Friday, September 13, 2019

Pintar Pelajaran Filum Platyhelminthes : Pengertian, Ciri-Ciri, Klasifikasi, Reproduksi, Contoh

Filum Platyhelminthes : Pengertian, Ciri-ciri, Klasifikasi, Reproduksi, Contoh - Platyhelminthes merupakan kelompok cacing yang struktur tubuhnya paling sederhana. Kata Platyhelminthes berasal dari bahasa Latin, platy (pipih) dan helminthes (cacing atau vermes), sehingga kelompok ini disebut cacing pipih. Dibandingkan dengan Filum Porifera dan Cnidaria, organisasi badan cacing pipih ini sudah sedikit lebih maju. Platyhelminthes mempunyai badan pipih, lunak, simetri bilateral dan bersifat hermaprodit. Tubuh sanggup dibedakan dengan tegas antara posterior dan anterior, dorsal dan ventral. Bersifat tripoblastik, dinding tubuh terdiri atas 3 lapisan, yaitu ektoderm, mesoderm, dan endoderm. (Baca juga : Hewan Invertebrata)

Sistem pencernaan kuliner gastrovaskuler, tidak mempunyai rongga tubuh. Alat ekskresi berupa sel-sel api dan belum punya alat peredaran darah maupun alat respirasi. Sistem syarafnya disebut sistem syaraf tangga tali, terdiri atas sepasang ganglion (simpul syaraf ) anterior yang dihubungkan oleh satu hingga tiga pasang tali saraf memanjang.

Platyhelminthes atau Cacing pipih tidak bersegmen, merupakan cacing berbentuk simetris bilateral dan tidak mempunyai coelom (acoelomate) tetapi mempunyai tiga lapisan germinal. Beberapa jenis hidup secara bebas dan banyak yang bersifat parasit. Cacing pipih mempunyai sistem saraf cephalized yang terdiri dari ganglion kepala, biasanya menempel pada saraf longitudinal yang saling bekerjasama di seluruh badan dengan cabang yang melintang. Ekskresi dan osmoregulasi pada cacing pipih dikendalikan oleh "sel api" (flame cells) yang terletak di protonephridia (beberapa jenis cacing pipih ada yang tidak mempunyai protonephridia). Cacing pipih tidak mempunyai sistem pernafasan atau peredaran darah, fungsi-fungsi tersebut diganti dengan absorpsi melalui permukaan tubuh. Jenis cacing pipih non-parasit mempunyai badan yang sangat sederhana (tidak mempunyai usus yang lengkap),  bahkan pada spesies parasit, jaringan usus tersebut sangat tidak lengkap. [1]

1. Karakteristik Umum

Kurangnya organ peredaran darah dan pernapasan menciptakan platyhelminthes membatasi ukuran dan bentuknya, sehingga memungkinkan mereka untuk melaksanakan pemasukan oksigen dan pengeluaran karbondioksida pada semua cuilan tubuhnya dengan proses difusi sederhana. Oleh lantaran itu, ukuran cacing ini banyak yang mikroskopis dan spesies yang berukuran besar mempunyai bentuk mirip pita atau daun yang datar. Ususnya mempunyai banyak cabang, sehingga nutrisi sanggup menyebar ke seluruh cuilan badan [2,3]. Respirasi dilakukan melalui seluruh permukaan badan sehingga menciptakan mereka rentan terhadap kehilangan cairan dan alhasil habitat mereka menjadi terbatas. Cacing ini lebih sering hidup pada lingkungan yang lembab, mirip pada sampah daun atau tanah, dan sebagai benalu pada binatang lain. [2,4]

Ruang di antara kulit dan usus berupa mesenkim, yaitu jaringan ikat yang terbuat dari sel dan diperkuat oleh serat kolagen yang berfungsi mirip kerangka. Mesenkim menyediakan tempat penempelan untuk otot. Mesenkim berisi semua organ internal dan juga menjadi tempat terjadinya sirkulasi oksigen, nutrisi dan produk-produk limbah. Mesenkim terdiri dari dua jenis sel utama, yaitu sel tetap, beberapa di antaranya mempunyai vakuola berisi cairan, dan sel-sel punca (stem cells), yang sanggup bermetamorfosis semua jenis sel lain, dan dipakai untuk regenerasi regenerasi sesudah mengalami cedera atau reproduksi aseksual [2,4]

Kebanyakan platyhelminthes tidak mempunyai anus sehingga material yang tercerna dikeluarkan melalui mulut. Namun, beberapa spesies yang berukuran panjang mempunyai anus dan beberapa spesies lainnya mempunyai usus bercabang yang kompleks dengan lebih dari satu anus, lantaran akan menyulitkan bagi beberapa spesies ini jikalau ekskresi juga harus dilakukan melalui mulut. [2,5] Usus dilapisi dengan satu lapisan sel endodermal yang berfungi menyerap dan mencerna makanan. Beberapa spesies memecah dan melembutkan kuliner dengan mensekresi enzim didalam usus atau faring (tenggorokan). [2,4]

Semua binatang perlu menjaga konsentrasi zat terlarut di dalam cairan tubuhnya pada tingkat yang cukup konstan. Parasit internal dan binatang maritim hidup di lingkungan dengan konsentrasi materi terlarut yang tinggi, dan umumnya membiarkan jaringan mereka mempunyai tingkat konsentrasi yang sama dengan lingkungannya, sedangkan binatang air tawar perlu mencegah cairan badan mereka menjadi terlalu encer. Walau ada perbedaan pada lingkungan, sebagian platyhelminthes memakai sistem yang sama untuk mengontrol konsentrasi cairan badan mereka. Mereka memakai “sel api”, disebut demikian lantaran pergerakan flagela mereka tampak mirip nyala lilin yang berkedip-kedip. Sel api mengekstrak air dari mesenkim yang mengandung limbah dan beberapa materi yang sanggup dipakai kembali, kemudian didorong menuju ke jaringan sel-sel tabung yang dilapisi dengan flagela dan mikrovili. Flagela sel tabung yang mendorong air menuju keluar disebut nefridiopora, sementara mikrovili menyerap kembali materi yang sanggup dipakai kembali dan  air sebanyak yang dibutuhkan untuk menjaga cairan badan pada konsentrasi yang tepat. Kombinasi dari sel api dan sel tabung disebut protonefredia. [2,4] [2,6]

Pada semua platyhelminthes, sistem saraf terkonsentrasi di ujung kepala, mirip yang ada pada filum Acoel, yang mempunyai jaring saraf lebih mirip dengan cnidaria dan ctenophores, tapi terkonsentrasi di sekitar kepala. Platyhelminthes lain mempunyai cincin ganglia di kepala dan batang saraf utama yang ada di sepanjang badan mereka. [2,4] [2,5]

2. Sistem Pencernaan

Rongga pencernaan hanya mempunyai satu lubang untuk kedua ingesti (asupan nutrisi) dan egesti (pengeluaran), sebagai akibatnya, kuliner tidak sanggup diproses secara terus menerus. [2]

