Pupuk organik ialah nama kolektif untuk semua jenis materi organik asal tumbuhan dan binatang yang sanggup dirombak menjadi hara tersedia bagi tanaman. Dalam Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006, ihwal pupuk organik dan pembenah tanah, dikemukakan bahwa pupuk organik ialah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas materi organik yang berasal dari tumbuhan dan atau binatang yang telah melalui proses rekayasa, sanggup berbentuk padat atau cair yang digunakan mensuplai materi organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Definisi tersebut memperlihatkan bahwa pupuk organik lebih ditujukan kepada kandungan C-organik atau materi organik daripada kadar haranya; nilai C-organik itulah yang menjadi pembeda dengan pupuk anorganik. Bila C-organik rendah dan tidak masuk dalam ketentuan pupuk organik maka diklasifikasikan sebagai pembenah tanah organik. Pembenah tanah atau soil ameliorant berdasarkan SK Mentan ialah bahan-bahan sintesis atau alami, organik atau mineral.
Sumber materi organik sanggup berupa kompos, pupuk hijau, pupuk kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang memakai materi pertanian, dan limbah kota. Kompos merupakan produk pembusukan dari limbah tumbuhan dan binatang hasil perombakan oleh fungi, aktinomisetes, dan cacing tanah. Pupuk hijau merupakan keseluruhan tumbuhan hijau maupun hanya belahan dari tumbuhan menyerupai sisa batang dan tunggul akar sehabis belahan atas tumbuhan yang hijau digunakan sebagai pakan ternak. Sebagai pola pupuk hijau ini ialah sisa–sisa tanaman, kacang-kacangan, dan tumbuhan paku air Azolla. Pupuk sangkar merupakan kotoran ternak.
Limbah ternak merupakan limbah dari rumah potong berupa tulang-tulang, darah, dan sebagainya. Limbah industri yang memakai materi pertanian merupakan limbah berasal dari limbah pabrik gula, limbah pengolahan kelapa sawit, penggilingan padi, limbah bumbu masak, dan sebagainya. Limbah kota yang sanggup menjadi kompos berupa sampah kota yang berasal dari tanaman, sehabis dipisah dari bahan-bahan yang tidak sanggup dirombak contohnya plastik, kertas, botol, dan kertas.
Istilah pupuk hayati digunakan sebagai nama kolektif untuk semua kelompok fungsional mikroba tanah yang sanggup berfungsi sebagai penyedia hara dalam tanah, sehingga sanggup tersedia bagi tanaman. Pemakaian istilah
ini relatif gres dibandingkan dengan ketika penggunaan salah satu jenis pupuk hayati komersial pertama di dunia yaitu inokulan Rhizobium yang sudah lebih dari 100 tahun yang lalu. Pupuk hayati dalam buku ini sanggup didefinisikan sebagai inokulan berbahan aktif organisme hidup yang berfungsi untuk menambat hara tertentu atau memfasilitasi tersedianya hara dalam tanah bagi tanaman. Memfasilitasi tersedianya hara ini sanggup berlangsung melalui peningkatan saluran tumbuhan terhadap hara contohnya oleh cendawan mikoriza arbuskuler, pelarutan oleh mikroba pelarut fosfat, maupun perombakan oleh fungi, aktinomiset atau cacing tanah.
Penyediaan hara ini berlangsung melalui kekerabatan simbiotis atau nonsimbiotis. Secara simbiosis berlangsung dengan kelompok tumbuhan tertentu atau dengan kebanyakan tanaman, sedangkan nonsimbiotis berlangsung melalui perembesan hara hasil pelarutan oleh kelompok mikroba pelarut fosfat, dan hasil perombakan materi organik oleh kelompok organisme perombak.
Kelompok mikroba simbiotis ini terutama mencakup basil bintil akar dan cendawan mikoriza. Penambatan N2 secara simbiotis dengan tumbuhan kehutanan yang bukan legum oleh aktinomisetes genus Frankia di luar cakupan buku ini. Kelompok cendawan mikoriza yang tergolong ektomikoriza juga di luar cakupan baku ini, lantaran kelompok ini hanya bersimbiosis dengan banyak sekali tumbuhan kehutanan. Kelompok endomikoriza yang akan dicakup dalam buku ini juga hanya cendawan mikoriza vesikulerabuskuler, yang banyak mengkolonisasi tanaman-tanaman pertanian.
