Wednesday, September 18, 2019

Pintar Pelajaran Sejarah Pasar Modal, Ekonomi

Sejarah Pasar Modal, Ekonomi - Pasar modal (capital market) merupakan pasar untuk banyak sekali instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk utang ataupun modal sendiri. Instrumen-instrumen keuangan yang diperjualbelikan di pasar modal menyerupai saham, obligasi, waran, right issue, obligasi konvertibel, dan banyak sekali produk turunan (derivatif) menyerupai opsi (put atau call).

Di dalam Undang-Undang Pasar Modal No. 8 Tahun 1995, pengertian pasar modal dijelaskan lebih spesifik sebagai kegiatan yang berafiliasi dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan imbas yang diterbitkannya, serta forum dan profesi yang berkaitan dengan efek.

1. Istilah-istilah Mengenai Pasar Modal

Beberapa istilah yang perlu diketahui untuk memudahkan dalam memahami pasar modal secara lebih jauh yaitu sebagai berikut.

a. Penawaran umum yaitu kegiatan penawaran imbas yang dilakukan oleh emiten untuk menjual imbas kepada masyarakat menurut tata cara yang diatur dalam Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya.
b. Emiten yaitu tubuh perjuangan atau perusahaan yang telah melaksanakan penawaran umum atau lebih populer dengan istilah go public. Istilah go public biasa juga disebut IPO (Initial Public Offering) atau penawaran saham perdana.
c. Efek yaitu surat berharga, mencakup surat legalisasi utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek.
d. Derivatif dari imbas yaitu turunan dari efek, baik imbas yang bersifat utang maupun yang bersifat ekuitas, menyerupai opsi dan waran.
e. Opsi yaitu hak yang dimiliki oleh pihak untuk membeli atau menjual kepada pihak lain atas sejumlah imbas harga dalam waktu tertentu.
f. Perusahaan publik yaitu perseroan yang sahamnya telah dimiliki sekurang-kurangnya oleh 300 pemegang saham dan mempunyai modal yang disetor sekurang-kurangnya Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

2. Sejarah Pasar Modal

Sejarah pasar modal Indonesia yang berkaitan dengan kegiatan jual beli saham dan obligasi dimulai pada kala ke-19. Dalam buku Effectengids yang dikeluarkan oleh Verreniging voor den Effectenhandel pada 1939, dijelaskan jual beli imbas telah berlangsung semenjak 1880. Pada 14 Desember 1912, Amserdamse Effectenbueurs mendirikan cabang bursa imbas di Batavia. Di tingkat Asia, bursa Batavia tersebut merupakan yang tertua keempat sehabis Bombay, Hongkong, dan Tokyo.

a. Zaman Penjajahan

Awal kala ke-19 pemerintah kolonial Belanda mulai membangun perkebunan secara besar-besaran di Indonesia. Orang-orang Belanda dan Eropa lainnya merupakan penabung yang penghasilannya sangat jauh lebih tinggi daripada penghasilan penduduk pribumi. Oleh lantaran itu, mereka menjadi penabung yang telah dilibatkan sebaik-baiknya sebagai sumber dana.

Atas dasar itulah pemerintahan kolonial mendirikan pasar modal. Setelah mengadakan persiapan, balasannya pada 14 Desember 1912 berdiri secara resmi pasar modal di Indonesia yang terletak di Batavia (Jakarta) yang berjulukan Vereniging voor de Effectenhandel (bursa efek) dan pribadi memulai perdagangan.

Pada awalnya terdapat 13 anggota bursa yang aktif, yaitu Fa. Dunlop & Kolf, Fa. Gijselman & Steup, Fa. Monod & Co, Fa. Adree Witansi & Co, Fa. A.W. Deeleman, Fa. H. Jul Joostensz, Fa. Jeannette Walen, Fa. Wiekert & V.D. Linden, Fa. Walbrink & Co, Wieckert & V.D. Linden, Fa. Vermeys & Co, Fa.Cruyff, dan Fa. Gebroeders.

Adapun imbas yang diperjualbelikan berupa saham dan obligasi perusahaan atau perkebunan Belanda yang beroperasi di Indonesia, obligasi yang diterbitkan pemerintah (provinsi dan kotapraja), akta saham perusahaan-perusahaan Amerika yang diterbitkan oleh kantor manajemen di negeri Belanda, serta imbas perusahaan Belanda lainnya. Perkembangan pasar modal di Batavia begitu pesat sehingga menarik masyarakat kota lainnya. Untuk menampung minat tersebut, pada 11 Januari 1925 di kota Surabaya dan 1 Agustus 1925 di Semarang resmi didirikan bursa.