3. Alat Gerak

Pergerakan pada beberapa cacing pipih dikendalikan oleh lapisan otot longitudinal, melingkar, dan miring.  Sedangkan jenis lainnya bergerak sepanjang jalur lendir dengan gerakan silia epidermal. Perkembangan dari arah gerakan bekerjasama dengan cephalization. Pada beberapa cacing pipih, proses cephalization sudah meliputi perkembangan di wilayah kepala berupa organ peka cahaya yang disebut ocelli. Beberapa organ penginderaan yang ada pada beberapa anggota cacing pipih (tidak selalu di kepala) meliputi kemoreseptor, reseptor keseimbangan (statocysts), dan reseptor yang mencicipi pergerakan air (rheoreceptors). [1]

4. Reproduksi

Kebanyakan cacing pipih sanggup bereproduksi secara seksual atau aseksual, kebanyakan monoecious. Sebagian besar telah menyebarkan cara untuk menghindari fertilisasi sendiri (self-fertilization). Perkembangannya sanggup secara langsung (telur menetas menjadi cacing kecil yang ibarat cacing dewasa) atau tidak langsung (dengan bentuk larva bersilia). [1]

5. Interaksi dengan Manusia

Sebagian besar cacing pipih berupa parasit, beberapa di antaranya memperlihatkan imbas yang sangat jelek bagi populasi manusia. [1]

Lebih dari setengah spesies cacing pipih yang dikenal merupakan parasit, dan beberapa spesies ancaman besar bagi insan dan binatang ternak. Peyekit Schistosomiasis disebabkan oleh satu genus dari trematoda, penyakit ini merupakan nomor 2 paling dahsyat dari semua penyakit insan yang disebabkan oleh benalu (hanya dilampaui oleh malaria). Neurocysticercosis, terjadi ketika larva cacing pita babi Taenia solium menembus sistem saraf pusat, hal ini merupakan penyebab utama terjadinya epilepsi di seluruh dunia. Ancaman benalu platyhelminthes pada insan di negara maju meningkat lantaran pertanian organik. Hal ini disebabkan karena, popularitas kuliner mentah atau yang dimasak sebentar, dan impor kuliner dari tempat yang berisiko tinggi terserang platyhelminthes. Pada negara-negara kurang berkembang, orang sering tidak bisa membayar materi bakar yang dibutuhkan untuk memasak kuliner secara menyeluruh, dan pasokan air serta proyek irigasi yang jelek seiring dengan sanitasi yang jelek dan pertanian tidak bersih meningkatkan ancaman risiko terserang cacing ini. [2]

Dua spesies planaria telah dipakai dengan sukses di Filipina, Indonesia, Hawaii, Papua Nugini, dan Guam untuk mengendalikan populasi dari bekicot Afrika Achatina fulica, yang menggusur populasi siput asli. Namun, kini ada kekhawatiran bahwa planaria ini sendiri kemungkinan menjadi ancaman serius bagi populasi siput orisinil di tempat tesebut. Di barat maritim Eropa, ada kekhawatiran wacana penyebaran cacing planaria Selandia Baru, Arthurdendyus triangulatus, yang memangsa cacing tanah. [2]

6. Kelas dari Filum Platyhelminthes

Berdasarkan bentuk badan dan sifat hidupnya, Platyhelminthes dibagi menjadi tiga kelas yaitu, Kelas Turbellaria, Kelas Trematoda, dan Kelas Cestoda. Berikut klarifikasi untuk masing-masing kelas tersebut.

6.1. Kelas Turbellaria

Sebagian besar anggota Turbellaria hidup bebas, hanya beberapa yang parasit. Bisa ditemui di ekosistem air tawar, air laut, maupun terestrial. Tubuhnya berbentuk mirip daun, tidak bersegmen, pada epidermis terdapat bulu-bulu getar, dan intestinumnya bercabang. Panjang tubuhnya berkisar 6-15 mm dan tidak mempunyai darah.Tubuh berwarna gelap, coklat dan abu-abu bernapas secara difusi pada permukaan seluruh tubuh. Contoh anggota kelas ini ialah Dugesia trigina, yang lebih dikenal dengan nama Planaria (Gambar 1). Cacing planaria hidup bebas di air tawar yang jernih dan mengalir sepanjang tahun, menempel pada watu atau dedaunan yang jatuh.
 Platyhelminthes merupakan kelompok cacing yang struktur Pintar Pelajaran Filum Platyhelminthes : Pengertian, Ciri-ciri, Klasifikasi, Reproduksi, Contoh
Gambar 1. Dugesia tigrina (Planaria) (jcoll.org)

6.1.1. Karakteristik Umum

Turbellaria terdiri dari sekitar 4.500 spesies, [5,7] sebagian besar hidup bebas, dengan ukuran panjang antara 1 mm (0,039 in) hingga 600 mm (24 in). Sebagian besar ialah predator atau pemakan bangkai. Spesies yang ada di darat sebagian besar aktif di malam hari dan tinggal di lingkungan yang lembab mirip pada sampah daun atau kayu yang membusuk. Beberapa ada yang bersimbiosis dengan binatang lain mirip krustasea, dan beberapa lainnya bersifat parasit. Turbellaria yang hidup bebas, biasanya berwarna hitam, coklat atau abu-abu, tetapi beberapa jenis yang lebih besar berwarna cerah. [2]

Turbellaria tidak mempunyai kutikula (lapisan luar berupa materi organik yang bersifat non-seluler). Pada beberapa spesies kulitnya berupa syncitium (kumpulan sel-sel dengan beberapa inti dan membran eksternal tunggal bersama). Namun, kulit pada sebagian besar spesies ini terdiri dari satu lapisan sel, yang masing-masing pada umumnya mempunyai beberapa silia ("rambut" kecil yang bergerak). Pada beberapa spesies berukuran besar permukaan atas tubuhnya tidak mempunyai silia. Kulit ini juga ditutupi dengan mikrovili yang ada di antara silia. Turbellaria mempunyai banyak kelenjar, biasanya berada di dalam lapisan otot di bawah kulit dan terhubung ke permukaan melalui pori-pori yang merupakan tempat untuk mengeluarkan lendir, perekat, dan zat lainnya. [5,7]

Spesies akuatik berukuran kecil memakai silia untuk bergerak, sementara yang lebih besar memakai gerakan otot dari seluruh badan untuk merayap atau berenang. Beberapa bisa menggali, melekatkan cuilan ujung belakang di bawah liang kemudian meregangkan kepala untuk mengambil kuliner dan kemudian menariknya kembali ke bawah. Beberapa spesies darat mengeluarkan benang dari lendir yang dipakai sebagai tali untuk memanjat dari satu daun ke yang lain. [5,7]

Beberapa Turbellaria mempunyai kerangka spikular, sehingga memperlihatkan bentuk annular (seperti cincin). [5,7]

6.1.2. Pola Makan dan Pencernaan

Convoluta roscoffensis sanggup menelan sel dari Tetraselmis (alga hijau) dan pada ketika cukup umur spesies ini menggunakaan alga tersebut sebagai endosymbiont untuk menyediakan makanan. Pada filum Acoel lainnya, ususnya dilapisi oleh syncitium. Turbellaria mempunyai faring sederhana yang dilapisi silia dan memakai silia untuk menyapu partikel kuliner dan mangsa kecil ke dalam mulutnya. Mulut ini biasanya berada di cuilan tengah bawah dari tubuhnya.