Kelompok organisme perombak materi organik tidak hanya mikrofauna tetapi ada juga makrofauna (cacing tanah). Pembuatan vermikompos melibatkan cacing tanah untuk merombak banyak sekali limbah menyerupai limbah pertanian, limbah dapur, limbah pasar, limbah ternak, dan limbah industri yang berbasis pertanian. Kelompok organisme perombak ini dikelompokkan sebagai bioaktivator perombak materi organik.
Sejumlah basil penyedia hara yang hidup pada rhizosfir akar (rhizobakteri) disebut sebagai rhizobakteri pemacu tumbuhan (plant growthpromoting rhizobacteria=PGPR). Kelompok ini mempunyai peranan ganda di
samping (1) menambat N2, juga; (2) menghasilkan hormon tumbuh (seperti IAA, giberelin, sitokinin, etilen, dan lain-lain); (3) menekan penyakit tumbuhan asal tanah dengan memproduksi siderofor glukanase, kitinase, sianida; dan (4) melarutkan P dan hara lainnya (Cattelan et al., 1999; Glick et al., 1995; Kloepper, 1993; Kloepper et al., 1991). Sebenarnya tidak hanya kelompok ini yang mempunyai peranan ganda (multifungsi) tetapi juga kelompok mikroba lain menyerupai cendawan mikoriza. Cendawan ini selain sanggup meningkatkan serapan hara, juga sanggup meningkatkan ketahanan tumbuhan terhadap penyakit terbawa tanah, meningkatkan toleransi tumbuhan terhadap kekeringan, menstabilkan agregat tanah, dan sebagainya, tetapi berdasarkan hasil-hasil penelitian yang ada peranan sebagai penyedia hara lebih menonjol daripada peranan-peranan lain.
Pertanyaan yang mungkin timbul ialah apakah multifungsi suatu mikroba tertentu apabila digunakan sebagai inokulan sanggup terjadi secara bersamaan, sehingga tumbuhan yang diinokulasi sanggup memperoleh manfaat multifungsi mikroba tersebut. Kebanyakan kesimpulan tersebut berasal dari penelitian-penelitian terpisah, contohnya dampak terhadap serapan hara pada suatu percobaan, dan dampak terhadap toleransi kekeringan pada percobaan lain. Mungkin sekali fungsi-fungsi tersebut hanya dimiliki spesies tertentu pada suatu kelompok fungsional tertentu, atau mungkin juga fungsi-fungsi ini hanya dimiliki oleh strain atau strain-strain tertentu dalam suatu spesies, atau kondisi lingkungan dimana tumbuhan tersebut tumbuh.
Subha Rao (1982) menganggap tolong-menolong pemakaian inokulan mikroba lebih sempurna dari istilah pupuk hayati. Ia sendiri mendefinisikan pupuk hayati sebagai preparasi yang mengandung sel-sel dari strain-strain efektif mikroba penambat nitrogen, pelarut fosfat atau selulolitik yang digunakan pada biji, tanah atau tempat pengomposan dengan tujuan meningkatkan jumlah mikroba tersebut dan mempercepat proses mikrobial tertentu untuk menambah banyak ketersediaan hara dalam bentuk tersedia yang sanggup diasimilasi tanaman.
FNCA Biofertilizer Project Group (2006) mengusulkan definisi pupuk hayati sebagai substans yang mengandung mikroorganisme hidup yang mengkolonisasi rizosfir atau belahan dalam tumbuhan dan memacu pertumbuhan dengan jalan meningkatkan pasokan ketersediaan hara primer dan/atau stimulus pertumbuhan tumbuhan target, bila digunakan pada benih, permukaan tanaman, atau tanah. Pengertian pupuk hayati pada buku ini lebih luas daripada istilah yang dikemukakan oleh Subha Rao (1982) dan FNCA Biofertilizer Project Group (2006). Mereka hanya membatasi istilah pupuk hayati pada mikroba, sedangkan istilah yang digunakan pada buku ini selain melibatkan mikroba juga makrofauna menyerupai cacing tanah. Bila inokulan hanya mengandung pupuk hayati mikroba, inokulan tersebut sanggup juga disebut pupuk mikroba (microbial fertilizer)
Mikroorganisme dalam pupuk mikroba yang digunakan dalam bentuk inokulan sanggup mengandung hanya satu strain tertentu atau monostrain tetapi sanggup pula mengandung lebih dari satu strain atau multistrain. Strain-strain pada inokulan multistrain sanggup berasal dari satu kelompok inokulasi silang (cross-inoculation) atau lebih. Pada mulanya hanya dikenal inokulan yang hanya mengandung satu kelompok fungsional mikroba (pupuk hayati tunggal), tetapi perkembangan teknologi inokulan telah memungkinkan memproduksi inokulan yang mengandung lebih dari satu kelompok fungsional mikroba. Inokulan-inokulan komersial ketika ini mengandung lebih dari suatu spesies atau lebih dari satu kelompok fungsional mikroba. Karena itu
Simanungkalit dan Saraswati (1993) memperkenalkan istilah pupuk hayati beragam untuk pertama kali bagi pupuk hayati yang mengandung lebih dari satu kelompok fungsional.
