Wednesday, September 18, 2019

Pintar Pelajaran Pengertian Vitamin, Sejarah, Fungsi, Manfaat, Nutrisi, Defisiensi, Kekurangan, Pengaruh Samping, Overdosis

Pengertian Vitamin, Sejarah, Fungsi, Manfaat, Nutrisi, Defisiensi, Kekurangan, Efek Samping, Overdosis - Vitamin yaitu senyawa organik yang dibutuhkan oleh suatu organisme sebagai nutrisi utama pada jumlah yang terbatas [1]. Suatu senyawa kimia organik (atau beberapa senyawa kimia terkait) disebut vitamin jikalau senyawa tersebut tidak sanggup disintesis dalam jumlah yang cukup oleh suatu organisme dan harus diperoleh dari asupan makanan. Dengan demikian istilah vitamin yaitu kondisional, tergantung pada kondisi dan suatu organisme tertentu. Misalnya saja, asam askorbat (vitamin C) yaitu vitamin untuk manusia, tetapi bukan merupakan vitamin bagi kebanyakan hewan; sedangkan biotin (vitamin H) dan vitamin D diharapkan oleh insan hanya pada kondisi tertentu.
 Vitamin yaitu senyawa organik yang dibutuhkan oleh suatu organisme sebagai nutrisi utama Pintar Pelajaran Pengertian Vitamin, Sejarah, Fungsi, Manfaat, Nutrisi, Defisiensi, Kekurangan, Efek Samping, Overdosis
Gambar 1. Pil suplemen vitamin B kompleks. [63]
Melalui sebuah konvensi, vitamin dideskripsikan sebagai nutrisi baik itu esensial ataupun non-esensial menyerupai mineral untuk diet, asam lemak esensial, atau asam amino esensial (dibuthkan pada jumlah yang lebih banyak dibandingkan vitamin) maupun sejumlah besar nutrisi lainnya yang mempunyai kegunaan bagi kesehatan tetapi tidak begitu sering dibutuhkan oleh suatu organisme [2]. Saat ini ada 13 jenis vitamin yang dikenal secara luas sampai dikala ini.

Vitamin diklasifikasikan menurut acara biologis dan kimianya, bukan menurut dari strukturnya. Dengan demikian, masing-masing "vitamin" mengacu pada sejumlah senyawa vitamer yang  menunjukkan acara biologis yang berafiliasi dengan vitamin tertentu. Suatu set materi kimia tersebut dikelompokkan dalam urutan huruf yang menjadi "deskripsi generik" nama sebuah vitamin, menyerupai "vitamin A", yang mencakup senyawa retina, retinol, dan empat jenis karotenoid yang telah diketahui. Menurut definisinya, vitamer sanggup dikonversi menjadi bentuk aktif dari vitamin di dalam tubuh, dan kadang kala terjadi konversi vitamer antara satu sama lain.

Vitamin mempunyai fungsi biologis yang bervariasi. Beberapa diantaranya, menyerupai vitamin D, mempunyai fungsi menyerupai hormon, sebagai regulator dari metabolisme mineral, atau regulator dari perkembangan dan diferensiasi sel dan jaringan (seperti pada beberapa bentuk dari vitamin A). Beberapa vitamin lainnya mempunyai fungsi sebagai antioksidan (contohnya vitamin E dan C) [3]. Vitamin dengan jumlah paling besar, menyerupai vitamin B kompleks, mempunyai fungsi sebagai prekursor untuk kofaktor enzim. Fungsi ini membantu kerja enzim sebagai katalis pada metabolisme. Pada fungsi ini, vitamin kemungkinan terikat dengan berpengaruh pada enzim sebagai pecahan dari grup prostetik suatu enzim. Misalnya, biotin yaitu pecahan dari enzim yang terlibat di dalam pembuatan asam lemak. Vitamin sanggup juga tidak begitu terikat pada suatu enzim (katalis) dan hanya bertindak sebagai koenzim. Koenzim yaitu molekul yang sanggup dilepaskan dan berfungsi untuk membawa kelompok/gugus kimia atau elektron antar molekul. Misalnya, asam folat, sanggup membawa gugus metil, formil dan metilen di dalam sel. Meskipun peranan dalam membantu reaksi enzim-substrat ini merupakan fungsi terbaik dari vitamin, namun demikian fungsi vitamin lainnya juga sama pentingnya.[4]

Pada pertengahan tahun 1930-an untuk pertama kalinya vitamin B kompleks dari ekstrak yeast dan suplemen vitamin C semi sintesis dijual secara komersial. Sebelum tahun tersebut, vitamin diperoleh hanya melalui asupan kuliner dan perubahan pola makan (misalnya pada dikala animo tumbuhan tertentu) yang biasanya sangat menghipnotis jenis dan jumlah vitamin yang dikonsumsi. Namun, vitamin telah diproduksi sebagai materi kimia komoditas dan tersedia secara luas berupa multivitamin, suplemen kuliner serta dalam bentuk lainnya, baik itu semisintesis maupun sintesis semenjak pertengahan era ke-20. 

1. Jenis-Jenis Vitamin

Tabel 1. Jenis-Jenis Vitamin

Nama Vitamin
Nama senyawa Vitamer
Larut di dalam
Aturan (pria, usia 19–70)[6]
Penyakit defisiensi
Level Konsumsi Maksimum
(UL/day)[6]
Penyakit Overdosis
Sumber Makanan
Vitamin A
Retinol, retinal, dan empat jenis karotenoid termasuk beta-karoten
lemak
900 µg
Rabun senja , Hyperkeratosis, dan Keratomalacia[7]
3,000 µg
Hypervitaminosis A
Jeruk, buah berwarna kuning yang masak, sayuran, wortel, labu, gambas, bayam, hati, susu kedelai, susu
Vitamin B1
Thiamine
Air
1.2 mg
Beri-beri, Wernicke-Korsakoff syndrome
N/D[8]
Membuat ngantuk, meyebabkan relaksasi otot berlebihan pada takaran yang tinggi.[9]
Daging, oatmeal, beras merah, sayuran, kentang, hati, telur
Vitamin B2
Riboflavin
Air
1.3 mg
Ariboflavinosis
N/D