Kebanyakan Turbellaria merupakan karnivora, mereka memangsa invertebrata kecil, protozoa, atau memakan bangkai binatang yang mati. Beberapa spesies memakan binatang yang lebih besar, termasuk tiram dan teritip. Bdelloura, bersimbiosis komensialisme pada insang kepiting tapal kuda. Turbellaria jenis ini biasanya mempunyai faring eversible.[2] Microstomum caudatum merupakan spesies air tawar yang sanggup membuka mulutnya hampir selebar panjang tubuhnya, dan bisa menelan mangsa sebesar tubuhnya. [5,7]

Usus dilapisi oleh sel fagosit yang menangkap partikel kuliner yang sebagian telah dicerna oleh enzim di dalam usus. Pencernaan kemudian diselesaikan di dalam sel fagosit dan nutrisi disebar ke seluruh tubuh.

6.1.3. Sistem Saraf

Pada filum Acoel, setidaknya ada konsentrasi jaringan saraf di tempat kepala, yang mempunyai jaringan saraf lebih mirip dengan cnidaria dan ctenophores, tapi memadat di sekitar kepala. Turbellaria mempunyai otak yang berbeda, meskipun relatif sederhana dalam struktur. Terdapat 1-4 pasang tali saraf dari otak hingga di sepanjang tubuh, dengan banyaknya percabangan syaraf yang lebih kecil. Tidak mirip binatang yang lebih kompleks, mirip Annelida, tidak ada ganglia pada pita saraf, selain yang membentuk otak. [7,8]

Kebanyakan Turbellaria mempunyai ocelli ("mata kecil"), satu pasang di sebagian besar spesies, tapi dua atau bahkan tiga pasang pada beberapa spesies. Beberapa spesies dengan ukuran besar mempunyai banyak mata di cuilan atas otak; pada tentakel, atau di sepanjang tepi tubuh. Ocelli hanya bisa membedakan arah datangnya cahaya, sehingga memungkinkan binatang ini untuk menghindarinya. [7,8]

Beberapa kelompok, terutama catenulida, acoelomorpha dan seriate mempunyai statocysts, (ruangan berisi cairan yang mengandung partikel padat). Statocysts dianggap sebagai sensor keseimbangan dan pergerakan, pada medusae, cnidaria, dan ctenophores, statocysts juga mempunyai fungsi yang sama. Namun, statocysts pada turbellaria tidak mempunyai silia sensorik, dan tidak diketahui bagaimana mereka mencicipi gerakan dan posisi dari partikel padat.

Sebagian besar spesies mempunyai sel sensor sentuhan bersilia yang tersebar di seluruh badan mereka, terutama pada tentakel dan di sekitar tepi tubuh. Sel-sel khusus di dalam lubang atau lekukan pada kepala ini kemungkinan merupakan sensor penciuman. [5,7]

6.1.5. Reproduksi

Kebanyakan Turbellaria berkembang biak dengan mengkloning dirinya, sedangkan pada jenis Acoel, berkembang biak dengan tunas. Planaria genus Dugesia merupakan perwakilan genus yang populer dari kelas Turbellaria. [5,7]

Semua Turbellaria merupakan organisme hermafrodit, mempunyai sel-sel reproduksi jantan dan betina, dan membuahi telurnya secara internal melalui kopulasi. [5,7] Beberapa spesies akuatik yang lebih besar melaksanakan perkawinan dengan p*nis fencing / sabung pen*s, duel di mana setiap individu mencoba untuk menghamili yang lain, individu yang kalah mengadopsi tugas wanita untuk menyebarkan telur. [7,9]

Meskipun pada filum Acoel, gonadnya tidak sanggup dibedakan, pada Turbellaria lainnya ada satu pasang atau lebih testis dan ovarium. Saluran sprma melalui vesikula seminalis, menuju ke otot pen*s. Pada banyak spesies, jauh lebih rumit dengan adanya penambahan kelenjar perhiasan atau struktur yang lain. Pen*s terletak di dalam rongga, dan sanggup berereksi melalui sebuah lubang di cuilan bawah posterior hewan. Pada sebagian besar spesies, sel sprma mempunyai dua ekor. [7,8]

Pada kebanyakan platyhelminthes, ovarium dibagi menjadi dua, salah satu menghasilkan ovum, dan satunya lagi memproduksi sel kuning telur khusus, yang dipakai untuk memelihara perkembangan embrio. Banyak spesies Turbellaria mempunyai sistem reproduksi mirip ini, akan tetapi pada beberapa spesies sepertinya mempunyai sistem reproduksi yang lebih primitif. Ada spesies yang indung telurnya tidak terbagi, dan sel telurnya sudah mengandung kuning telur di dalam sitoplasma mereka sendiri, mirip yang terjadi pada sebagian besar binatang lain. Pada sistem reproduksi lainnya, ovarium mempunyai saluran telur yang menuju ke bursa untuk mendepositkan (menyimpan) sprma. Bursa ialah cuilan dari sistem reproduksi betina dan berfungsi menyimpan sprma dimana perkembangannya sangat bermacam-macam dan kemungkinan mempunyai tempat sekunder atau aksesori. Bursa ini pada gilirannya terhubung ke v*gina yang membuka di depan pen*s. Pada beberapa kasus, ada juga struktur/organ lain yang dipakai untuk penyimpanan sprma selain bursa, atau bahkan rahim untuk penyimpanan telur yang telah matang. [7,8]

Pada sebagian besar spesies "miniatur organisme dewasa" muncul ketika telur menetas, tetapi spesies dengan ukuran yang besar menghasilkan beberapa plankton mirip larva. [5,7]

6.2. Kelas Trematoda

Trematoda merupakan cacing benalu pada vertebrata. Tubuhnya tertutup lapisan-lapisan kutikula. Kelompok ini disebut juga sebagai cacing penghisap, lantaran mempunyai alat penghisap atau sucker.

Trematoda merupakan kelas di dalam filum Platyhelminthes yang terdiri dari tiga kelompok cacing pipih parasit, sering disebut juga sebagai "flukes". Kelompok-kelompok dari cacing benalu tersebut ialah Cestoda, Monogenea dan Trematoda. [10]

6.2.1. Taksonomi dan Biodiversitas

Trematoda atau “flukes” diperkirakan mencapai 18.000 [10,11] hingga 24.000 [10,12] spesies, dan dibagi menjadi dua subkelas. Hampir semua trematoda ialah benalu pada moluska dan vertebrata. Aspidogastrea, yang terdiri dari sekitar 100 spesies, merupakan benalu obligat pada moluska yang juga sanggup menginfeksi kura-kura dan ikan, termasuk ikan bertulang rawan. Digenea, yang merupakan kelompok dengan keanekaragaman dominan pada trematoda, ialah benalu obligat dari moluska dan vertebrata, tetapi Digenea jarang menjadi benalu pada ikan bertulang rawan.