Sejarah penggunaan pupuk intinya merupakan belahan daripada sejarah pertanian itu sendiri. Penggunaan pupuk diperkirakan sudah mulai pada permulaan dari insan mengenal bercocok tanam >5.000 tahun yang lalu. Bentuk primitif dari pemupukan untuk memperbaiki kesuburan tanah terdapat pada kebudayaan bau tanah insan di negeri-negeri yang terletak di tempat anutan sungai-sungai Nil, Euphrat, Indus, di Cina, Amerika Latin, dan sebagainya (Honcamp, 1931). Lahan-lahan pertanian yang terletak di sekitar aliran-aliran sungai tersebut sangat subur lantaran mendapatkan endapan lumpur yang kaya hara melalui banjir yang terjadi setiap tahun.
Di Indonesia tolong-menolong pupuk organik itu sudah usang dikenal para petani. Mereka bahkan hanya mengenal pupuk organik sebelum Revolusi Hijau turut melanda pertanian di Indonesia. Setelah Revolusi Hijau kebanyakan petani lebih suka memakai pupuk buatan lantaran mudah menggunakannya, jumlahnya jauh lebih sedikit dari pupuk organik, harganyapun relatif murah lantaran di subsidi, dan gampang diperoleh.
Kebanyakan petani sudah sangat tergantung kepada pupuk buatan, sehingga sanggup berdampak negatif terhadap perkembangan produksi pertanian, ketika terjadi kelangkaan pupuk dan harga pupuk naik lantaran subsidi pupuk dicabut.
Tumbuhnya kesadaran akan dampak negatif penggunaan pupuk buatan dan sarana pertanian modern lainnya terhadap lingkungan pada sebagian kecil petani telah menciptakan mereka beralih dari pertanian konvensional ke pertanian organik. Pertanian jenis ini mengandalkan kebutuhan hara melalui pupuk organik dan masukan-masukan alami lainnya.
Penggunaan pupuk hayati untuk membantu tumbuhan memperbaiki nutrisinya sudah usang dikenal. Pupuk hayati pertama yang dikomersialkan ialah rhizobia, yang oleh dua orang ilmuwan Jerman, F. Nobbe dan L. Hiltner, proses menginokulasi benih dengan biakan nutrisinya dipatenkan. Inokulan ini dipasarkan dengan nama Nitragin, yang sudah semenjak usang diproduksi di Amerika Serikat.
Pada tahun 1930-an dan 1940-an berjuta-juta ha lahan di Uni Sovyet yang ditanami dengan banyak sekali tumbuhan diinokulasi dengan Azotobacter. Bakteri ini diformulasikan dengan banyak sekali cara dan disebut sebagai pupuk basil Azotobakterin. Pupuk basil lain yang juga telah digunakan secara luas di Eropa Timur ialah fosfobakterin yang mengandung basil Bacillus megaterium (Macdonald, 1989). Bakteri ini diduga menyediakan fosfat yang terlarut dari pool tanah ke tanaman. Tetapi penggunaan kedua pupuk ini kemudian terhenti. Baru sehabis terjadinya kelangkaan energi di dunia lantaran krisis energi pada tahun 1970-an dunia memberi perhatian terhadap penggunaan pupuk hayati. Pada waktu pertama kali perhatian lebih dipusatkan pada pemanfaatan rhizobia, lantaran memang tersedianya nitrogen yang banyak di atmosfer dan juga pengetahuan ihwal basil penambat nitrogen ini sudah banyak dan pengalaman memakai pupuk hayati penambat nitrogen sudah lama.