Produk susu, pisang, popcorn, kacang hijau, asparagus
Vitamin B3
Niasin, niasinamide
Air
16.0 mg
Pellagra
35.0 mg
Kerusakan hati (dosis> 2g/day)[10] and penyakit lainnya
Daging, ikan, telur, sayuran, jamur,  kacang-kacangan
Vitamin B5
Asam pantotenat
Air
5.0 mg[11]
Paresthesia
N/D
Diare, kemungkinan mual dan panas dalam [12].
Daging, brokoli, alpukat
Vitamin B6
Pyridoxine, pyridoxamine, pyridoxal
Air
1.3–1.7 mg
Anemia[13] peripheral neuropathy.
100 mg
Penurunan ofproprioception, kerusakan saraf (dosis> 100 mg / hari)
Daging, sayur, kacang-kacanga, pisang
Vitamin B7
Biotin
Air
30.0 µg
Dermatitis, enteritis
N/D

kuning telur mentah, hati, kacang, sayuran tertentu
Vitamin B9
Asam folat, asam folinik
Air
400 µg
Megaloblastic anemia dan defisiensi selama kehamilan berafiliasi dengan cacat pada  bayi,seperti cacat pada pecahan neural tube
1,000 µg
Dapat menutupi tanda-tanda kekurangan vitamin B12, dan imbas lainnya.
Sayuran hijau, pasta, roti, sereal, hati
Vitamin B12
Cyanocobalamin, hydroxycobalamin, methylcobalamin
Air
2.4 µg
Megaloblastic anemia[14]
N/D
Jerawat menyerupai ruam
Daging dan produk hewani lainnya
Vitamin C
Asam askorbat
Air
90.0 mg
Kudis
2,000 mg
Vitamin C megadosage
Buah-buahan dan sayuran, hati
Vitamin D
Cholecalciferol
lemak
10 µg[15]
Rickets dan Osteomalacia
50 µg
Hypervitaminosis D
Ikan, telur, hati, jamur
Vitamin E
Tocopherols, tocotrienols
lemak
15.0 mg
Defisiensi sangat jarang terjadi; hemolytic anemia ringan pada bayi  yang gres lahir.[16]
1,000 mg
Peningkatan terjadinya gagal jantung, hal ini terlihat di dalam satu penelitian besar secara acak [17].
Buah-buahan dan sayuran dan kacang
Vitamin K
phylloquinone, menaquinones
lemak
120 µg
Bleeding diathesis
N/D
Meningkatkan koagulasi pada pasien yang menggunakan warfarin. [18]
Sayuran berdaun hijau menyerupai bayam, kuning telur, hati

2. Epitomologi Vitamin

Vitamin berasal dari kata “vitamine”, sebuah kata beragam yang diciptakan pada tahun 1912 oleh spesialis biokimia dari Polandia berjulukan Kazimierz Funk pada dikala bekerja si Lister Institute of Perventive Medicine. Nama tersebut terdiri dari kata vital dan amine, yang berarti amina kehidupan, lantaran pada tahun 1912 diduga bahwa faktor mikronutrisi organik pada kuliner yang mencegah penyakit beri-beri dan penyakit defisiensi serupa lainnya yaitu senyawa kimia amina. Saat ini telah diketahui bahwa hal tersebut salah, sehingga kata vitamine diubah dan diperpendek menjadi vitamin.

3. Sejarah Vitamin

Nilai dari mengkonsumsi jenis kuliner tertentu untuk menjaga kesehatan telah diketahui jauh sebelum vitamin diidentifikasi. Orang-orang Mesir kuno telah mengetahui bahwa bahwa memberi makan hati pada seseorang akan membantu menyembuhkan rabun senja (night blindness), dimana penyakit ini kini telah diketahui disebabkan oleh kekurangan vitamin A [20]. Kemajuan di bidang pelayaran bahari selama masa Renaissance menimbulkan periode waktu yang usang tanpa susukan ke buah-buahan dan sayuran segar, sehingga para awak kapal pada umumnya menderita penyakit defisiensi vitamin. [21]

Pada tahun 1747, spesialis bedah dari Skotlandia berjulukan James Lind menemukan bahwa jeruk sanggup membantu mencegah penyakit kudis, penyakit yang sangat mematikan di mana kolagen tidak terbentuk dengan benar, sehingga mengakibatkan terganggunya proses penyembuhan luka, pendarahan pada gusi, sakit parah, dan ajal [20]. Pada tahun 1753, Lind menerbitkan tulisan, yang merekomendasikan menggunakan lemon dan limau untuk menghindari penyakit kudis, goresan pena tersebut kemudian diadopsi dan dipakai terhadap para kru dari British Royal Navy Laut. Hal ini mengakibatkan para pelaut dari organisasi tersebut diberi julukan Limey. Penemuan Lind tersebut, bagaimanapun juga, tidak diterima secara luas oleh suatu kelompok pada ekspedisi Arctic Royal Navy di era ke-19, di mana diyakini secara luas bahwa penyakit kudis sanggup dicegah dengan mempraktikkan kebersihan yang baik, olahraga teratur, dan memelihara moral kru dikala berada di atas kapal, bukan oleh diet kuliner segar [20]. Akibatnya, ekspedisi Kutub Utara terus diganggu oleh penyakit kudis dan penyakit defisiensi lainnya. Pada awal era ke-20, dikala Robert Falcon Scott menciptakan dua ekspedisi ke Antartika, teori medis yang berlaku pada dikala itu yaitu penyakit kudis yang disebabkan oleh kuliner kaleng yang "tercemar" [20].