Sebelumnya, Monogenea  termasuk di dalam Trematoda, dengan dasar bahwa cacing ini juga merupakan benalu berbentuk ulat (vermiform), namun studi filogenetik modern telah menimbulkan kelompok menjadi kelas tersendiri di dalam filum Platyhelminthes, bersama dengan Cestoda

Trematoda berbentuk oval dan mempunyai bentuk mirip cacing, biasanya panjangnya tidak lebih dari beberapa sentimeter. Fitur eksternal yang paling khas pada Trematoda ialah adannya dua pengisap, satu erat dengan mulut, dan yang lainnya berada di cuilan bawah. [10,13]

Permukaan badan trematoda terdiri dari syncitial tegument berpengaruh yang membantu melindungi terhadap enzim pencernaan usus hewan. Permukaan syncitial tegument ini berfungsi untuk pertukaran gas (tidak ada organ pernapasan pada Trematoda) [10,13].

Mulutnya terletak di ujung depan, berupa otot yang disokong oleh faring. Faring terhubung melalui esofagus pendek yang disebut caeca. Caeca bercabang pada beberapa spesies. Seperti cacing pipih lainnya, Trematoda tidak mempunyai anus, sehingga sisa limbah pencernaan dikeluarkan melalui mulut. [10,13]

Meskipun ekskresi limbah nitrogen sebagian besar terjadi melalui Tegument, Trematoda mempunyai sistem ekskretoris, terutama yang berkaitan dengan osmoregulasi. Sistem eksretoris ini terdiri dari dua atau lebih protonephridia, yang terletak pada setiap lubang di sisi cuilan badan dan menjadi duktus pengumpul (collecting duct). Kedua saluran pengumpul biasanya bertemu di kandung kemih tunggal, membuka ke luar melalui satu atau dua pori-pori  di erat ujung posterior hewan. [10,13]

Otak pada Trematoda terdiri dari sepasang ganglia  yang berada di wilayah kepala. Dari masing-masing ganglia tersebut terdapat dua atau tiga pasang tali saraf yang menjalar ke seluruh cuilan tubuh. Tali saraf yang menjalar di sepanjang permukaan ventral ialah selalu yang terbesar, sedangkan tali saraf punggung / dorsal hanya ada pada Aspidogastrea. Trematoda pada umumnya kekurangan organ penginderaan khusus, meskipun ada beberapa spesies ektoparasit yang mempunyai satu atau dua pasang ocelli sederhana. [10,13]

6.2.2. Sistem Reproduksi

Kebanyakan trematoda merupakan hermafrodit (memiliki organ reproduksi jantan dan betina di dalam satu tubuh). Biasanya mempunyai dua testis, dengan saluran sprma yang bergabung bersama di bawah badan cuilan tengah depan. Sistem ini bervariasi secara struktur di antara spesies, tetapi sistem ini biasanya sudah meliputi kantung penyimpanan sprma dan kelenjar aksesori, sebagai tambahan organ kopulasi, baik yang reversible (disebut sebagai cirrus), atau non-eversible (disebut sebagai pen*s). [10,13]

Biasanya Trematoda hanya mempunyai ovarium tunggal, yang terhubung melalui sepasang saluran menuju ke sejumlah kelenjar vitelline di kedua sisi tubuh, yang menghasilkan sel kuning telur (yolk cell). Telur lepas dari ovarium menuju ke dalam wadah yang disebut ootype atau kelenjar Mehlis (kelenjar di mana pembuahan terjadi). Kelenjar membuka menjadi uterus memanjang yang membuka ke luar, berdekatan dengan organ jantan. Ovarium sering juga dikaitkan dengan kantung penyimpanan sprma dan saluran kopulasi yang disebut kanal Laurer. [10,13]

6.2.3. Siklus Hidup 

Hampir semua trematoda menginfeksi moluska sebagai inang pertama pada siklus hidupnya, dan sebagian besar mempunyai siklus hidup kompleks yang melibatkan jenis inang lainnya. Kebanyakan trematoda merupakan monoeciuos dan bergantian bereproduksi secara seksual dan aseksual, kecuali pada Aspidogastrea yang tidak mempunyai reproduksi aseksual dan Schistosomatidae yang bersifat dioecious (organ reproduksi jantan dan betina terpisah). [10]

Di dalam definitive host (inang, dimana benalu mencapai kematangan dan, jikalau mungkin, bereproduksi secara seksual), di mana reproduksi seksual terjadi, telur biasanya keluar bersamaan dengan feses dari inang. Telur yang dilepaskan di air membentuk larva yang bisa berenang bebas dan bersifat infektif ke intermediate host (inang perantara), di mana reproduksi aseksual terjadi. [10]

Sebuah spesies yang mencontohkan siklus hidup yang luar biasa dari trematoda ialah cacing pada burung, Leucochloridium paradoxum. Berbagai jenis burung hutan bertindak sebagai inang definitive bagi spesies tersebut, sementara aneka macam jenis siput merupakan  inang tempat benalu tumbuh (intermediate host). Parasit cukup umur di dalam usus burung memproduksi telur dan pada akhirnya telur tersebut akan berakhir di tanah keluar bersamaan dengan feses burung. Beberapa telur ditelan oleh siput dan di dalam siput mereka menetas menjadi larva kecil transparan (mirasidium). Larva ini tumbuh dan mempunyai bentuk mirip kantung. Tahap ini dikenal sebagai sporocyst, sporocyst ini kemudian akan membentuk badan sentral  pada kelenjar pencernaan siput yang membentang menjadi kantung perindukan di kepala , otot kaki dan tangkai mata siput. Parasit bereplikasi sendiri pada cuilan badan pusat sporocyst, menghasilkan banyak embrio kecil (redia). Embrio ini akan pindah menuju ke kantung perindukan dan berkembang   cukup umur menjadi cercaria. [10]

6.2.4. Infeksi

Infeksi pada insan kerap terjadi di Asia, Afrika, Amerika Selatan, dan Timur Tengah. Namun, Trematoda sanggup ditemukan pada semua tempat dimana limbah / kotoran insan dipakai sebagai pupuk. Schistosomasis (dikenal juga dengan bilharzia, bilharziosis atau demam siput) merupakan salah satu teladan penyakit parasitik yang disebabkan oleh salah satu spesies Trematoda, sebuah spesies cacing benalu dari genus Schistosoma. [10]

