahun 1982 sebagai pemimpin Cina dan secara mudah memegang tapuk pimpinan Pemerintahan Cina, sebagian besar pemerhati di dalam maupun di luar Cina mulai menyadari kehebatan visi Deng. Proses yang digeluti dan para murid-muridnya memakan waktu dan tidak selalu mulus. Termasuk pengagum Deng yakni Dr Mahathir Mohamad (PM Malaysia, 1981-31 Oktober 2003), yang tanpa tedeng aling-aling dan terus terang memberikan kekagumannya sebagaimana terungkap dalam "Globalization With Common Development" (APEC CEO Summit in Shanghai, 21 Oktober 2001). Di situ dikatakan antara lain, "Tanpa ragu patut dinyatakan bahwa salah seorang tokoh kala ke - 20 yakni Deng Xiaoping, Bapak Empat Modernisasi Cina. Jelas pula tanpa ragu patut disebut bahwa dua dari pernyataan bijaksananya harus senantiasa ada dalam barisan utama pemikiran kita ketika berbicara mengenai isu besar masa kinikita." (Sumber: Bob Widyahartono, "Cina yang Berani Berkata Tidak", Suara Pembaruan, 07/11/03; h.9).

c. Karya Foto

Karya foto yakni pengabadian insiden dan momen-momen penting dalam kehidupan insan melalui kamera yang menghasilak foto-foto tiga dimensi. Foto mewakili sejuta goresan pena dan ungkapan yang pertanda kehidupan kehidupan dan kebudayaan manusia. Berbeda dengan makalah dan artikel yang membutuhkan sangat banyak untaian kalimat, karya foto hanya memerlukan beberapa kata untuk mempertegas tema dan makna foto untuk menawarkan pemahaman karya foto kepada para penikmatnya.

Tujuan karya foto yakni mengabadikan momen dan insiden penting dalam kehidupan manusia. Pada masa yang akan tiba foto-foto ini akan sangat berkhasiat untuk mendeskripsikan kehidupan yang diwakilinya. Mausia yang melihatnya akan memperoleh citra mengenai kehidupan yang diwakili oleh gambar itu. Satu foto mewakili seribu bahasa dan kalimat. Salah satu keunggulan foto yakni kesanggupannya menampilkan citra kehidupan insan dengan jujur dan penuh warna, hal ini terkadang tidak bisa diwujudkan melalui makalah dan artikel.

Pemahaman terhadap kota-kota bau tanah di Indonesia akan lebih gampang diperoleh dengan melihat foto-foto kuno dari membaca banyak makalah dan artikel ihwal kota bau tanah itu. Gambaran yang utuh mengenai sesuatu yang tidak dikenal lebih gampang diperoleh melalui foto dari pada melalui banyak kalimat yang berusaha menggambarkannya. Untuk memperoleh foto yang baik dibutuhkan teknik memfoto yang baik dengan memperhatikan tata cahaya yang tepat.

Makalah dan artikel bersifat subyektif, lantaran bagaimanapun ketika sang penulisnya memaparkan pandangan gres dan pokok masalah, sudah niscaya sangat dipengaruhi oleh pendapat dan opininya serta rasa sikapnya terhadap masalah yang dibicarakan. Berbeda dengan karya foto yang hanya menampilkan objek yang difoto, betapa sukanya juru foto terhadap sebuah objek foto, tetaplah ia memperlihatkan sosok aslinya, alami dan apa adanya. Oleh lantaran itu salah satu kelebihan karya foto dari dari makalah dan artikel yakni keobjektifannya.

Makalah dan artikel bersifat jujur, tetapi lantaran adanya suatu kepentingan bisa saja apa yang dianggap jujur itu dirangkai dari banyak sekali kebohongan yang saling berkaitan untuk mempertegas kejujuran palsu. Lain halnya dengan karya foto yang hanya menampilkan citra objek yang difoto berdasarkan apa adanya, karya foto mengabadikan objeknya secara jujur dan apa adanya.

Rangkuman :

1. Materi yang menjadi materi studi Antropologi diantaranya:

a. Etnografi yaitu citra ihwal bangsa-bangsa, melukiskan ihwal masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa.
b. Etnologi yaitu ilmu bangsa-bangsa yang mempelajari masalah-masalah yang berafiliasi dengan sejarah
perkembangan kebudayaan manusia.
c. Cultural antropology yaitu ilmu yang mempelajari peradaban insan dengan fokus utama pada kebudayaan.
d. Phicycal Anthropology yakni penggalan dari Antropologi yang mempelajari sejarah terjadinya keanekaragaman insan berdasarkan perbedaan ciri-ciri fisik tubuh manusia.

2. Tujuan dari studi Antropologi yaitu untuk membuat kehidupan insan lebih aman, tenteram, sejahtera dan modern. Tujuan simpulan dari studi Antropologi yakni mempergunakan hasil studi tersebut untuk membuat hidup insan lebih baik dan gampang bila diabndingkan dengan masa-masa sebelumnya.

3. Hasil studi Antropologi antara lain teori-teori Antropologi yang meliputi: teori evolusi kebudayaan, teori difusi kebudayaan, teori fungsional, teori akulturasi.

4. Tipe studi antropologi yaitu studi kualitatif dan kuantitatif.

Anda kini sudah mengetahui Etnografi. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Referensi :

Indriyawati, E. 2009. Antropologi 1 : Untuk Kelas XII Sekolah Menengan Atas dan MA. Pusat Perbukuan Departemen Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 194.

Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru, Jakarta.

Supriyanto. 2009. Antropologi Kontekstual : Untuk Sekolah Menengan Atas dan MA Program Bahasa Kelas XII. Pusat Perbukuan Departemen Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 240.

Yad Mulyadi. 1999. Antropologi. Depdikbud, Jakarta.

No comments:

Post a Comment