Pada selesai era ke-18 dan awal era ke-19, penggunaan teknik deprivasi memungkinkan para ilmuwan untuk mengisolasi dan mengidentifikasi sejumlah vitamin. Lemak dari minyak ikan dipakai untuk menyembuhkan rakhitis pada tikus dan nutrisi berupa lemak terlarut tersebut disebut “antirachitic A”. Oleh lantaran itu, bioaktivitas vitamin yang pertama kali diisolasi dan berhasil menyembuhkan rakhitis pada tikus pada awalnya disebut vitamin A; akan tetapi bioaktivitas dari senyawa ini kini disebut vitamin D [22] . Pada tahun 1881, spesialis bedah rusia berjulukan Nikolai Lunin mempelajari imbas dari kudis selama berada di University of Tartu (saat ini universitas ini berada di Estonia) [23]. Dia memberi makan anak tikus dengan adonan buatan terpisah dari semua unsur yang terkandung di dalam susu berupa; protein, lemak, karbohidrat dan garam. Anak tikus yang hanya diberi salah satu unsur individual tertentu dari susu meninggal, sementara anak tikus yang diberi susu dengan semua kandungan unsur berkembang secara normal. Lunin menciptakan kesimpulan bahwa kuliner alami menyerupai susu harus mengandung sejumlah substansi esensial kehidupan [23]. Namun, kesimpulan tersebut ditolak oleh peneliti lainnya ketika mereka tidak sanggup menghasilkan hasil yang sama. Salah satu perbedaan adalah, Lunin menggunakan gula susu berupa sukrosa, sedangkan peneliti lain menggunakan gula susu (laktosa) yang masih mengandung sejumlah kecil vitamin B. 

Di Asia timur, pada dikala nasi yang dipoles (buatan) menjadi kuliner pokok utama, muncul penyakit endemik berupa beri-beri akhir kekurangan vitamin B1. Pada tahun 1884, Takaki Kanehiro, seorang dokter medis yang terlatih di Inggris dan bekerja pada Angkatan Laut Kekaisaran Jepang, mengamati bahwa beri-beri menjadi endemik diantara para kru kapal yang berpangkat rendah, para kru tersebut kebanyakan hanya makan nasi. Sedangkan para kru berpangkat tinggi yang mempunyai pola makan Western tidak mengalami penyakit tersebut. Dengan dukungan dari angkatan bahari Jepang, ia bereksperimen menggunakan awak dari dua kapal perang, para kru dari salah satu kapal hanya diberi makan nasi putih, sementara yang lain diberi makan berupa  daging, ikan, gandum, beras, dan kacang-kacangan. Pada kelompok yang hanya memakan nasi putih dilaporkan bahwa, 161 awaknya menderita beri-beri dan 25 orang mengalami kematian, sedangkan pada kelompok kedua hanya terjadi 14 masalah beri-beri dan tidak ada kematian. Takaki dan Angkatan Laut Jepang meyakini bahwa, diet/pola makan yaitu penyebab beri-beri, namun ia salah meyakini bahwa jumlah protein yang cukup sanggup mencegah beri-beri [24]. Hal ini kemudian diteliti lebih lanjut oleh Christiaan Eijkman, yang pada tahun 1897 menemukan bahwa memberi makan ayam dengan beras alami dan bukan dengan beras yang sudah dipoles (buatan) sanggup membantu mencegah timbulnya penyakit beri-beri pada ayam. Pada tahun berikutnya, Frederick Hopkins mengumumkan bahwa, beberapa kuliner mengandung "faktor aksesori" (di samping protein, karbohidrat, lemak dan lain-lain) yang diharapkan untuk mendukung fungsi badan insan [20]. Hopkins dan Eijkman dianugerahi Hadiah Nobel di bidang Physiology or Medicine pada tahun 1929 untuk beberapa vitamin yang mereka temukan.[25] 

Pada tahun 1910, vitamin kompleks pertama berhasil diisolasi oleh ilmuwan Jepang berjulukan Umetaro Suzuki. Dia berhasil mengekstrak sebuah mikronutrien kompleks yang larut di air dari dedak padi dan menamakannya asam aberik (yang dikala ini diberi nama Orizanin). Dia menerbitkan penemuannya ini dalam jurnal ilmiah Jepang. [26] Ketika artikel tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, terjemahan tersebut gagal untuk menyatakan bahwa itu yaitu nutrisi yang gres ditemukan, oleh lantaran itu penemuannya gagal untuk mendapatkan publisitas. Pada tahun 1912, spesialis biokimia dari Polandia berjulukan Casimir Funk berhasil mengisolasi biokimia mikronutrien kompleks yang sama dan mengusulkan senyawa kompleks tersebut diberi nama "vitamine" (kata ini berasal dari kata  "vital amine amina", nama ini disarankan oleh Max Nierenstein, teman dari Casimir Funk dan pembaca Biokimia di Universitas Bristol [27]) [28]. Nama “vitamine” tersebut segera menjadi identik dengan '"faktor aksesori" yang dicetuskan oleh Hopkins, yang pada dikala itu memperlihatkan bahwa tidak semua vitamin yaitu amina, akan tetapi kata vitamine sudah terlanjur tersebar luas. Pada tahun 1920, Jack Cecil Drummond mengusulkan bahwa akhiran "e" pada kata “vitamine” dihilangkan untuk menghilangkan artian "amina", penamaan ulang tersebut dilakukan sesudah para peneliti mulai curiga bahwa tidak semua "vitamines" (khususnya, vitamin A) mempunyai komponen amina [24].

Pada tahun 1930, Paul Karrer mengelusidasi struktur yang sempurna untuk beta-karoten, yang merupakan prekursor utama vitamin A dan berhasil mengidentifikasi beberapa jenis karotenoid lainnya. Karrer dan Norman Haworth mengkonfirmasi inovasi Albert Szent-Györgyi wacana asam askorbat dan menciptakan bantuan yang signifikan terhadap senyawa kimia flavin, hal ini mempelopori identifikasi laktoflavin. Penemuan mereka mengenai karotenoid, flavin, vitamin A dan B2, berhasil menciptakan mereka berdua mendapatkan Hadiah Nobel di bidang Kimia pada tahun 1937 [29].