Anggota bursa di Surabaya, yaitu Fa. Dunlop & Koff, Fa. Gijselman & Steup, Fa. V. Van Velsen, Fa. Beaukkerk & Cop, dan N. Koster. Adapun anggota bursa di Semarang waktu, yaitu Fa. Dunlop & Koff, Fa. Gijselman & Steup, Fa. Monad & Co, Fa. Companien & Co, dan Fa. P.H. Soeters & Co. Perkembangan pasar modal waktu itu cukup menggembirakan. Hal ini yang terlihat dari nilai imbas yang tercatat mencapai NIF 1,4 miliar yang berasal dari 250 macam efek.

Go private yaitu perusahaan yang sahamnya semula dimiliki oleh publik, berubah kembali menjadi perusahaan tertutup yang dimiliki oleh segelintir pemegang saham saja. Sejak 2003-2005, di BEJ terdapat delapan perusahaan terbuka yang menetapkan untuk go private, antara lain Saham Indosiar Visual Mandiri (ISDR).

b. Masa Perang Dunia II

Pada tahun 1939 keadaan suhu politik di Eropa menghangat dengan memuncaknya kekuasaan Adolf Hitler. Melihat keadaan ini, pemerintah Hindia Belanda mengambil budi untuk memusatkan perdagangan efeknya di Batavia serta menutup bursa imbas di Surabaya dan Semarang.

Namun, pada 17 Mei 1940 secara keseluruhan kegiatan perdagangan imbas ditutup dan dikeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa semua imbas harus disimpan dalam bank yang ditunjuk oleh Pemerintah Hindia Belanda. Penutupan ketiga bursa imbas tersebut sangat mengganggu likuiditas efek, menyulitkan para pemilik efek, dan berakibat pula pada penutupan kantor-kantor pialang serta pemutusan hubungan kerja. Selain itu, menjadikan banyak perusahaan dan perseorangan ketakutan untuk menginvestasikan modalnya di Indonesia. Dengan demikian, pecahnya Perang Dunia II menandai berakhirnya kegiatan pasar modal pada zaman penjajahan Belanda.

c. Masa Pasar Modal Orde Lama

Setahun sehabis pemerintahan Belanda mengakui kedaulatan RI, tepatnya pada 1950, obligasi Republik Indonesia dikeluarkan oleh pemerintah. Peristiwa ini ditandai mulai aktifnya kembali pasar modal Indonesia. Diawali dengan diberlakukannya Undang-Undang Darurat No. 13 pada 1 September 1951, yang selanjutnya ditetapkan sebagai Undang-Undang No. 15 tahun 1952 wacana bursa, pemerintah RI membuka kembali bursa imbas di Jakarta pada 31 Juni 1952, sehabis terhenti selama 12 tahun. Adapun penyelenggaraannya diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-Efek (PPUE) yang terdiri atas tiga bank negara dan beberapa makelar imbas lainnya dengan Bank Indonesia sebagai penasihatnya.

Sejak itu, bursa imbas berkembang dengan pesat, meskipun imbas yang diperdagangkan yaitu imbas yang dikeluarkan sebelum Perang Dunia II. Aktivitasnya semakin meningkat semenjak Bank Industri Negara mengeluarkan dukungan obligasi berturut-turut pada 1954, 1955, dan 1956. Para pembeli obligasi banyak warga negara Belanda, baik perseorangan maupun tubuh hukum. Semua anggota diperbolehkan melaksanakan transaksi dengan luar negeri terutama dengan Amsterdam.

d. Masa Konfrontasi

Masa konfrontasi hanya berlangsung hingga 1958, lantaran ketika itu terlihat adanya kelesuan dan kemunduran perdagangan di Bursa. Hal tersebut, diakibatkan politik konfrontasi yang dilancarkan pemerintah RI terhadap Belanda sehingga mengganggu hubungan ekonomi kedua negara dan menjadikan banyak warga negara Belanda meninggalkan Indonesia.

Perkembangan tersebut makin parah sejalan dengan memburuknya hubungan Republik Indonesia dengan Belanda mengenai sengketa Irian Jaya dan memuncaknya agresi pengambilalihan semua perusahaan Belanda di Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958. Kemudian, dengan aba-aba dari Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS) pada 1960, yaitu larangan bagi bursa imbas Indonesia untuk memperdagangkan semua imbas dari perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, termasuk semua imbas yang bernominasi mata uang Belanda, makin memperparah perdagangan imbas di Indonesia. Tingkat inflasi pada waktu itu cukup tinggi sehingga menggoncang dan mengurangi doktrin masyarakat terhadap pasar uang dan pasar modal, juga terhadap mata uang rupiah yang mencapai puncaknya pada 1966. Penurunan tersebut, menjadikan nilai nominal saham dan obligasi menjadi rendah, sehingga tidak menarik lagi bagi investor. Hal ini merupakan pasang surut pasar modal Indonesia pada zaman Orde Lama.

e. Pasar Modal Orde Baru

Pemerintah Orde Baru mengambil langkah atau kebijakan untuk mengembalikan doktrin rakyat terhadap nilai mata uang rupiah. Di samping pengerahan dana dari masyarakat melalui tabungan dan deposito, pemerintah terus mengadakan persiapan khusus untuk membentuk pasar modal.