Di Indonesia sendiri pembuatan inokulan rhizobia dalam bentuk biakan murni rhizobia pada biar miring telah mulai semenjak tahun 1938 (Toxopeus, 1938), tapi hanya untuk keperluan penelitian. Sedangkan dalam skala komersial pembuatan inokulan rhizobia mulai di Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta semenjak tahun 1981 untuk memenuhi keperluan petani transmigran (Jutono, 1982).
Pada waktu itu inokulan diberikan kepada petani sebagai salah satu komponen dalam paket yang diberikan dalam proyek intensifikasi kedelai. Penyediaan inokulan dalam proyek ini berdasarkan pesanan pemerintah kepada produsen inokulan, yang tadinya hanya satu produsen saja menjadi tiga produsen. Inokulan tidak tersedia di pasar bebas, tetapi hanya berdasarkan pesanan. Karena persaingan yang tidak sehat dalam memenuhi pesanan pemerintah ini, dan gres berproduksi jikalau ada proyek, menjadikan ada produsen inokulan yang terpaksa menghentikan produksi inokulannya, pada hal mutu inokulannya sangat baik.
Perkembangan penggunaan inokulan selanjutnya tidak menggembirakan. Baru sehabis dicabutnya subsidi pupuk dan tumbuhnya kesadaran terhadap dampak lingkungan yang sanggup disebabkan pupuk buatan, membangkitkan kembali perhatian terhadap penggunaan pupuk hayati.
Peranan pupuk organik dan pupuk hayati dalam keberlanjutan produksi dan kelestarian lingkungan
Berbagai hasil penelitian mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan pertanian intensif menurun produktivitasnya dan telah mengalami degradasi lahan, terutama terkait dengan sangat rendahnya kandungan C organik dalam tanah, yaitu <2%, bahkan pada banyak lahan sawah intensif di Jawa kandungannya <1%. Padahal untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan C-organik >2,5%. Di lain pihak, sebagai negara tropika berair yang mempunyai sumber materi organik sangat melimpah, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal.
Bahan/pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik dalam jangka panjang sanggup meningkatkan produktivitas lahan dan sanggup mencegah degradasi lahan. Sumber materi untuk pupuk organik sangat beranekaragam, dengan karakteristik fisik dan kandungan kimia/hara yang sangat bermacam-macam sehingga dampak dari penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan tumbuhan sanggup bervariasi. Pupuk organik atau materi organik tanah merupakan sumber nitrogen tanah yang utama, selain itu peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisika, kimia biologi tanah serta lingkungan. Pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami beberapa kali fase perombakan oleh mikroorganisme tanah untuk menjadi humus atau materi organik tanah.
Bahan dasar pupuk organik yang berasal dari sisa tumbuhan umumnya sedikit mengandung materi berbahaya. Namun penggunaan pupuk kandang, limbah industri dan limbah kota sebagai materi dasar kompos/pupuk organik cukup mengkhawatirkan lantaran banyak mengandung materi berbahaya menyerupai contohnya logam berat dan asamasam organik yang sanggup mencemari lingkungan. Selama proses pengomposan, beberapa materi berbahaya ini justru terkonsentrasi dalam produk final pupuk. Untuk itu dibutuhkan seleksi materi dasar kompos yang mengandung bahan-bahan berbahaya dan beracun (B3).
Bahan/pupuk organik sanggup berperan sebagai “pengikat” butiran primer menjadi butir sekunder tanah dalam pembentukan agregat yang mantap. Keadaan ini besar pengaruhnya pada porositas, penyimpanan dan penyediaan air, aerasi tanah, dan suhu tanah. Bahan organik dengan C/N tinggi menyerupai jerami atau sekam lebih besar pengaruhnya pada perbaikan sifat-sifat fisik tanah dibanding dengan materi organik yang terdekomposisi menyerupai kompos. Pupuk organik/bahan organik mempunyai fungsi kimia yang penting seperti: (1) penyediaan hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan mikro menyerupai Zn, Cu, Mo, Co, B, Mn, dan Fe, meskipun jumlahnya relatif sedikit. Penggunaan materi organik sanggup mencegah kahat unsur mikro pada tanah marginal atau tanah yang telah diusahakan secara intensif dengan pemupukan yang kurang seimbang; (2) meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah; dan (3) sanggup membentuk senyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tumbuhan menyerupai Al, Fe, dan Mn.