Pada tahun 1931, Albert Szent-Györgyi dan sesama rekan penelitinya, Joseph Svirbely, menduga bahwa "asam heksuronik" gotong royong yaitu vitamin C, dan memperlihatkan sampel tersebut kepada Charles Glen King, yang kemudian menerangkan adanya acara anti-scorbutic pada kelinci percobaan. Pada tahun 1937, Szent-Györgyi dianugerahi Penghargaan Nobel di bidang Fisiologi atau Kedokteran untuk penemuannya. Pada tahun 1943, Edward Adelbert Doisy dan Henrik Dam dianugerahi Penghargaan Nobel  di bidang Fisiologi atau Kedokteran untuk inovasi mereka berupa vitamin K dan struktur kimianya. Pada tahun 1967, George Wald dianugerahi Hadiah Nobel (bersama dengan Ragnar Granit dan Haldan Keffer Hartline) untuk inovasi bahwa vitamin A sanggup berpartisipasi secara pribadi dalam proses fisiologis. [25]

4. Vitamin Pada Manusia

Vitamin diklasifikasikan menjadi dua jenis; yaitu vitamin yang larut dalam air dan larut dalam lemak. Pada insan ada 13 jenis vitamin; vitamin A, D, E dan K (larut dalam lemak); 8 jenis vitamin B serta vitamin C (larut dalam air). Vitamin yang larut dalam air sanggup dengan gampang larut oleh air dan secara umum sanggup dikeluarkan dari badan dengan cepat, oleh lantaran itu urin merupakan salah satu faktor yang sanggup memprediksi jumlah konsumsi vitamin [31]. Sejumlah besar jenis vitamin yang larut dalam air merupakan hasil sintesis basil [32]. Vitamin yang larut dalam lemak diserap melalui saluran pencernaan dengan pinjaman lipid (lemak). Oleh lantaran vitamin jenis ini lebih sering terakumulasi di dalam tubuh, vitamin jenis ini cenderung menjadi penyebab hipervitaminosis, bila dibandingkan dengan vitamin yang larut dalam air. Regulasi vitamin yang larut dalam lemak sangatlah penting, khususnya terkait dengan cystic fibrosis.[33]

5. Vitamin sebagai Nutrisi

Vitamin sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan yang normal bagi organisme multiseluler. Dengan menggunakan kode genetik yang diwariskan dari orang tua, perkembangan janin mulai terjadi pada dikala pembuahan, melalui nutrisi yang diserapnya. Proses tersebut membutuhkan vitamin dan mineral tertentu yang harus tersedia pada waktu tertentu. Nutrisi ini memfasilitasi reaksi kimia yang menghasilkan; kulit, tulang, dan otot. Jika ada kekurangan serius pada satu nutrisi atau lebih, anak sanggup mengalami penyakit defisiensi. Bahkan defisiensi yang bersifat minor/kecil sanggup mengakibatkan kerusakan permanen [34].

Sebagian besar vitamin diperoleh melalui makanan, dan hanya sedikit yang diperoleh dengan cara lain. Sebagai contoh, mikroorganisme di dalam usus (umumnya dikenal sebagai "gut flora") sanggup memproduksi vitamin K dan biotin, sementara salah satu bentuk vitamin D disintesis di kulit dengan pinjaman dari panjang gelombang ultraviolet alami sinar matahari. Manusia sanggup menghasilkan beberapa vitamin dari prekursor yang mereka konsumsi. Misalnya, vitamin A yang dihasilkan dari beta karoten dan niasin yang berasal dari asam amino triptofan [6].

Setelah pertumbuhan dan perkembangan berakhir, vitamin tetap menjadi nutrisi yang penting untuk pemeliharaan kesehatan sel-sel, jaringan, dan organ yang membentuk sebuah organisme multiseluler. Vitamin juga sanggup memungkinkan suatu bentuk kehidupan multiseluler untuk lebih efisien dalam menggunakan energi kimia yang disediakan oleh kuliner yang dikonsumsi, dan untuk membantu memproses protein, karbohidrat, dan lemak yang diharapkan untuk respirasi [3].

6. Pengaruh Memasak Pada Kandungan Vitamin

Tabel di bawah ini memperlihatkan persentase rata-rata kehilangan kandungan vitamin pada materi kuliner umum menyerupai sayur, daging atau ikan sesudah dimasak.

Tabel 2. Pengaruh Memasak Pada Kandungan Vitamin

Vitamin
C
B1
B2
B3
B5
B6
Folat
B12
A
E
Rata-rata % kehilangan
16
26
−3
18
17
3
20
 ?
11
11

Perlu dicatat bahwa beberapa jenis vitamin justru sanggup terbentuk dan sanggup dipakai oleh badan pada dikala dikukus atau dimasak.[35]

Tabel di bawah ini memperlihatkan imbas panas pada dikala merebus, mengkukus, memasak, dan faktor-faktor lainnya terhadap banyak sekali jenis vitamin. Pengaruh pemotongan sayuran sanggup dilihat dari paparan udara dan cahaya terhadap sayuran. Vitamin larut air menyerupai vitamin B dan C meresap ke dalam air ketika sayuran direbus.