6.2.5. SubKelas dari Kelas Trematoda

6.2.5.1. Digenea

Digenea mempunyai sekitar 11.000 spesies lebih banyak dari semua adonan spesies platyhelminthes lainnya. Digenea dewasa, biasanya mempunyai dua holdfasts, sebuah cincin di sekitar ekspresi dan pengisap di cuilan tengah bawah yang berukuran lebih besar.[2,3] Meskipun nama "Digeneans" berarti "dua generasi", sebagian besar mempunyai siklus hidup yang sangat kompleks hingga mencapai tujuh tahap (tergantung pada kondisi lingkungan yang ditemui pada tahap awal), yang paling penting adalah, apakah telur disimpan di darat atau di air. Tahap peralihan mentransfer benalu dari satu inang ke inang yang lain. Definitive host, yang merupakan tempat perkembangan menuju organisme cukup umur berupa vertebrata darat, inang pertama pada tahap remaja biasanya siput yang sanggup hidup di darat atau di air, dan pada banyak kasus ikan atau arthropoda ialah inang kedua. [2,5]

Sebuah ilustrasi yang memperlihatkan siklus hidup dari intestinal fluke (cacing yang hidup di usus), Metagonimus. Cacing ini menetas di dalam usus siput, berpindah ke ikan, di mana ia menembus badan dan encyst (membentuk kantong perindukan) pada daging; kemudian bergerak ke usus kecil binatang darat yang memakan ikan mentah; dan kemudian menghasilkan telur yang dikeluarkan melalui feses dan kemudian dicerna kembali oleh siput. Schistosomes, yang merupakan penyebab penyakit tropis, bilharzia, termasuk di dalam kelompok ini [2,14].

Cacing cukup umur mempunyai panjang antara 0,2 mm (0,0079 in) dan 6 mm (0.24 in). Stu individu Digenea cukup umur individu hanya mempunyai satu alat reproduksi (jantan / betina), dan pada beberapa spesies, betina hidup pada celah tertutup yang berada di sepanjang badan organisme jantan, dan secara periodik keluar untuk bertelur. Pada semua spesies, organisme cukup umur mempunyai sistem reproduksi yang kompleks dan sanggup menghasilkan antara 10.000-100.000 kali lebih banyak telur sebagai cacing pipih yang hidup bebas. Selain itu, pada tahap peralihan mereka hidup di dalam siput dan bereproduksi secara aseksual. [2,5]

Spesies cukup umur dari spesies yang berbeda menempati cuilan / tempat yang berbeda pada inang definitive, contohnya usus, paru-paru, pembuluh darah besar, [2,3] dan hati [2,5]. Organisme cukup umur memakai faring berotot berukuran relatif besar untuk menelan sel, fragmen sel, lendir, cairan badan atau darah. Pada organisme cukup umur dan organisme yang hidup di siput, syncytium eksternalnya bisa menyerap nutrisi terlarut dari inangnya. Digenea cukup umur sanggup hidup tanpa oksigen untuk waktu yang lama. [2,5]

6.2.5.2. Aspidogastrea

Anggota dari kelompok kecil ini mempunyai sebuah pengisap tunggal atau gugusan pengisap yang berada cuilan bawah tubuh. [1,5] Mereka menginfeksi usus ikan bertulang belakang, ikan bertulang rawan, kura-kura, dan rongga badan bivalvia dan gastropoda (baik air maritim maupun air tawar). [2,3] Telur mereka menghasilkan larva bersilia yang bisa berenang, dan pada siklus hidupnya mempunyai satu atau dua inang. [2,5]

6.2.6. Contoh Spesies Kelas Trematoda

Contoh anggota kelas ini ialah cacing hati (Fasciola hepatica) dan Clonorchis sinensis. Untuk lebih memahami kedua spesies tersebut cermati uraian berikut.

1) Fasciola hepatica

Cacing ini hidup sebagai benalu di dalam hati insan dan hewan ternak mirip sapi, babi, dan kerbau. Tubuhnya mencapai panjang 2-5 cm, dilengkapi alat penghisap yang letaknya mengelilingi mulut dan di erat perut (Gambar 2). Cacing hati berkembangbiak secara seksual dengan pembuahan silang atau pembuahan sendiri (hermaprodit).
 Platyhelminthes merupakan kelompok cacing yang struktur Pintar Pelajaran Filum Platyhelminthes : Pengertian, Ciri-ciri, Klasifikasi, Reproduksi, Contoh
Gambar 2. Cacing hati (Fasciola hepatica) (Wikimedia Commons)
Fasciola hepatica mempunyai siklus hidup mulai dari dalam tubuh inangnya, ketika keluar dari badan inang, sampai kemudian masuk kembali sebagai benalu di badan inang yang baru. Perhatikan Gambar 3. Di dalam badan inangnya, cacing dewasa memproduksi sprma dan ovum kemudian melakukan pembuahan. Telur yang telah dibuahi kemudian keluar dari tubuh inang bersama feses (kotoran). Bila jatuh di tempat yang sesuai, telur ini akan menetas dan menjadi mirasidium (larva bersilia). Mirasidium kemudian berenang di perairan selama 8-20 jam. Bila menemukan siput air (Lymnaea javanica), mirasidium akan masuk ke badan siput tersebut, tetapi bila tidak bertemu siput air mirasidum akan mati. Di dalam badan siput, mirasidium kemudian tumbuh menjadi sporoskista. Sporokista kemudian berpartenogenesis menjadi redia dan kemudian menjadi serkaria.
 Platyhelminthes merupakan kelompok cacing yang struktur Pintar Pelajaran Filum Platyhelminthes : Pengertian, Ciri-ciri, Klasifikasi, Reproduksi, Contoh
Gambar 3. Siklus hidup cacing Fasciola hepatica
Serkaria membentuk ekor dan keluar menembus badan siput, kemudian berenang beberapa usang sehingga melepaskan ekornya di rumput dan flora air untuk menjadi metaserkaria. Metaserkaria kemudian membungkus diri dengan kista (cyste) sehingga sanggup bertahan pada rumput atau flora lain, menunggu tergoda oleh hewan. Ketika kista ikut termakan bersama tumbuhan, kista akan menembus dinding usus lalu masuk ke hati, kemudian berkembang hingga cukup umur dan bertelur kembali mengulang siklus yang sama.

2) Clonorchis sinensis

Cacing ini hidup di dalam hati dan saluran empedu manusia, anjing, atau kucing. Siklus hidupnya mirip dengan cacing hati. Inang perantaranya ialah siput, ikan, atau udang. Siklus hidup Chlonorchis sinensis dijelaskan dengan Gambar 4.
 Platyhelminthes merupakan kelompok cacing yang struktur Pintar Pelajaran Filum Platyhelminthes : Pengertian, Ciri-ciri, Klasifikasi, Reproduksi, Contoh
Gambar 4. Siklus hidup Chlonorchis sinensis
6.3. Kelas Cestoda

Cacing ini mempunyai bentuk badan pipih panjang menyerupai pita sehingga disebut juga sebagai cacing pita. Tubuhnya dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu skoleks (kepala) dan strobilus. Setiap strobilus terdiri atas rangkaian segmen-segmen yang disebut proglotid. Proglotid dibuat melalui pembelahan tranversal di daerah leher, dan masing-masing berisi kelengkapan kelamin jantan dan betina, sehingga setiap proglotid sanggup dipandang sebagai satu individu. Cacing ini hidup sebagai benalu pada babi atau sapi.