Pertanian konvensional yang telah dipraktekkan di Indonesia semenjak Revolusi Hijau telah banyak mensugesti keberadaan banyak sekali mikroba berkhasiat dalam tanah. Mikroba-mikroba ini mempunyai peranan penting dalam membantu tersedianya banyak sekali hara yang berkhasiat bagi tanaman. Praktek inokulasi merupakan suatu cara untuk memperlihatkan atau menambahkan banyak sekali mikroba pupuk hayati hasil skrining yang lebih unggul ke dalam tanah.
Bahan organik juga berperan sebagai sumber energi dan masakan mikroba tanah sehingga sanggup meningkatkan acara mikroba tersebut dalam penyediaan hara tanaman. Makara penambahan materi organik di samping sebagai sumber hara bagi tanaman, sekali gus sebagai sumber energi dan hara bagi mikroba
Penggunaan pupuk organik saja, tidak sanggup meningkatkan produktivitas tumbuhan dan ketahanan pangan. Oleh lantaran itu sistem pengelolaan hara terpadu yang memadukan proteksi pupuk organik/pupuk hayati dan pupuk anorganik dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan dan kelestarian lingkungan perlu digalakkan. Hanya dengan cara ini keberlanjutan produksi tumbuhan dan kelestarian lingkungan sanggup dipertahankan. Sistem pertanian yang disebut sebagai LEISA (low external input and sustainable agriculture) memakai kombinasi pupuk organik dan anorganik yang berlandaskan konsep good agricultural practices perlu dilakukan biar degredasi lahan sanggup dikurangi dalam rangka memelihara kelestarian lingkungan.
Pemanfaatan pupuk organik dan pupuk hayati untuk meningkatkan produktivitas lahan dan produksi pertanian perlu dipromosikan dan digalakkan. Program-program pengembangan pertanian yang mengintegrasikan ternak dan tumbuhan (crop-livestock) serta penggunaan tumbuhan legum baik berupa tumbuhan lorong (alley cropping) maupun tumbuhan epilog tanah (cover crop) sebagai pupuk hijau maupun kompos perlu diintensifkan.
Penggunaan pupuk organik dan hayati
Data ihwal penggunaan pupuk organik dan hayati hingga kini sulit diperoleh. Penyebabnya antara lain: 1). lantaran kebanyakan pupuk organik dan pupuk hayati diproduksi oleh pengusaha kecil dan menengah, 2). pupuk organik banyak diproduksi in situ untuk digunakan sendiri, dan 3). jumlah penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati masih sangat terbatas. Pupuk organik komersial yang kebanyakan diproduksi ex situ digunakan untuk tumbuhan hias pot di kota-kota besar. Baru pada tahuntahun terakhir ini perusahaan pupuk BUMN Pupuk Sriwijaya sudah mulai memproduksi pupuk organik. Penggunaan pupuk organik yang diproduksi secara in situ dilakukan pada tingkat perjuangan tani dengan memakai limbah pertanian/limbah ternak yang ada di perjuangan tani yang bersangkutan. Beberapa perusahaan pertanian/perkebunan menyerupai kelapa sawit, nanas, jamur merang mengolah limbahnya menjadi kompos untuk kebutuhan sendiri.
Penggunaan pupuk hayati pernah terdata dengan baik beberapa waktu, yaitu ketika pupuk hayati (inokulan rhizobia) merupakan salah satu komponen paket produksi untuk proyek intensifikasi kedelai pemerintah. Pemerintah mengadakan kontrak pesanan inokulan untuk seluruh areal intensifikasi kedelai. Karena adanya sistem kontrak ini beberapa pabrik inokulan berdiri lantaran dengan sistem ini produksi inokulan mereka terjamin pembelinya.
Pada periode 1983-1986, inokulan (Legin) sebanyak 68.034,67 kg telah digunakan untuk menginokulasi tumbuhan kedelai seluas 453.564 ha pada 25 provinsi di Indonesia (Sebayang and Sihombing, 1987). Pada animo tanam tahun 1997/1998, jenis inokulan lain (pupuk hayati beragam Rhizoplus) sebanyak 41.348,75 kg digunakan untuk menginokulasi 330.790 ha kedelai di 26 provinsi (Saraswati et al., 1998).
Perkembangan penggunaan inokulan Legin tiap tahun semenjak tahun 1981-1995 tidak memperlihatkan tendensi meningkat menyerupai diperlihatkan pada Tabel 1. Pencanangan “Go organic 2010” oleh Departemen Pertanian diharapkan akan menunjang perkembangan pupuk organik dan hayati di Indonesia. Selain itu juga mulai dilaksanakannya sistem pertanaman padi SRI oleh para petani mendorong mulai dproduksinya kompos in situ oleh para petani.