Dengan Surat Keputusan Direksi BI No. 4/16 Kep-Dir Tanggal 26 Juli 1968, BI membentuk tim persiapan Pasar Uang (PU) dan Pasar Modal (PM). Hasil penelitian tim menyatakan bahwa benih dari PM di Indonesia bahwasanya sudah ditanam pemerintah semenjak tahun 1952, tetapi lantaran situasi politik dan masyarakat masih kurang pengetahuan wacana pasar modal maka pertumbuhan bursa imbas di Indonesia semenjak tahun 1958– 1976 mengalami kemunduran.

Setelah tim tersebut menuntaskan tugasnya dengan baik dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. Kep-25/MK/IV/1/72 Tanggal 13 Januari 1972 tim dibubarkan, dan pada 1976 dibuat Bapepam (Badan Pembina Pasar Modal atau kini menjadi Badan Pengawas Pasar Modal) dan PT Danareksa. Bapepam bertugas membantu Menteri Keuangan yang diketuai oleh Gubernur Bank Sentral.

Dengan terbentuknya Bapepam, maka terlihat kesungguhan dan intensitas untuk membentuk kembali PU dan PM. Selain membantu menteri keuangan, Bapepam juga menjalankan fungsi ganda yaitu sebagai pengawas dan pengelola bursa efek.

Pada 10 Agustus 1977 menurut Keppres RI No. 52 tahun 1976 pasar modal diaktifkan kembali dan mulai go public beberapa perusahaan. Pada zaman Orde Baru inilah perkembangan PM sanggup dibagi menjadi dua, yaitu tahun 1977–1987 dan tahun 1987–sekarang. Perkembangan pasar modal selama tahun 1977–1987 mengalami kelesuan meskipun pemerintah telah memperlihatkan kemudahan kepada perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan dana dari bursa efek. Fasilitas-fasilitas yang telah diberikan antara lain kemudahan perpajakan untuk merangsang masyarakat supaya mau terjun dan aktif di pasar modal.

Terhambatnya perkembangan pasar modal selama periode itu disebabkan oleh beberapa duduk kasus antara lain mengenai mekanisme emisi saham dan obligasi yang terlalu ketat, serta adanya batasan fluktuasi harga saham.

Untuk mengatasi duduk kasus itu pemerintah mengeluarkan banyak sekali deregulasi yang berkaitan dengan perkembangan pasar modal, yaitu Paket Kebijaksanaan Desember 1987, Paket Kebijaksanaan Oktober 1988, dan Paket Kebijaksanaan Desember 1988.

1) Paket Kebijaksanaan Desember 1987 (Pakdes 1987)

Pakdes 1987 merupakan penyederhanaan proses emisi saham dan obligasi, dihapuskannya biaya yang sebelumnya dipungut oleh Bapepam, menyerupai biaya registrasi emisi efek. Selain itu, dibuka kesempatan bagi pemodal absurd untuk membeli maksimum 49% dari total emisi. Pakdes 87 juga menghapus batasan fluktuasi harga saham di bursa imbas dan memperkenalkan bursa paralel. Sebagai pilihan bagi emiten yang belum memenuhi syarat untuk memasuki bursa efek.

2) Paket Kebijaksanaan Oktober 1988 (Pakto 88)

Pakto 88 ditujukan pada sektor perbankan, namun mempunyai dampak terhadap perkembangan pasar modal. Pakto 88 berisikan ketentuan 3 L (Legal Lending Limit), dan pengenaan pajak atas bunga deposito. Pengenaan pajak ini berdampak positif terhadap perkembangan pasar modal. Sebab dengan keluarnya budi ini berarti pemerintah memberi perlakuan yang sama antara sektor perbankan dan sektor pasar modal.

3) Paket Kebijaksanaan Desember 1988 (Pakdes 88)

Pakdes 88 intinya memperlihatkan dorongan yang lebih jauh pada pasar modal dengan membuka peluang bagi swasta untuk menyelenggarakan bursa. Ketiga budi inilah pasar modal menjadi aktif untuk periode 1988 hingga sekarang.

Anda kini sudah mengetahui Sejarah Pasar Modal. Terima kasih anda sudah berkunjung ke Perpustakaan Cyber.

Referensi :

Widjajanta, B., A. Widyaningsih, dan H. Tanuatmojo. 2009. Mengasah Kemampuan Ekonomi 2 : Untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas/Mandrasah Aliyah Program Ilmu Pengetahuan Sosial. Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 146.

No comments:

Post a Comment