Cestoda (Cestoidea) ialah nama yang diberikan untuk kelas cacing pipih benalu dari filum Platyhelminthes, dan biasa disebut cacing pita. Anggota dari Cestoda cukup umur hidup di dalam saluran pencernaan vertebrata, dan pada ketika juveni sering berada di dalam badan aneka macam hewan. Lebih dari seribu spesies Cestoda telah dideskripsikan, dan semua spesies vertebrata sanggup dijadikan inang oleh setidaknya satu spesies cacing pita. Beberapa spesies benalu pada manusia, lantaran mengkonsumsi daging yang tidak diamasak dengan baik mirip daging babi (Taenia solium), daging sapi (T. saginata), dan ikan (Diphyllobothrium spp.), atau bisa juga mengkonsumsi kuliner yang disiapkan dalam kondisi kebersihan yang jelek (Hymenolepis spp. ; Echinococcus spp. ).

T. saginata, cacing pita dari sapi, sanggup tumbuh hingga 20 m (65 kaki), spesies terbesar, cacing pita paus, Polygonoporus giganticus, sanggup tumbuh hingga 30 m (100 ft) [15, 16, 17].

Cacing pita benalu pada vertebrata mempunyai sejarah panjang: fosil dari telur Cestoda, salah satu telurnya mempunyai larva yang berkembang, telah ditemukan dalam fosil kotoran (coprolita) dari hiu pada periode pertengahan hingga final Permian, sekitar 270 juta tahun [15, 18].

Kingdom : Animalia

Filum : Platyhelminthes

Kelas : Cestoda

Subkelas :

Cestodaria
Eucestoda

Ordo dari Cestodaria :

Amphilinidea
Gyrocotylidea

Ordo dari Eucestoda

Aporidea
Caryophyllidea
Cyclophyllidea
Diphyllidea
Lecanicephalidea
Litobothridea
Nippotaeniidea
Proteocephalidea
Pseudophyllidea
Spathebothriidea
Tetraphyllidea
Trypanorhyncha

6.3.1. Anatomi

a. Scolex 

Scolex cacing ("kepala") menempel ke usus inang definitive (inang tetap). Pada beberapa spesies, scolex ini didominasi oleh bothria (tentakel) yang berfungsi sebagai penghisap. Spesies lain mempunyai kait dan pengisap yang membantu untuk menempel. Cestoda Cyclophyllid sanggup diidentifikasi oleh adanya empat pengisap pada scolex mereka [15, 19]. scolex ini berasal dari sel-sel yang berasal dari cuilan posterior.

Scolex merupakan cuilan yang paling khas dari cacing pita dewasa, seringkali hal ini tidak disadari pada investigasi klinik lantaran cuilan ini berada di dalam badan pasien. Dengan demikian, mengidentifikasi telur dan proglottids dalam kotoran pasien merupakan hal yang penting untuk mengetahui abses cacing ini.

b. Sistem Saraf dan Tubuh

Pusat saraf utama Cestoda ialah sebuah ganglion otak di dalam scolex. Saraf motorik dan sensorik tergantung pada jumlah dan kompleksitas dari scolex tersebut. Saraf yang lebih kecil berasal dari Commissures (istilah) yang berfungsi memasok otot badan dan merupakan ujung saraf sensorik. Bagian cirrus (istilah) dan v*gina mempunyai saraf, dan mempunyai ujung sensorik di sekitar pori genital yang lebih banyak dibandingkan tempat lain. Fungsi sensorik meliputi tactoreception dan chemoreception . Beberapa saraf hanya bersifat sementara.

c. Proglottid 

Tubuh Cestoda terdiri dari segmen yang berurutan (proglottids). Jumlah dari proglottid disebut Strobila (tipis dan ibarat sepotong pita). Seperti pada beberapa cacing pipih lainnya, Cestoda memakai sel api (protonephridia), yang terletak di proglottid, untuk ekskresi. Proglottid matang dilepaskan dari ujung posterior cacing pita dan keluar bersamaan dengan feses inangnya.

Oleh lantaran setiap proglottid berisi organ reproduksi jantan dan betian, mereka bisa bereproduksi secara mandiri. Beberapa jago biologi telah menyatakan bahwa, tiap-tiap proglottods tidak harus dianggap sebagai organisme tunggal, dan bahwa cacing pita bekerjsama merupakan koloni dari proglottids.

Tata letak proglottid terdiri dari dua bentuk, craspedota (proglottid yang tumpang tindih oleh proglottid sebelumnya, dan acraspedote (proglottid yang tidak tumpang tindih). [15, 20]

Setelah menempel pada dinding usus inang, cacing pita menyerap nutrisi melalui dinding usudari kuliner yang dicerna oleh inangnya dan mulai menumbuhkan ekor yang panjang, dimana setiap segmen mengandung sistem pencernaan independen dan saluran reproduksi. Segmen yang berusia bau tanah didorong ke arah ujung ekor dimana segmen gres diproduksi oleh segmen tersebut. Pada ketika segmen telah mencapai ujung ekor, hanya saluran reproduksi yang tersisa. Kemudian keluar bersama feses dengan membawa telur cacing pita ke inang berikutnya, lantaran pada ketika itu, proglottid  pada dasarnya ialah sebuah kantung telur. [15, 21]

d. Reproduksi

Cacing pita sejati merupakan organisme hermafrodit, mereka mempunyai sistem reproduksi jantan dan betina di dalam badan mereka. Sistem reproduksi meliputi satu atau banyak testis, cirrus, vas deferens and vesikula seminalis sebagai organ jantan. Sedangkan ovarium mempunyai saluran telur dan rahim yang saling bekerjasama berfungsi sebagai organ jantan. Ada bukaan / lubang eksternal yang secara umum dipakai untuk sistem reproduksi jantan dan betina, yang dikenal sebagai pori genital. Pori genital terletak pada bukaan permukaan atrium berbentuk cangkir [15, 22] [15, 23]. Meskipun secara seksual merka ialah hermafrodit, pembuahan sendiri merupakan fenomena langka. Fertilisasi silang antara dua individu merupakan hal yang sering dilakukan untuk bereproduksi, hal ini dilakukan biar sanggup terjadi hibridisasi. Selama kopulasi, cirrus dari satu individu terhubung dengan individu lain melalui pori genital, dan kemudian terjadi pertukaran sprmatozoa.

e. Siklus Hidup

Siklus hidup cacing pita sangat sederhana, dalam artian bahwa tidak ada fase aseksual mirip pada cacing pipih lainnya. Akan tetapi mempunyai kerumitan tersendiri dimana setidaknya diharapkan satu inang mediator dan satu inang tetap (definitive host). Pola siklus hidup ini telah menjadi kriteria penting untuk mengetahui evolusi pada Platyhelminthes. [15, 24] Banyak cacing pita mempunyai dua tahap siklus hidup dengan dua jenis inang. Cacing Taenia saginata cukup umur hidup di dalam usus primata mirip manusia, tetapi yang ebih mengkhawatirkan ialah Taenia solium, lantaran  dapat membentuk kista dalam otak manusia. Proglottid meninggalkan badan melalui anus dan jatuh ke tanah, di mana mereka sanggup masuk bersamaan rumput yang dimakan oleh binatang mirip sapi. Sapi dan binatang lain yang memakan proglottids  ini dikenal sebagai inang perantara. Juvenil bermigrasi dan menetap sebagai kista di antara jaringan badan inang mirip otot. Mereka menimbulkan kerusakan lebih parah pada inang mediator dibandingkan pada inang tetap. Parasit melengkapi siklus hidupnya ketika inang mediator memperlihatkan benalu ke inang tetap. Hal ini biasanya terjadi karena, inang tetap memakan inang mediator yang terinfeksi. Misalnya mirip insan yang lebih cenderung menyukai makan daging setengah mentah. [15, 25]

f. Contoh Spesies Kelas Cestoda

Contoh anggota kelas ini ialah Taenia solium dan Taenia saginata. Berikut uraian kedua jenis cacing tersebut.