Tabel 1. Penggunaan inokulan Legin
Tahun | Jumlah | Tahun | Jumlah |
T | t | ||
1981 | 7,5 | 1989 | < 1,0 |
1982 | 6,1 | 1990 | < 1,0 |
1983 | 10,1 | 1991 | 15,0 |
1984 | 20,1 | 1992 | 15,0 |
1985 | 17,1 | 1993 | <1,0 |
1986 | 24,7 | 1994 | < 1,0 |
1987 | 13,0 | 1995 | >2,0* |
1988 | < 1,0 | ||
* asumsi |
Daftar Pustaka
Cattelan, A.J., P.G. Hartel, and J.J. Fuhrmann. 1999. Screening for plant growth-promoting rhizobacteria to promote early soybean growth. Soil Sci.Soc.Am.J. 63: 1.670-1.680.
FNCA Biofertilizer Project Group. 2006. Biofertilizer Manual. Forum for Nuclear Cooperation in Asia (FNCA). Japan Atomic Industrial Forum, Tokyo.
Glick, B.R. 1995. The enhancement of plant growth by free-living bacteria. Can. J. Microbial. 4: 109-117.
Honcamp, F. 1931. Historisches über die Entwicklung der Pflanzenernährungslehre, Düngung und Düngemittel. In F. Honcamp (Ed.). Handbuch der Pflanzenernährung und Düngelehre, Bd. I und II. Springer, Berlin.
Jutono. 1982. The application of Rhizobium-inoculant on soybean in Indonesia. Ilmu Pert. (Agric. Sci.) 3(5): 215-222.
Kloepper, J.W. 1993. Plant growth-promoting rhizobacteria as biological control agents. p. 255-274. In F.Blaine Metting, Jr. (Ed.). Soil Microbiology Ecology, Applications in Agricultural and Environmental Management. Marcel Dekker, Inc., New York.
Kloepper, J.W., R.M. Zablotowicz, E.M. Tipping, and R. Lifshitz. 1991. Plant growth promotion mediated by bacterial rhizosphere colonizers. p. 315- 326. In D.L. Keister and P.B. Cregan (Eds.). The Rhizosphere and Plant Growth. Kluwer Academic Pub., Dordrecht.
Macdonald, 1989. An overview of crop inoculation, p. 1-9. In R.Campbell and R.M. Macdonald (Eds.). Microbial Inoculation of Crop Plants. IRL Press, Oxford.
Saraswati, R., D.H. Goenadi, D.S. Damardjati, N. Sunarlim, R.D.M. Simanungkalit, dan Djumali Suparyani. 1998. Pengembangan Rhizo-plus untuk Meningkatkan Produksi, Efisiensi Pemupukan Menunjang Keberlanjutan Sistem Produksi Kedelai, Laporan Akhir Penelitian Riset Unggulan Kemitraan I Tahun (1995/1996-1997- 1998). Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan.
Sebayang, K. dan D.A. Sihombing 1987. The technology impact on soybean yield in Indonesia. pp. 37-48. In J.W.T. Bottema, F. Dauphin, and G. Gijsbers (Eds.). Soybean Research and Development in Indonesia. CGPRT Centre, Bogor.
Simanungkalit, R.D.M and R. Saraswati 1993. Application of biotechnology on biofertilizer production in Indonesia. pp. 45-57. In S. Manuwoto,
S. Sularso, and K. Syamsu (Eds.). Proc. Seminar on Biotechnology: Sustainable Agriculture and Alternative Solution for Food Crisis. PAU-Bioteknologi IPB, Bogor.
Subba Rao, N.S. 1982. Biofertilizer in Agriculture. Oxford and IBH Publishing Co., New Delhi.
Toxopeus, H.J. 1938. Over het voorkomen van de knolltjesbacterien van kedelee in verband met de wenschelijk van enten van het zaaizaad. Landbouw 14: 197-217.
Artikel ini merupakan materi yang ditulis oleh :
Didi Ardi Suriadikarta dan R.D.M. Simanungkalit. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati, Organic Fertilizer and Biofertilizer. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. p. 312.
Anda kini sudah mengetahui Pupuk Organik dan Hayati. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.
No comments:
Post a Comment