Tabel 3. Efek panas terhadap vitamin

Vitamin
Larut dalam air
Paparan terhadap Udara
Paparan terhadap Cahaya
Paparan terhadap Panas
Vitamin A
tidak
sebagian
sebagian
Relatif stabil
Vitamin C
Sangat tidak stabil
iya
iya
iya
Vitamin D
tidak
tidak
tidak
tidak
Vitamin E
tidak
iya
iya
iya
Vitamin K
tidak
tidak
iya
tidak
Thiamine (B1)
Sangat tinggi
tidak
 ?
> 100°C
Riboflavin (B2)
sedikit
tidak
Dalam bentuk larutan
tidak
Niacin (B3)
iya
tidak
tidak
tidak
Pantothenic Acid (B5)
Lumayan stabil
 ?
 ?
iya
Vitamin B6
iya
 ?
iya
 ?
Biotin (B7)
sedikit
 ?
 ?
tidak
Folic Acid (B9)
iya
 ?
Pada dikala kering
Pada suhu tinggi
Vitamin B12
iya
 ?
iya
tidak


7. Defisiensi / Kekurangan Vitamin

Manusia harus mengkonsumsi vitamin secara terpola tetapi dengan waktu yang berbeda, untuk menghindari defisiensi / kekurangan vitamin. Tubuh insan menyimpan banyak sekali jenis vitamin yang sangat bervariasi, yaitu; vitamin A, D, dan B12, yang disimpan dalam jumlah banyak di dalam badan manusia, terutama pada hati, [16] sedangkan pola makan insan pintar balig cukup akal sanggup mengakibatkan mereka mengalami kekurangan vitamin A dan D selama berbulan-bulan dan dalam beberapa masalah vitamin B12 selama bertahun-tahun, sebelum terjadinya kondisi defisiensi. Namun, vitamin B3 (niasin dan niasinamid) tidak disimpan di dalam badan insan pada jumlah yang banyak, sehingga penyimpanan vitamin di dalam badan hanya berlangsung selama beberapa ahad [7] [16]. Sedangkan untuk vitamin C, tanda-tanda pertama berupa penyakit kudis pada suatu studi percobaan mengenai kurangnya vitamin C pada insan sangat bervariasi, sanggup terjadi selama sebulan sampai lebih dari enam bulan, tergantung pada sejarah pola makan sebelumnya yang memilih cadangan kandungan vitamin C di dalam badan [37].

Kekurangan/defisiensi vitamin sanggup diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu; primer dan  sekunder. Kekurangan utama/ primer terjadi ketika organisme tidak mendapatkan cukup vitamin di dalam kuliner yang dikonsumsi. Sedangkan kekurangan sekunder terjadi lantaran gangguan fundamental yang mencegah dan membatasi absorpsi atau penggunaan vitamin lantaran "faktor gaya hidup", menyerupai merokok, konsumsi alkohol yang berlebihan, atau penggunaan obat-obatan yang mengganggu absorpsi atau penggunaan vitamin [16]. Orang yang sering mengkonsumsi kuliner yang bervariasi mustahil menderita kekurangan/defisiensi primer vitamin yang parah. Sebaliknya, diet ketat mempunyai potensi untuk mengakibatkan defisit vitamin berkepanjangan, sehingga hal ini sanggup sering menimbulkan penyakit parah dan berpotensi mematikan.

Beberapa jenis penyakit yang sudah dikenal akhir dari defisiensi vitamin adalah; tiamin (beri-beri), niasin (pellagra), vitamin C (kudis), dan vitamin D (rakhitis). Pada banyak negara maju, masalah kekurangan vitamin menyerupai itu jarang terjadi, lantaran disebabkan oleh (1) pasokan yang cukup dari kuliner dan (2) penambahan vitamin dan mineral pada kuliner yang dikonsumsi secara umum, sering disebut fortifikasi [6] [16]. Beberapa bukti juga menyimpulkan kekerabatan antara kekurangan vitamin dengan sejumlah gangguan yang berbeda [38] [39].

8. Efek Samping dan Overdosis Vitamin

Pada takaran yang besar, beberapa jenis vitamin telah diketahui mempunyai imbas samping yang cenderung lebih parah seiring dengan takaran yang lebih besar. Kemungkinan mengkonsumsi terlalu banyak vitamin dari kuliner yang dikonsumsi tidak pernah terjadi, tapi overdosis (keracunan vitamin) dari suplemen vitamin sering terjadi. Pada takaran cukup tinggi, beberapa vitamin mengakibatkan imbas samping menyerupai mual, diare dan muntah [7] [40]. Pada dikala muncul imbas samping, pemulihan sering dilakukan dengan mengurangi takaran vitamin. Dosis vitamin berbeda-beda pada tiap individu lantaran bervariasinya toleransi tiap individu, toleransi tersebut sepertinya terkait dengan usia dan keadaan kesehatan [41].

Pada tahun 2008, paparan overdosis dari semua jenis formulasi vitamin dan multivitamin-mineral telah dilaporkan oleh 68.911 individu kepada American Association of Poison Control Center (hampir 80% dari paparan tersebut terjadi pada anak di bawah usia 6 tahun), hal ini mengarah ke 8 penyakit utama yang mengancam jiwa, tetapi tidak ada ajal [42].

Dibandingkan dengan vitamin, mineral esensial jauh lebih gampang dan lebih berbahaya untuk terjadi overdosis (dalam jumlah proporsional, dan terutama melalui suplemen). 

9. Suplemen

Suplemen diet, sering mengandung vitamin, yang dipakai untuk memastikan bahwa cukup nutrisi yang diperoleh badan setiap harinya, jikalau jumlah yang optimal dari nutrisi tidak sanggup diperoleh melalui kuliner yang bervariasi. Beberapa penelitian ilmiah telah terbukti mendukung manfaat dari beberapa suplemen vitamin untuk kondisi kesehatan tertentu, tetapi masih perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kondisi kesehatan lainnya [43]. Pada beberapa kasus, suplemen vitamin mungkin mempunyai imbas yang tidak diinginkan contohnya seperti; dikonsumsi sebelum operasi, dikonsumsi dengan suplemen diet atau obat-obatan lainnya, atau jikalau orang yang mengkonsumsinya mempunyai kondisi kesehatan tertentu [43]. Suplemen diet juga mengandung kadar/dosis vitamin yang berkali lipat lebih tinggi, dan dalam bentuk yang berbeda bila dibandingkan  dengan yang diperoleh melalui kuliner [44].