1) Cacing pita babi (Taenia solium)

Cacing pita ini hidup pada saluran pencernaan babi dan bisa menular ke manusia. Panjang tubuhnya mencapai 3 m. Pada bagian kepala atau skoleks terdapat empat buah sucker dan kumpulan alat kait atau rostelum. Di sebelah belakang skoleks terdapat leher atau tempat perpanjangan (strobillus). Dari tempat inilah proglotid terbentuk melalui pembelahan transversal. Dalam kondisi yang optimal panjang badan cacing pita babi sanggup mencapai 2,5-3 m dengan jumlah proglotid mencapai 1.000 buah. Cacing ini memiliki siklus hidup mirip pada Gambar 5.
 Platyhelminthes merupakan kelompok cacing yang struktur Pintar Pelajaran Filum Platyhelminthes : Pengertian, Ciri-ciri, Klasifikasi, Reproduksi, Contoh
Gambar 5. Siklus hidup Taenia solium
2) Cacing pita sapi (Taenia saginata)

Taenia saginata tidak mempunyai rostelum (kait) pada skoleknya, dan secara umum tubuhnya mirip dengan T. solium. Cacing cukup umur hidup sebagai benalu dalam usus manusia, masuk ke dalam badan insan melalui sapi sebagai hospes intermediet. Cacing ini tidak begitu berbahaya dibandingkan T. solium. Namun demikian cacing ini tetap merugikan, karena menghambat absorpsi kuliner dalam tubuh manusia.
 Platyhelminthes merupakan kelompok cacing yang struktur Pintar Pelajaran Filum Platyhelminthes : Pengertian, Ciri-ciri, Klasifikasi, Reproduksi, Contoh
Gambar 6.Siklus hidup Taenia saginata
Siklus hidup cacing ini dimulai dari terlepasnya proglotid bau tanah bersama feses manusia (Gambar 6). Di dalam setiap proglotid terdapat ribuan telur yang telah dibuahi (zigot). Zigot tersebut kemudian berkembang menjadi larva onkosfer di dalam kulit telur. Jika telur tersebut tergoda sapi, larva onkosfer akan menembus usus masuk ke dalam pembuluh darah atau pembuluh limfa dan akhirnya sampai di otot lurik. Di dalam otot sapi, larva onkosfer berubah menjadi kista dan berkembang menjadi cacing gelembung atau sisteserkus yang membentuk skoleks pada dindingnya. Ketika daging sapi tersebut dimakan insan (kemungkinan sisteserkus masih hidup), di dalam usus insan skoleks tersebut akan keluar lantas menempel pada dinding usus, kemudian tumbuh cukup umur dan membentuk proglotidproglotid baru. Kemudian siklus hidupnya terulang kembali.

6.4. Kelas Monogenea

6.4.1. Ciri-ciri Kelas Monogenea

Monogenea merupakan cacing pipih benalu yang berukuran sangat kecil, cacing ini ditemukan terutama pada kulit atau insang ikan. Cacing ini jarang mempunyai ukuran lebih dari 2 cm. Beberapa spesies yang menginfeksi ikan maritim tertentu berukuran lebih besar dan cacing yang hidup di maritim pada umumnya lebih besar daripada yang ditemukan pada inang air tawar. Monogenean kurang dalam sistem pernapasan, tulang dan peredaran darah dan tidak mempunyai penghisap 0ral (kurang begitu berkembang). [26, 27] Monogenea menempel pada inang memakai kait, penjepit dan aneka macam struktur khusus lainnya. Mereka secara dramatis bisa memanjang dan memperpendek ketika bergerak. Ahli biologi perlu memastikan bahwa spesimen ini benar-benar dalam kondisi relaks sebelum pengukuran dilakukan. [26, 28]

Seperti semua ektoparasit, Monogenea mempunyai struktur untuk menempel yang berkembang dengan baik. Struktur anterior secara kolektif disebut prohaptor, sedangkan yang posterior secara kolektif disebut opisthaptor. Bagian posterior opishaptor denga bentuk mirip  kait, jangkar, penjepit, dll biasanya merupakan organ penempelan utama.

Seperti cacing pipih lainnya, Monogenea tidak mempunyai rongga badan sejati (coelom). Mereka mempunyai sistem pencernaan sederhana yang terdiri dari bukaan ekspresi dengan faring berotot dan usus tanpa bukaan final (anus). Umumnya, mereka juga bersifat hermafrodit dengan organ reproduksi fungsional dari kedua jenis kelamin yang ada pada satu individu. Kebanyakan spesies bertelur (ovipar) tetapi beberapa diantaranya beranak (vivipar). Monogenea merupakan Platyhelminthes, oleh lantaran itu Monogenea ialah salah satu invertebrata terendah yang mempunyai tiga lapisan kulit embrionik; endoderm, mesoderm, dan ektoderm. Selain itu, mereka mempunyai kepala yang berisi organ-organ penginderaan dan jaringan saraf (otak).

6.4.2. Sistematika Dan Evolusi

Nenek moyang Monogenea kemungkinan ialah cacing pipih yang hidup bebas, yang mirip dengan Turbellaria modern. Menurut pandangan yang lebih diterima secara luas, "rhabdocoel Turbellaria memunculkan Monogenea, hal ini, pada gilirannya, memunculkan Digenea yang merupakan asal munculnya Cestoda. Pandangan lainnya ialah bahwa, nenek moyang rhabdocoel memunculkan dua jalur; satu memunculkan Monogenea yang memunculkan Digenea, dan jalur lain memunculkan Cestoda "[26, 27].

Monogenea mempunyai sekitar 50 famili dan ribuan spesies yang telah dideskripsikan.

Beberapa jago benalu (parasitologi) membagi Monogenea menjadi dua (atau tiga) subkelas menurut kompleksitas haptor mereka: Monopisthocotylea mempunyai satu cuilan utama pada haptor, sering berupa kait atau cakram yang besar; sedangkan Polyopisthocotylea mempunyai beberapa cuilan pada haptor, biasanya berupa penjepit. Kelompok ini juga dikenal sebagai Polyonchoinea dan Heteronchoinea. Polyopisthocotyleans hampir secara pribadi merupakan penghisap darah yang tinggal di insang, sedangkan Monopisthocotyleans sanggup hidup pada insang, kulit dan sirip.