Sudah ada beberapa penelitian yang mempelajari pentingnya suplemen diet. Sebuah meta-analisis yang dipubilkasikan pada tahun 2006 memperlihatkan bahwa, suplemen vitamin A dan E tidak memperlihatkan manfaat kesehatan yang kasatmata bagi individu yang sehat, tetapi justru meningkatkan mortalitas, meskipun dua penelitian besar yang tercakup dalam analisis ini melibatkan perokok. Selain itu diketahui bahwa, suplemen beta-karoten juga sanggup mempunyai imbas yang berbahaya bagi kesehatan [45][46][47]. Penelitian lainnya yang diterbitkan pada bulan Mei 2009 menemukan bahwa, antioksidan seperti; vitamin C dan E mempunyai kemungkinan mengurangi manfaat dari berolahraga [48]. Beberapa penelitian lainnya memperlihatkan toksisitas vitamin E yang terbatas pada salah satu bentuk spesifiknya yang dikonsumsi secara berlebihan [49]. Sebuah percobaan double-blind yang diterbitkan pada tahun 2011 menemukan bahwa vitamin E meningkatkan risiko kanker prostat pada laki-laki sehat [50]. Konflik kepentingan pada penelitian ini mengungkapkan bahwa penelitian mempunyai kekerabatan dengan ambisi perusahaan farmasi menyerupai Merck, Pfizer, Sanofi-Aventis, AstraZeneca, Abbott, GlaxoSmithKline, Janssen, Amgen, Firmagon, dan Novartis [51]. Penelitian lain yang tidak terlibat dalam konflik kepentingan tersebut justru menemukan hal sebaliknya, dimana suplemen vitamin E justru mengurangi risiko kanker prostat [52] dan meningkatkan kelangsungan hidup rata-rata para penderita kanker prostat [53].

10. Peraturan Pemerintah Mengenai Vitamin dan Suplemen

Sebagian besar negara menempatkan suplemen kuliner dalam kategori khusus di bawah pecahan pangan, bukan obat. Hal ini menuntut produsen bertanggung jawab untuk memastikan bahwa produk-produk suplemen kuliner tersebut kondusif sebelum dipasarkan. Peraturan mengenai suplemen bervariasi pada tiap-tiap  negara. Di Amerika Serikat, suplemen kuliner diatur oleh Dietary Supplement Health and Education Act  tahun 1994 [54]. Selain itu, Food and Drug Administration menggunakan Adverse Event Reporting System untuk memantau imbas samping yang terjadi akhir konsumsi suplemen [55]. Di Uni Eropa, Food Supplements Directive mensyaratkan bahwa hanya suplemen-suplemen yang telah terbukti kondusif sanggup dijual tanpa resep dokter. [56]

11. Klasifikasi Ulang Nama-Nama Vitamin

Alasan kenapa tidak ada nama vitamin dari F-J yaitu lantaran nama vitamin tersebut selalu diklarifikasi ulang seiring waktu, dimana terjadi kesalahan identifikasi atau diberi penamaan kembali lantaran mempunyai kekerabatan dengan B sehingga dimasukkan di dalam vitamin B kompleks.

Daftar Nama Vitamin yang Dilasifikasi Ulang
Nama sebelumnya
Nama kimia
Alasan penggantian nama [57]
Vitamin B4
Adenin
DNA metabolit (produk hasil dari metabolisme DNA); disintesis di dalam tubuh
Vitamin B8
Asam adenilik
DNA metabolit; disintesis di dalam tubuh
Vitamin F
Asam lemak esensial
Dibutuhkan dalam jumlah yang besar (tidak sesuai definisinya sebagai sebuah vitamin).
Vitamin G
Riboflavin
Diklasifikasi kembali sebagai  Vitamin B2
Vitamin H
Biotin
Diklasifikasi kembali sebagai Vitamin B7
Vitamin J
Catechol, Flavin
Catechol bersifat non-esensial; flavin Diklasifikasi kembali sebagai vitamin B2
Vitamin L1[58]
Asam antralinik
Non-esensial
Vitamin L2[58]
RNA metabolite (produk hasil dari metabolisme RNA); disintesis di dalam badan  
Vitamin M
Asam folat
Diklasifikasi kembali sebagai Vitamin B9
Vitamin O
Karnitin
Disintesis di dalam tubuh
Vitamin P
Flavonoid
Tidak lagi diklasifikasikan sebagai vitamin
Vitamin PP
Niasin
Diklasifikasi kembali sebagai Vitamin B3
Vitamin S
Asam Salisilat
Senyawa ini diusulkan dimasukkan ke dalam salicylate sebagai mikronutrisi esensial [59]
Vitamin U
S-Methylmethionine
Protein metabolit (produk hasil dari metabolisme protein); disintesis di dalam tubuh

Seorang ilmuwan German mengisolasi dan mendeskripsikan vitamin K, memberi nama vitamin K lantaran vitamin ini berafiliasi dengan proses koagulasi darah yang terjadi pada dikala insan mengalami luka. Pada masa itu huruf F-J sudah terpakai sehingga penamaan dengan menggunakan huruf K dinilai cukup beralasan.[57][60]. Tabel diatas memperlihatkan jenis-jenis senyawa kimia yang telah diklarifikasi sebagai vitamin, begitu juga dengan nama-nama vitamin yang kemudian diklasifikasikan ke dalam vitamin B-kompleks.

12. Anti Vitamin

Antivitamin yaitu senyawa kimia yang menghambat absorpsi atau kinerja suatu vitamin. Misalnya saja, avidin yaitu protein pada putih telur yang menghambat absorpsi biotin [61] Pyrithiamine hampir sama dengan thiamine dan vitamin B1, senyawa ini menghambat enzim-enzim yang menggunakan thiamine dalam proses kerjanya [62].

Referensi :
  1. Lieberman, S and Bruning, N (1990). The Real Vitamin & Mineral Book. NY: Avery Group, 3, ISBN 0-89529-769-8
  2. Maton, Anthea; Jean Hopkins, Charles William McLaughlin, Susan Johnson, Maryanna Quon Warner, David LaHart, Jill D. Wright (1993). Human Biology and Health. Englewood Cliffs, New Jersey, USA: Prentice Hall. ISBN 0-13-981176-1. OCLC 32308337.
  3. Bender, David A. (2003). Nutritional biochemistry of the vitamins. Cambridge, U.K.: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-80388-5.
  4. Bolander FF (2006). "Vitamins: not just for enzymes". Curr Opin Investig Drugs 7 (10): 912–5. PMID 17086936.
  5. Kutsky, R.J. (1973). Handbook of Vitamins and Hormones. New York: Van Nostrand Reinhold, ISBN 0-442-24549-1
  6. Dietary Reference Intakes: Vitamins. The National Academies, 2001.
  7. Vitamin and Mineral Supplement Fact Sheets Vitamin A. Dietary-supplements.info.nih.gov (2013-06-05). Retrieved on 2013-08-03.
  8. N/D= "Amount not determinable due to lack of data of adverse effects. Source of intake should be from food only to prevent high levels of intake" (Lihat Dietary Reference Intakes: Vitamins. The National Academies, 2001).
  9. "Thiamin, vitamin B1: MedlinePlus Supplements". U.S. Department of Health and Human Services, National Institutes of Health.
  10. Hardman, J.G. et al., ed. (2001). Goodman and Gilman's Pharmacological Basis of Therapeutics (10th ed.). p. 992. ISBN 0071354697.
  11. Plain type indicates Adequate Intakes (A/I). "The AI is believed to cover the needs of all individuals, but a lack of data prevent being able to specify with confidence the percentage of individuals covered by this intake" (see Dietary Reference Intakes: Vitamins. The National Academies, 2001).
  12. "Pantothenic acid, dexpanthenol: MedlinePlus Supplements". MedlinePlus. Retrieved 5 October 2009.
  13. Vitamin and Mineral Supplement Fact Sheets Vitamin B6. Dietary-supplements.info.nih.gov (2011-09-15). Retrieved on 2013-08-03.
  14. Vitamin and Mineral Supplement Fact Sheets Vitamin B12. Dietary-supplements.info.nih.gov (2011-06-24). Retrieved on 2013-08-03.
  15. Value represents suggested intake without adequate sunlight exposure (Lihat Dietary Reference Intakes: Vitamins. The National Academies, 2001).
  16. The Merck Manual: Nutritional Disorders: Vitamin Introduction
  17. Gaby, Alan R. (2005). "Does vitamin E cause congestive heart failure?". Townsend Letter for Doctors and Patients.
  18. Rohde LE, de Assis MC, Rabelo ER (2007). "Dietary vitamin K intake and anticoagulation in elderly patients". Curr Opin Clin Nutr Metab Care 10 (1): 1–5. doi: 10.1097/MCO.0b013e328011c46c. PMID 17143047.
  19. Iłowiecki, Maciej (1981). Dzieje nauki polskiej. Warszawa: Wydawnictwo Interpress. p. 177. ISBN 83-223-1876-6.
  20. Jack Challem (1997). "The Past, Present and Future of Vitamins"
  21. Jacob, RA. (1996). "Three eras of vitamin C discovery". Subcell Biochem. Subcellular Biochemistry 25: 1–16. doi:10.1007/978-1-4613-0325-1_1. ISBN 978-1-4613-7998-0. PMID 8821966.
  22. Bellis, Mary. Vitamins – Production Methods The History of the Vitamins. Retrieved 1 February 2005.
  23. 1929 Nobel lecture. Nobelprize.org. Retrieved on 2013-08-03.
  24. Rosenfeld, L. (1997). "Vitamine—vitamin. The early years of discovery". Clin Chem 43 (4): 680–5. PMID 9105273.
  25. Carpenter, Kenneth (22 June 2004). "The Nobel Prize and the Discovery of Vitamins". Nobelprize.org. Retrieved 5 October 2009.
  26. Suzuki, U., Shimamura, T. (1911). "Paul Karrer-Biographical. Retrieved 08-01-2013.
  27. Fukuwatari T, Shibata K (2008). "Urinary water-soluble vitamins and their metabolite contents as nutritional markers for evaluating vitamin intakes in young Japanese women". J. Nutr. Sci. Vitaminol. 54 (3): 223–9. doi: 10.3177/jnsv.54.223. PMID 18635909.
  28. Bellows, L. and Moore, R. "Water-Soluble Vitamins". Colorado State University. Retrieved 2008-12-07.
  29. Said HM, Mohammed ZM (2006). "Intestinal absorption of water-soluble vitamins: an update". Curr. Opin. Gastroenterol. 22 (2): 140–6. doi: 10.1097/01.mog.0000203870.22706.52. PMID 16462170.
  30. Maqbool A, Stallings VA (2008). "Update on fat-soluble vitamins in cystic fibrosis". Curr Opin Pulm Med 14 (6): 574–81. doi: 10.1097/MCP.0b013e3283136787. PMID 18812835.
  31. Gavrilov, Leonid A. (10 February 2003) Comparison of Vitamin Levels in Raw Foods vs. Cooked Foods. Beyondveg.com. Retrieved on 2013-08-03.
  32. Effects of Cooking on Vitamins (Table). Beyondveg.com. Retrieved on 2013-08-03.
  33. Pemberton, J. (2006). "Medical experiments carried out in Sheffield on conscientious objectors to military service during the 1939–45 war". International Journal of Epidemiology 35 (3): 556–8. doi: 10.1093/ije/dyl020. PMID 16510534.