Monopisthocotylea :
  1. Genus Gyrodactylus, tidak mempunyai titik mata dan bersifat vivipar (beranak).
  2. Genus Dactylogyrus, mempunyai empat titik mata dan bersifat ovipar. Genus ini merupakan genera metazoa yang paling banyak, dimana setidaknya mempunyai 970 species.
  3. Genus Neobenedenia, berukuran lebih besar dan hidup pada kulit spesies maritim tropis, menimbulkan abses  yang parah pada budidaya binatang laut.
Semua genus diatas sanggup menimbulkan epizootik (penyakit yang muncul sebagai kasus gres pada populasi binatang tertentu, selama periode tertentu) pada budidaya ikan air.

Polyopisthocotylea :
  1. Genus Diclidophora, kebanyakan ditemukan pada ikan maritim dan ikan air tawar primitif mirip ikan sturgeon dan paddlefish. 
  2. Genus Protopolystoma, ditemukan pada katak bercakar (spesies Xenopus species).
6.4.3. Ekologi Dan Siklus Hidup

Monogenea mempunyai siklus hidup yang paling sederhana di antara Platyhelminthes yang bersifat parasit. Mereka tidak mempunyai inang mediator dan bersifat ektoparasit pada ikan (kadang-kadang ada di kandung kemih dan rektum vertebrata berdarah dingin). Meskipun mereka hermafrodit, sistem reproduksi jantan berfungsi terlebih dahulu sebelum cuilan reproduksi betina. Telur yang menetas melepaskan larva yang sangat bersilia dikenal sebagai oncomiracidium. Oncomiracidium ini mempunyai banyak kait posterior dan umumnya merupakan tahap kehidupan yang bertanggung jawab untuk transmisi dari inang ke inang.

Tidak ada monogenean yang diketahui menginfeksi burung, tapi ada satu spesies (Oculotrema hippopotami) yang menginfeksi mamalia, yaitu menjadi benalu pada mata kuda nil.

Sejauh yang diketahui, tidak ada Monogenea yang menginfeksi burung, tetapi ada satu spesies yang menginfeksi mamalia, spesies ini merupakan benalu pada mata kuda nil.

Penyakit Cacing Lintah Pertama di Indonesia

Penyakit ini pertama kali ditemukan di Kalimantan Selatan pada pertengahan tahun 2000 dan bersifat endemik. Penyebabnya adalah Fasciolopsis buski, jenis cacing yang mampu menghasilkan jutaan telur yang sangat kecil dan telur-telur tersebut hanya ditemukan pada umbi teratai. Umbi tersebut sangat digemari oleh warga, terutama belum dewasa yang sering memakannya tanpa dimasak terlebih dahulu, sehingga mempercepat penyebaran penyakit ini. Cacing tersebut juga menyebar melalui tinja manusia dengan bekicot sebagai binatang mediator nya. Meskipun tidak mematikan, penyakit ini ditangani serius oleh pemerintah karena menimbul kan dampak yang sangat gawat, yaitu memperlambat partumbuhan dan menurun kan tingkat kecerdasan. (www.jawapos.co.id)

Anda kini sudah mengetahui Filum Platyhelminthes. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Referensi :

Widayati, S., S. N. Rochmah dan Zubedi. 2009. Biologi : Sekolah Menengan Atas dan MA Kelas X. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, p. 290.

Referensi Lainnya :

[1] http://animaldiversity.ummz.umich.edu/accounts/Platyhelminthes/

[2] http://en.wikipedia.org/wiki/Flatworm

[3] Walker, J.C., and Anderson, D.T. 2001. The Platyhelminthes. In Anderson, D.T.,. Invertebrate Zoology. Oxford University Press. pp. 58–80. ISBN 0-19-551368-1.

[4] Barnes, R.S.K. 1998. The Diversity of Living Organisms. Blackwell Publishing. pp. 194–195. ISBN 0-632-04917-0.

[5] Ruppert, E.E., Fox, R.S., and Barnes, R.D. 2004. Invertebrate Zoology (7 ed.). Brooks / Cole. pp. 226–269. ISBN 0-03-025982-7.

[6] Ruppert, E.E., Fox, R.S., and Barnes, R.D. 2004. Invertebrate Zoology (7 ed.). Brooks / Cole. pp. 196–224. ISBN 0-03-025982-7.

[7] http://en.wikipedia.org/wiki/Turbellaria

[8] Barnes, Robert D. 1982. Invertebrate Zoology. Philadelphia, PA: Holt-Saunders International. pp. 201–230. ISBN 0-03-056747-5.

[9]  Leslie Newman. "Fighting to mate: flatworm p*nis fencing". Diakses 18-05-2013.

 [10] http://en.wikipedia.org/wiki/Trematoda

[11] Littlewood, D T J; R. A. Bray (7 December 2000). "The Digenea". Interrelationships of the Platyhelminthes. Systematics Association Special Volume 60 (1 ed.). CRC. pp. 168–185. ISBN 978-0-7484-0903-7.

[12] Poulin, Robert; Serge Morand (7 January 2005). Parasite Biodiversity. Smithsonian. p. 216. ISBN 978-1-58834-170-9.

[13] Barnes, Robert D. 1982. Invertebrate Zoology. Philadelphia, PA: Holt-Saunders International. pp. 230–235. ISBN 0-03-056747-5.

[14] The Carter Center. "Schistosomiasis Control Program". Diakses 15-05-2013.

[15] http://en.wikipedia.org/wiki/Cestoda

[16]  "The Persistent Parasites". Time Magazine (Time Inc). 1957-04-08.

[17] Hargis, William J. (1985). "Parasitology and pathology of marine organisms of the world ocean". NOAA Tech. Rep. (National Oceanic and Atmospheric Administration).

[18] "Marvistavet.com

[22] Cheng TC (1986). General Parasitology (2nd edn). Academic Press, Division of Hardcourt Brace & Company, USA, pp. 402-416. ISBN 0-12-170755-5.

[23] McDougald LR (2003). Cestodes and trematodes. In: Diseases of Poultry, 11th edn (YM Saif, HJ Barnes, AM Fadly, JR Glisson, LR McDougald & DE Swayne, eds). Iowa State Press, USA, pp. 396-404. ISBN 0-8138-0718-2.

[24] Llewellyn J (1987). "Phylogenetic inference from platyhelminth life-cycle stages". Int J Parasitol. 17 (1): 281–89. doi: 10.1016/0020-7519(87)90051-8

[25] "Tapeworm infection". Mayo Clinic. Diakses 20-12-2012.

[26] http://en.wikipedia.org/wiki/Monogenea

[27] flatworm :: Annotated classification - Britannica Online Encyclopedia

[28] Roberts, S. Larry & John Janovy, Jr. Foundations of Parasitology.

No comments:

Post a Comment