  34. Lakhan, SE; Vieira, KF (2008). "Nutritional therapies for mental disorders". Nutrition journal 7: 2. doi: 10.1186/1475-2891-7-2. PMC 2248201. PMID 18208598.
  35. Boy, E.; Mannar, V.; Pandav, C.; de Benoist, B.; Viteri, F.; Fontaine, O.; Hotz, C. (2009). "Achievements, challenges, and promising new approaches in vitamin and mineral deficiency control". Nutr Rev 67 (Suppl 1): S24–30. doi: 10.1111/j.1753-4887.2009.00155.x. PMID 19453674.
  36. Institute of Medicine. Food and Nutrition Board. Dietary Reference Intakes for Vitamin A, Vitamin K, Arsenic, Boron, Chromium, Copper, Iodine, Iron, Manganese, Molybdenum, Nickel, Silicon, Vanadium, and Zinc. National Academy Press, Washington, DC, 2001.
  37. Healthier Kids. Section: What to take and how to take it.
  38. Bronstein, AC; et al. (2009). "2008 Annual Report of the American Association of Poison Control Centers' National Poison Data System (NPDS): 26th Annual Report" (PDF). Clinical Toxicology 47 (10): 911–1084. doi: 10.3109/15563650903438566. PMID 20028214.
  39. Use and Safety of Dietary Supplements. NIH office of Dietary Supplements.
  40. Higdon, Jane (2011). Vitamin E recommendations at Linus Pauling Institute's Micronutrient Information Center.
  41. Bjelakovic, Goran; Nikolova, D; Gluud, LL; Simonetti, RG; Gluud, C (2007). "Mortality in Randomized Trials of Antioxidant Supplements for Primary and Secondary Prevention: Systematic Review and Meta-analysis". JAMA 297 (8): 842–57. doi: 10.1001/jama.297.8.842. PMID 17327526.
  42. "Antioxidant Supplements and Mortality". JAMA 298 (4): 400. 2007. doi: 10.1001/jama.298.4.401-a.
  43. "Antioxidant Supplements and Mortality—Reply". JAMA 298 (4): 400. 2007. doi: 10.1001/jama.298.4.402.
  44. Wade, Nicholas (12 May 2009). "Vitamins Found to Curb Exercise Benefits". The New York Times. Retrieved 9 April 2010.
  45. Sen, Chandan K.; Khanna, Savita; Roy, Sashwati (2006). "Tocotrienols: Vitamin E beyond tocopherols". Life Sciences 78 (18): 2088–98. doi: 10.1016/j.lfs.2005.12.001. PMC 1790869. PMID 16458936.
  46. Klein, Eric A.; Thompson Jr, IM; Tangen, CM; Crowley, JJ; Lucia, MS; Goodman, PJ; Minasian, LM; Ford, LG et al. (2011). "Vitamin E and the Risk of Prostate Cancer: The Selenium and Vitamin E Cancer Prevention Trial (SELECT)". JAMA 306 (14): 1549–56. doi: 10.1001/jama.2011.1437. PMID 21990298
  47. Klein, E. A.; Thompson Jr, I. M.; Tangen, C. M.; Crowley, J. J.; Lucia, M. S.; Goodman, P. J.; Minasian, L. M.; Ford, L. G.; Parnes, H. L.; Gaziano, J. M.; Karp, D. D.; Lieber, M. M.; Walther, P. J.; Klotz, L.; Parsons, J. K.; Chin, J. L.; Darke, A. K.; Lippman, S. M.; Goodman, G. E.; Meyskens Jr, F. L.; Baker, L. H. (2011). "Vitamin E and the Risk of Prostate Cancer – the Selenium and Vitamin E Cancer Prevention Trial". JAMA: the Journal of the American Medical Association 306 (14): 1549–1556. doi: 10.1001/jama.2011.1437. PMID 21990298. edit Section "Conflict of Interest Disclosures".
  48. Heinonen, O. P.; Albanes, D.; Virtamo, J.; Taylor, P. R.; Huttunen, J. K.; Hartman, A. M.; Haapakoski, J.; Malila, N.; Rautalahti, M.; Ripatti, N.; Mäenpää, M.; Teerenhovi, S.; Koss, H.; Virolainen, L.; Edwards, M. (1998). "Prostate cancer and supplementation with alpha-tocopherol and beta-carotene: Incidence and mortality in a controlled trial". Journal of the National Cancer Institute 90 (6): 440–446. doi: 10.1093/jnci/90.6.440. PMID 9521168.
  49. Watters, J. L.; Gail, M. H.; Weinstein, S. J.; Virtamo, J.; Albanes, D. (2009). "Associations between  -Tocopherol,  -Carotene, and Retinol and Prostate Cancer Survival". Cancer Research 69 (9): 3833–3841. doi: 10.1158/0008-5472.CAN-08-4640. PMC 2787239. PMID 19383902.
  50. Legislation. Fda.gov (2009-09-15). Retrieved on 2010-11-12.
  51. Adverse Event Reporting System (AERS). Fda.gov (2009-08-20). Retrieved on 2010-11-12.
  52. not EUR-Lex – 32002L0046 – EN. Eur-lex.europa.eu. Retrieved on 2010-11-12.
  53. Bennett, David. Every Vitamin Page. All Vitamins and Pseudo-Vitamins.
  54. Davidson, Michael W. (2004). Anthranilic Acid (Vitamin L). Florida State University. Retrieved 20-02-07.
  55. Abbasi, Kamran (2003). "Rapid Responses to: Aspirin protects women at risk of pre-eclampsia without causing bleeding". British Medical Journal 327 (7424): 7424. doi: 10.1136/bmj.327.7424.0-h.
  56. Vitamins and minerals – names and facts. pubquizhelp.34sp.com
  57. Roth KS (1981). "Biotin in clinical medicine—a review". Am. J. Clin. Nutr. 34 (9): 1967–74. PMID 6116428.
  58. Rindi G, Perri V (1961). "Uptake of pyrithiamine by tissue of rats". Biochem. J. 80 (1): 214–6. PMC 1243973. PMID 13741739.
  59. http://en.wikipedia.org/wiki/File:B_vitamin_supplement_tablets.jpg
Artikel ini merupakan terjemahan dari materi yang disediakan oleh wikipedia berjudul vitamin.

Anda kini sudah mengetahui vitamin. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

No comments:

Post a Comment